Pada dies
natalis ke-5 sebuah perguruan tinggi yang cukup terkenal di Arab Saudi, seorang
mahasiswa berdiri di depan aula kampus sambil memperhatikan jarum jamnya seraya
berteriak: "Jika Allah itu ada, maka matikanlah aku pada jam setelah jam
ini." Ia seorang mahasiswa yang sangat dikagumi di kalangan para mahasiswa
dan para dosen karena kecerdasannya.
Tanpa
terasa detik demi detik berganti menjadi menit, dan menit demi menit beralih
menjadi jam, sehingga jam yang dinantikannya akhirnya tiba juga. Kemudian
ketika jam itu berlalu tanpa kematian dirinya, maka dengan sombongnya ia
berkata kepada teman-temannya dengan nada suara mencemooh: "Bukankah
kalian lihat sendiri, bahwa jika Allah itu ada, niscaya Dia akan mematikanku
pada jam tadi, tetapi ternyata aku masih hidup."
Mendengar
perkataannya yang ngawur itu, akhirnya sejumlah mahasiswa pergi dari hadapannya.
Di antara para mahasiswa itu ada yang terbujuk rayuan setan sehingga di dalam
hatinya timbul keragu-raguan. Ada juga kelompok yang berkomentar: "Allah
Ta'ala menangguhkan kematiannya semata-mata karena ada suatu hikmah yang
terkandung di dalamnya." Kemudian ada kelompok yang hanya
menggeleng-gelengkan kepala dan mencemoohkannya.
Kemudian
mahasiswa itu pulang ke rumahnya dengan wajah yang ceria serta langkah yang
cepat, seakan-akan ia merasa yakin dan bangga dengan argumentasi logikanya tadi
karena tidak ada seorangpun yang membantahnya ketika ia mengatakan bahwa:
"Allah Ta'ala itu tidak ada, dan manusia ada dengan sendirinya sehingga ia
tidak perlu mengenal Tuhan dan tidak akan ada tempat kembali dan perhitungan
amal bagi manusia."
Ketika ia
memasuki rumahnya, ia mendapati ibunya sedang menyiapkan hidangan makan siang,
sementara bapaknya sedang duduk menghadapi hidangan yang tersaji di meja makan
sambil menunggu kedatangannya. Melihat hal itu maka mahasiswa itu segera pergi
ke kamar mandi, lalu ia mencuci muka dan tangannya sambil berdiri di hadapan
ibunya. Pada saat ia sedang mengeringkan tangan dan mukanya dengan sapu tangan
tiba-tiba ia jatuh terjerembab di lantai. Tubuhnya diam tidak bergerak sama
sekali.
Melihat
kejadian itu, kedua orangtuanya panik dan kaget, lalu mereka cepat-cepat
membawanya ke dokter. Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata mahasiswa itu
telah mati. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter, penyebab kematiannya adalah
air yang masuk ke dalam telinganya.
Sehubungan
dengan kejadian itu tersebut DR. Abdurrazzaq Naufal berkomentar,
"Mahasiswa itu mengingkari keberadaan Allah, di mana Allah tidak
mematikannya, kecuali dalam keadaan seperti matinya seekor keledai."
Berdasarkan
hasil penelitian ilmiah bahwa keledai dan banteng akan mati bila telinganya
kemasukan air. Kematian mahasiswa itu terjadi hanya selisih satu jam dari waktu
yang dimintanya tadi. (Diambil dari buku Akhir Hayat Orang yang Zalim karya
Ibrahim Abdullah Hazami hlm. 76-77)
****
Beberapa
waktu yang lalu, saya menyaksikan berita di televisi. Seorang pemuda dari
Sumatera Barat ditangkap aparat berwenang karena menyebarkan ateisme dan
menghina Islam. Dia telah murtad dari Islam dan kini menjadi ateis. Nampaknya,
orang seperti dia bukanlah pemain baru. Apalagi di internet. Begitu mudahnya
orang berkata "Tuhan itu tidak ada" tanpa merasa takut dengan hukum
Tuhan. Tanpa merasa Tuhan sedang mengawasi dan mencatat setiap perkataan dan
tingkah lakunya.
Apakah
kita akan membiarkan mereka berkata seenaknya ditengah masyarakat? Dalam sistem
politik Islam, tugas pemerintah adalah melindungi akidah umat. Maka, para
penyebar keonaran itu harus dihukum sebagai efek jera baginya dan bagi yang
lain. Namun, hendaknya terlebih dahulu menasehatinya tentang efek buruk yang
akan menimpanya di dunia dan di akhirat serta pengaruh yang bisa ditimbulkan
dari perbuatannya tersebut. Bila tetap tidak mau bertaubat, maka hendaknya
hukum ditegakkan. Kebebasan yang hakiki itu tidak hanya milik individu ansich
tetapi juga menyentuh orang lain yang berada di sekitarnya, yang merasa
terganggu dengan perbuatannya itu. Jadi, tidak bisa seseorang bebas, berbuat
semaunya. Orang lain juga memiliki kebebasan untuk tidak diganggu. Kebebasan
seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Maka pemerintah harus menghukum
si pembuat onar tersebut untuk melindungi masyarakat yang lebih luas.
Masalahnya
saat ini kita tidak menyaksikan hukuman itu ditegakkan dengan semestinya. Kita
saksikan sendiri, kelompok seperti Jaringan Islam Liberal menghina Islam tetapi
tetap saja mereka tidak ditangkap oleh aparat. Akibatnya, mereka berbuat
semaunya dan merasa tidak ada yang menghalanginya. Mereka menggembar-gemborkan
kebebasan, tetapi kebebasan yang mana? Kebebasan yang kebablasan. Kebebasan
yang melanggar hak asasi. Mereka berbuat sebebas-bebasnya sambil menahan kita
agar kita tidak berbuat sebebas-bebasnya terhadap diri mereka. Ketika
pemerintah tidak mampu lagi menghukum orang-orang seperti mereka, tidak peduli
dengan akibat yang bisa ditimbulkan dari ulah mereka. Maka, tunggulah masa
kehancurannya dan seorang pemimpin harus bertanggung jawab tentang
kepemimpinannya.
Kisah di
atas hendaknya menjadi pelajaran bagi kita. Bahwa tidak ada yang luput
dari-Nya. Bahkan, terbersit dari hati kita prasangka tentang-Nya, baik maupun
buruk, menghasilkan kebaikan atau keburukan pula bagi kita. Apalagi mereka yang
sudah berani terang-terangan menghina Tuhan!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar