Jumat, 13 April 2012

Bagaimanakah Cara Memperoleh Ketenangan Batin?

Ketenangan batin adalah sesuatu yang dicari oleh umat manusia saat ini. Mereka akan berusaha mendapatkannya dengan mengikuti beberapa latihan seperti meditasi, berdzikir, mengikuti tarian darwisy, dan juga berkonsultasi dengan para psikolog. Adalah sangat penting jika kita mengetahui “bagaimana cara memperoleh keterangan batin”. Berikut ini beberapa poin penting berkaitan tentangnya.

Dzikrullah
Melalui penelitian di Florida USA, Dr. Al-Qadhi mengatakan bahwa seseorang yang sekedar mendengarkan bacaan ayat Al-Quran dapat merasakan perubahan fisiologis yang besar seperti ketenangan dan turunnya stress. Penelitian ini berdasarkan alat deteksi tekanan darah, detak jantung, dll. (Majalah Percikan Iman, No. 11 thn IV november 2003)

Allah berfirman:

اللهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللهِ ذَلِكَ هُدَى اللهِ يَهْدِي بِهِ مَن يَشَآءُ وَمَن يُضْلِلِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik Al Qur'an yang serupa lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.” (QS. Az-Zumar: 23)

الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِ أَلاَبِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’d: 28)

Rasulullah Saw. bersabda, “Tidaklah segolongan orang mengingat Allah, melainkan para malaikat menghormati mereka, rahmat menyelubungi mereka, ketenangan turun kepada mereka dan Allah mengingat mereka bersama orang-orang yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim dan Tirmidzi)

Qona’ah
Salah satu sebab yang membuat hidup ini tidak tentram adalah terpedayanya diri oleh kecintaan kepada harta dan dunia. Orang yang terpedaya harta akan senantiasa merasa tidak cukup dengan apa yang dimilikinya. Akibatnya, dalam dirinya lahir sikap-sikap yang mencerminkan bahwa ia sangat jauh dari rasa syukur kepada Allah Sang Pemberi rezeki.

Ketentraman hidup sesungguhnya hanya dapat diraih melalui penyikapan yang tepat terhadap harta dan dunia, sekecil dan sebesar apa pun harta yang dimilikinya. Sikap demikian dikenal dengan sebutan qanaah, yang berarti merasakan kecukupan dan kepuasan atas harta dan dunia miliknya.

Orang yang qana’ah hidupnya senantiasa bersyukur, makan dengan garam akan terasa nikmat tiada terhingga, karena ia tidak pernah berpikir tentang daging yang tiada dihadapannya. Kesederhanaan bukan penghalang baginya untuk bersabar dan kekayaan bukan penghalang baginya untuk bersyukur.

Rasulullah Saw. bersabda, “Beruntunglah orang yang memasrahkan diri, dilimpahi rezki yang sekedar mencukupinya dan diberi kepuasan oleh Allah terhadap apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Ahmad, dan Al-Baghawy)

“Qana’ah itu merupakan harta yang tidak akan habis.” (HR. Ibnu Ady)

Abu Hazim berkata, “Tiga perkara siapa yang berada di dalamnya, maka sempurnalah akalnya: Orang yang mengenal dirinya, menjaga lidahnya dan puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah Azza wa jalla.”
Seorang bijak berkata, “Engkau adalah orang yang mulia selagi engkau berselimut kepuasan diri.”

Mengingat mati
Syumaith bin Ajlan berkata: “Siapa yang menjadikan kematian pusat perhatiannya, maka dia tidak peduli terhadap kesempitan dunia dan kelapangannya.”

Shafiyah ra bercerita tentang seorang wanita tua yang suatu ketika mengadu kepada ‘Aisyah ra tentang kekerasan hatinya. “sering-seringlah mengingat maut,” kata Aisyah kepadanya, “Agar hatimu menjadi lembut.” Wanita itu mengerjakan hal yang disarankan Aisyah, dan ternyata hatinya menjadi lembut dan jiwanya menjadi tenang. Dia pun datang kepada Aisyah untuk mengucapkan terima kasih. (Al Ghazali, Metode Menjemput Maut, hlm. 28-29, Penerbit Mizan, (2001))

Rajin dan tekun bekerja
Karena tidak memiliki prioritas dalam bekerja, kita mengerjakan yang seharusnya tidak mendesak dan tidak penting. Jangan sampai pekerjaan yang seharusnya kita kerjakan pada saat ini, kita hindari karena malas mengerjakannya. Kelak, pekerjaan itu akan semakin menumpuk dan hal itu akan menggelisahkan jiwa. Seperti halnya bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak, apabila tidak segera ditangani maka akan menimbulkan kehancuran yang sangat parah.

Etos kerja muslim adalah cara pandang yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja itu Bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, tetapi juga sebagai suatu manifestasi dari amal shaleh dan oleh karenanya mempunyai nilai ibadah yang sangat luhur.

Rasulullah Saw. bersabda, “Tiada seorang pun yang makan makanan yang lebih baik daripada makan yang diperoleh dari hasil keringatnnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah Daud AS itu pun makan dari hasil karyanya sendiri.”

Dalam haditsnya yang lain beliau bersabd, “Bahwasanya Allah itu cinta kepada seorang mukmin yang bekerja.” (HR. Thabrani dan Baihaqi)

Bekerja dalam takaran agama Islam adalah ekuivalen dengan pernyataan syukur kepada Sang Pencipta, bahkan bekerja adalah setara dengan berjuang fi sabilillah. (HR. Thabrani)

Rasulullah menekankan bahwa: “Kemiskinan itu sesungguhnya lebih mendekati kepada kekufuran.”

Seluruh kegiatan yang dilakukan seorang muslim harus penuh dengan tantangan (challenging), tidak monoton, dan selalu berupaya untuk mencari terobosan-terobosan baru (innovative) dan tidak pernah merasa puas dalam berbuat kebaikan.

Bekerja keras dan tekun dapat menggugurkan dosa, sebagaimana sabda Nabi Saw., “Barangsiapa yang di waktu sorenya merasakan kelelahan karena bekerja, berkarya dengan tangannya sendiri, maka diwaktu sore itu pulalah ia terampuni dosanya.” (HR. Thabrani dan Baihaqi)

Albert Camus berkata, “Arbeid adelt den Mensch - pekerjaan itu mempertinggi derajat manusia. Ledigheid is des duivels oorkussen - manusia tanpa kesibukan akan menjadi santapan setan.”

Positif Thinking
Mengapa seseorang mudah stress? Salah satu faktornya karena ia selalu diliputi pikiran-pikiran negatif. Selalu mencela dan menyesali kekurangan diri. Padahal setiap diri manusia selalu diberi kelebihan. Hal ini terjadi karena kita kurang berinteraksi dengan Allah sehingga apa yang terjadi, pemikiran yang kita gunakan berasal dari hawa nafsu kita sendiri. Orang yang semakin dekat dengan Allah, jauh dari hatinya rasa takut dan kesedihan yang berlebihan.

أَلآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُونَ {62} الَّذِينَ ءَامَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 62-63)

Memelihara kejujuran
Allah berfirman:

وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ تَرَى الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى اللهِ وُجُوهُهُم مُّسْوَدَّةٌ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْمُتَكَبِّرِينَ

“Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?” (QS. Az Zumar: 60)

Dalam hal ini Rasulullah Saw. bersabda, “Biasakanlah berkata benar, karena benar itu menuntun kepada kebaikan dan kebaikan itu menuntun ke surga, dan orang itu selalu berkata benar, dan menjaga supaya tetap benar, sehingga di catat di sisi Allah seorang yang benar. Dan berhati-hatilah dari dusta, karena dusta menuntun ke dalam neraka, dan selalu seorang hamba berlaku curang sehingga tercatat disisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Awaslah kamu dari dusta, karena dusta itu menyalahi iman.” (HR. Ahmad)

Dusta adalah kegelapan yang akan menyelimuti hati sehingga membuat hati menjadi pekat. Sedangkan kejujuran adalah cahaya yang akan mendatangkan cahaya-cahaya lain untuk dapat mengarahkan diri kita pada jalan yang benar.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الأَخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ {8} يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ {9} فِي قُلُوبِهِم مَّرَضُُ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذّابٌ أَلِيمُ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

“Di antara manusia ada yang mengatakan: ‘Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian,’ pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al Baqarah: 8-10)

Bersyukur
Ketenangan jiwa akan diperoleh jika kita senantiasa bersyukur. Rasa syukur itu akan muncul bila kita senantiasa melihat orang-orang yang kondisinya lebih rendah dari kita, baik dalam hal materi, kesehatan, rupa, pekerjaan dan pemikiran. Betapa banyak di dunia ini orang yang kurang beruntung. Rasa syukur itu selain mendatangkan ketenangan jiwa, juga ganjaran dari Allah.

وَاذْكُرُوا إِذْ أَنتُمْ قَلِيلُُ مُسْتَضْعَفُونَ فِي اْلأَرْضِ تَخَافُونَ أَن يَتَخَطَّفَكُمُ النَّاسُ فَئَاوَاكُمْ وَأَيَّدَكُمْ بِنَصْرِهِ وَرَزَقَكُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan ingatlah ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi , kamu takut orang-orang akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya karunia rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.” (QS. Al Anfal: 26)

Bersabar
Allah telah menyebutkan kata-kata sabar di sembilan puluh tempat dalam Al-Quran, yang ditambahi keterangan tentang berbagai kebaikan dan derajat yang tinggi serta menjadikan kebaikan dan derajat ini sebagai buah dari sabar. (Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 341, Pustaka Al Kautsar (1997)).

Allah Swt. berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ اْلأَمْوَالِ وَاْلأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ {155} الَّذِينَ إِذَآ أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا للهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ {156} أُوْلآئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتُُ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُوْلآئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al Baqarah: 155-157)
Rasulullah Saw. bersabda, “Tidaklah seseorang diberi karunia yang lebih baik dan lebih luas, selain dari kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Kesabaran dalam iman itu seperti kedudukan kepala dari jasad.” (HR. Dailamy)

Al-Hasan berkata, “Kesabaran itu salah satu dari berbagai harta simpanan yang baik. Allah tidak memberikannya kecuali seorang hamba yang mulia di sisi-Nya.”

إِن تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةُُ تَسُؤْهُمْ وَإِن تُصِبْكُمْ سَيِّئَةُُ يَفْرَحُوا بِهَا وَإِن تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لاَ يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطُُ

“Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi Jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (QS. Ali Imran: 120)

Salah satu tonggak kemenangan seorang muslim adalah karena kesabaran yang ada dalam dadanya. Sebagaimana Allah berfirman:

يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَّكُن مِّنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَيَفْقَهُونَ {65} الْئَانَ خَفَّفَ اللهُ عَنكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِن يَكُن مِّنكُم مِّائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَكُنْ مِّنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang , niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Anfal: 65-66)

Dengan kesabaranlah pertolongan Allah semakin dekat. Allah berfirman:

وَاصْبِرْ وَمَاصَبْرُكَ إِلاَّبِاللهِ وَلاَتَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلاَتَكُ فِي ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُونَ

“Bersabarlah dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (QS. An Nahl: 127)

Ikhlas
Amal yang diiringi dengan keikhlasan menjadikan manusia sebagai hamba yang merdeka. Dirinya hanya bergantung pada kekuatan yang tak terhingga, yaitu Allah. Ikhlas berarti murni, sesuatu yang murni sangat berharga nilainya. Lawan dari ikhlas adalah syirik. Seorang musyrik membebankan pundaknya dengan menyembah kepada selain-Nya dan itu akan sangat menggelisahkannya.

Nabi Saw bersabda kepada Mu’adz bin Jabal, “Murnikanlah agamamu, niscaya cukup bagimu dengan amal yang sedikit.”

Abu Sulaiman berkata, “Beruntunglah bagi orang yang mengayunkan satu langkah kaki secara benar, yang tidak menginginkannya kecuali karena Allah semata.”

Ibnu Qudamah berkata: “Siapa yang bisa menjadikan sesaat saja dari umurnya, tulus ikhlas karena mengharapkan Wajah Allah, maka dia telah selamat.” (Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 469)

Diam
Lidah kita mememiliki cacat, yakni seringkali kita mengatakan hal-hal yang harus dirahasiakan. Lidah kita sering terkunci pada saat kita harus berbicara. Dengan demikian kebajikan adalah keseimbangan antara berbicara dan diam, pada umumnya kebijakan terletak dalam diam.

Apabila sebuah toko dikunci, tak seorang pun yang akan mengetahui apakah si pedagang menjual permata atau perhiasan murah. Berbicara sama dengan menunjukkan diri sendiri. Kata-kata yang diucapkan tidak dapat lebih tinggi daripada tingkatan berpikir. Kata-kata yang diucapkan menunjukkan jalan pikiran. Oleh karena itu, orang yang ingin menunjukkan apa yang ada dalam dirinya, ia dapat melakukannya dengan baik apabila ia mau merenungkan tentang apa yang ada dalam dirinya sebelum ia berbicara kepada orang lain. Demikian pula, betapapun dalamnya pemikiran kita, atau fasihnya bicara kita, dua prinsip hendaknya dipegang dalam berbicara. Yakni, berpikir sebelum berbicara, dan menghentikan pembicaraan sebelum pendengar berkata, "Cukup!" Jikalau engkau mendengar berita-berita yang mungkin menyebabkan sakit hati, tetaplah diam. Jadilah seperti burung bul-bul, membawa berita baik musim semi dan meninggalkan berita buruk bagi burung hantu.

Seorang sufi dan penyair besar, Sa’di Syirazi berkata, “Bagi orang yang bodoh (dungu) tidak ada yang lebih baik daripada diam, tetapi jika ia tahu banyak tentang hal tersebut, tentu dia bukan orang bodoh.”

Bencana lidah amat banyak ragamnya, bisa terasa manis di hati dan banyak pemicunya yang berasal dari tabiat. Tidak ada cara yang bisa menyelamatkan dari bencana ini kecuali dengan diam. (Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 207)

Abu Darda berkata, “Aktifkanlah dua telingamu daripada mulutmu. Karena engkau diberi dua telinga dan satu mulut, agar engkau lebih banyak mendengar daripada berbicara.” (ibid, hlm. 208)


Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Ilmu itu pada mulanya adalah diam, kemudian mendengarkan, lalu menghafalkan (mengingat), lantas mengamalkannya, dan terakhir menyiarkannya”.

2 komentar: