Islam bukanlah agama para rahib. Islam juga bukan agama yang menyerukan hakikat tapi mengabaikan syariat. Islam turun bersama dengan hakikat dan syariat itu sendiri. Tanpa menjalankan syariat, maka hakikat tidak akan kita dapatkan.
Para penyeru pluralisme agama memandang agama dengan sudut pandang yang sempit. Mereka memandang bahwa seluruh agama dapat disatukan karena pada hakikatnya sama. Padahal syariat masing-masing agama jauh berbeda. Dan syariat ini adalah jalan menuju hakikat. Mereka memandang hakikat bisa diperoleh dengan menjalankan syariat agama manapun. Karena semuanya berujung pada hakikat yang sama. Oleh karena itulah, mereka kemudian memandang kebenaran itu relatif. Kebenaran tidak dapat diraih, hanya dapat didekati. Pada akhirnya mereka meniadakan agama-agama di dunia dan membuat agama baru. Agama yang didasarkan pada rangkuman semua kebijakan agama dunia, filsafat, sampai ajaran penyembah berhala.
Mereka memandang semua agama dengan penuh curiga dan keragu-raguan. Walaupun, misalnya, mereka muslim, tetap saja memandang agamanya dengan penuh curiga dan keragu-raguan. Mereka memandang dengan cara seperti itu dapat melihat agama dengan lebih objektif. Bagaimana bisa objektif, sementara pemikiran mereka sendiri dipenuhi dengan hal-hal subjektif? Bagi mereka yang penting isinya dengan mengabaikan kulitnya. Padahal kulit itu melindungi isi. Bagaimana bisa, isi disebut bagus sementara kulitnya tidak bagus? Yang ada hanyalah kebusukan dan kemunafikan.
Dengan cara berpikir orang-orang pluralis, shalat lima waktu atau shalat empat waktu atau lebih atau kurang dari itu, sama saja. Shalat dengan bahasa Arab atau non-Arab sama saja. Pergi haji ke Makkah atau ke tempat lain sama saja. Yang penting isinya, substansinya, yaitu beribadah kepada Allah. Padahal Rasulullah Saw. telah bersabda: “Shallu kamaa ra aytumunii ushalli – shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat.” Dan beliau bersabda tentang ibadah haji: “Khudzuu ‘anii manaasikakum – ambillah dariku manasikmu.”
Orang-orang yang mengabaikan syariat, jangan kita percayai. Sekalipun mereka pintar, bergelar profesor doktor, Kyai Haji, atau bahkan berteriak-teriak mengaku dirinya wali Allah. Kalau bukan dengan melihat dari sisi syariat, tentu ilmu hadits yang dikembangkan Imam Bukhari, Imam Muslim, dan yang lainnya, sudah lama runtuh. Padahal mereka mengembangkannya dengan standar ilmiah yang tinggi. Jika ada orang yang cerdas namun fasik, mereka akan menolaknya. Karena timbangan keilmuwan di dalam Islam tidak hanya cerdas, tapi juga bertakwa. Nah, metode jarh wat ta’dil ini di dalam agama lain atau pemikiran Barat tidak ditemukan. Orang-orang liberal akan menelan bulat-bulat setiap pemikiran yang datang dari Barat karena notabene Barat lebih maju ketimbang Islam.
Pemikiran-pemikiran mereka adalah musibah bagi segenap umat manusia yang ingin menemukan kebenaran hakiki. Itulah mengapa, jika masuk ke “agama baru” mereka, orang tidak semakin dekat dengan Allah, dengan Sang Pemilik Kebenaran Tertinggi. Itulah mengapa orang semakin banyak yang tersesat, karena jalan keselamatan yaitu al-Quran dan as-Sunnah telah mereka tinggalkan. Seorang sufi bernama al-Junaid al-Baghdadi berkata: “Semua jalan tertutup bagi manusia selain orang yang mengikuti jejak Rasulullah Saw.”
Sufi lain bernama Abu Yazid al-Bistami berkata: “Jika kalian melihat seseorang yang diberi karamah, sehingga dia dapat terbang di angkasa, maka janganlah kalian terpedaya, hingga kalian tahu bagaimana orang itu menempatkan dirinya pada perintah dan larangan, menjaga hukum dan melaksanakan syariat.”
Ahmad bin Hanbal pernah menjelaskan berbagai masalah. Lalu dia bertanya kepada Abu Hamzah al-Baghdadi, seorang pemuka tasawuf, “Apa pendapatmu wahai orang sufi?” Maka Abu Hamzah menjawab, “Siapa yang mengetahui jalan yang benar, maka perjalanannya pun menjadi mudah. Tidak ada bukti petunjuk jalan kepada Allah selain dari mengikuti Rasulullah Saw., dalam perbuatan, perkataan dan keadaannya.”
Sangat penting bagi setiap muslim untuk melihat Islam dari sudut pandang Islam itu sendiri, bukan dari susut pandang orientalis atau orang-orang sejenisnya. Karena sering sekali mereka membelokkan Islam dari hakikat sebenarnya. Oleh karena itulah, kita mesti berhati-hati dalam memilih informasi atau bacaan yang beredar ditengah-tengah kita, karena boleh jadi apa yang kita baca itu tidak sesuai dengan Islam. Hendaknya kita bertanya pada orang yang ahlinya. Bertanya masalah fikih, jangan ditanyakan pada ahli filsafat. Ataupun sebaliknya. Karena kalau tidak, tunggulah masa kehancuran kita. Saat ini banyak orang bicara sok tahu tentang suatu ilmu, seolah-olah ia memang pakar dibidangnya. Dia berbicara masalah tafsir al-Quran, padahal jauh menyimpang dari tuntunan al-Quran.
Meskipun ada ahli tafsir yang keblinger, tapi jumlahnya sangat sedikit. Kebanyakan mereka yang keblinger bukan orang yang sangat pakar dibidangnya. Pengetahuan mereka seperti jaring laba-laba, banyak namun mudah dikoyak. Sebelum memahami agama dengan benar dan kuat, mereka sudah beralih pada pemahaman lain. Mereka kemudian memilih pemahaman lain karena lebih sesuai dengan akal pikiran dan kehendak hawa nafsu mereka. Apakah ahli fikih seperti Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah seorang liberal? Apakah ahli hadits seperti Syaikh Nashruddin al-Albani adalah seorang liberal? Apakah ahli tafsir seperti Dr. Manna al-Qathan adalah seorang liberal? Apakah ahli dakwah seperti Syaikh Muhammad al-Ghazali adalah seorang liberal? Apakah ahli sirah nabawiyah seperti Dr. Said Ramadhan al-Buthi adalah seorang liberal?
Sekularisme, pluralisme, dan liberalisme itu tidak memiliki akar di dalam tradisi pemikiran Islam. Mereka berusaha mencari-cari siapa saja ulama yang mendukung pemikiran mereka, baik salaf maupun khalaf. Tapi mereka tidak temukan kecuali ulama-ulama terbaratkan. Ulama-ulama pencari materi. Ulama-ulama dunia. Ulama-ulama yang senang mencari popularitas dengan mengatakan yang batil ditengah yang haq. Mereka juga meliberalkan ulama yang tidak liberal karena ada pemikirannya yang sesuai dengan pemikiran mereka. Sesungguhnya mereka telah berdusta atas nama agama!
Wahai sahabatku, hakikat tidak mungkin engkau dapatkan tanpa mengikuti syariat. Karena jika tidak ada syariat, orang akan seenaknya sendiri membuat aturan. Orang akan seenaknya sendiri mengaku wali Allah, apalagi mengaku-ngaku sebagai Nabi dan Rasul-Nya! Tanpa syariat-Nya dunia akan kacau. Jika engkau melihat dunia ini sudah kacau balau, hal itu terjadi karena kita sudah semakin jauh dari syariat-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar