Rabu, 18 April 2012

Hari Sial Hari Mujur

Seringkali kita dengar dari orangtua atau saudara-saudara kita ungkapan-ungkapan yang menyebutkan bahwa hari A hari mujur sedangkan hari B hari sial. Atau perkataan, jangan pergi hari A karena bisa celaka, lebih baik pergi pada hari B saja.

Kepercayaan seperti itu tidak dibenarkan dalam Islam. Kepercayaan ini bisa digolongkan kepada perbuatan musyrik. Dalam al-Quran Allah Swt. menceritakan bahwa kaum Nabi Musa apabila memperoleh kemakmuran dan keuntungan mereka berkata bahwa itu adalah hasil usaha mereka. Sedangkan bila ditimpa kesusahan mereka mengatakan bahwa yang demikian itu disebabkan oleh Musa (QS. al-A’raf: 131). Begitu pula kaum Nabi Shalih dan lain-lain. Allah Swt. menolak tuduhan dan paham yang sesat itu. (QS. Yasin: 19).

Apakah logis kalau kita menamakan hari dalam sepekan itu sebagai “Hari Sial”, sedangkan seringkali hari-hari itu kita memperoleh kemujuran? Memang seringkali kita menghadapi kenyataan bahwa cukup banyak orang yang bila menghadapi musibah selalu menuding sebab-musababnya adalah hari, rumah, perkawinan dan apa saja yang bisa dia jadikan sebagai “kambing-hitam”. Padahal sebab-musababnya terletak pada dirinya sendiri atau pada perbuatannya sendiri.

Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila kamu berfirasat bahwa kemalangan mungkin akan tiba, maka biarkanlah sedangkan kepada Allah hendaknya kamu bertawakal.”

Rasul juga bersabda, “Barangsiapa mendatangi dukun peramal dan menanyakan sesuatu yang gaib, dia mempercayainya, maka Allah tak akan menerima shalatnya selama 40 hari.” (HR. Muslim).

Muawiyah bin Hakam berkata kepada Rasulullah Saw., “Ada di antara kami orang yang percaya pada kesialan dan kemujuran.” Rasulullah Saw. menjawab, “Yang demikian itu adalah sesuatu perasaan yang dirasakan seseorang dari kalian, maka hendaknya jangan sampai mempengaruhi kalian.” (HR. Muslim).

Kepercayaan pada sial dan mujur itu berkembang subur di kalangan bangsa primitif atau umat yang musyrik, sebagai akibat keyakinan mereka yang berlandaskan khurafat dan takhayul.

Hadits-hadits yang menyebutkan tentang hari sial dan hari mujur semuanya palsu. Sebagaimana dikatakan ahli hadits seperti al-Iraqi, ash-Shan’ani, dan asy-Syaukani. Sebagai contoh hadits yang berbunyi, “Barangsiapa menggembirakan aku dengan berita berakhirnya bulan Shafar, niscaya aku menggembirakannya dengan berita bahwa dia akan masuk surga.”

Pada zaman jahiliyah memang orang percaya bahwa bulan Shafar itu sial. Begitu juga bila burung hantu bersuara di atas rumah seseorang adalah pertanda orang itu terancam kematian atau akan ditinggal mati kerabatnya. Terhadap kepercayaan jahiliyah ini Rasulullah Saw. bersabda, “Tak ada tular-menular, tidak ada penggunaan burung (untuk menerka yang gaib atau menentukan sial-mujur), tidak ada burung elang-malam (yang membawa kabar sial) dan juga bulan Safar.” (HR. Bukhari).

Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa tujuannya dihalangi oleh kepercayaan sial, maka ia telah musyrik.” Para sahabat bertanya, “Apakah yang menggugurkan dosa itu?” Beliau menjawab, “Akan gugur bila kamu mengucapkan: ‘Ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau dan tiada Tuhan selain Engkau’.” (HR. Ahmad).

Rasul juga bersabda, “Bukan dari golongan kami orang yang menggunakan sistem burung bagi dirinya atau bagi orang lain, atau mempraktekkan kahanah (meramal yang gaib) bagi dirinya atau bagi orang lain, mempraktekkan sihir atau menyruh orang menyihir. Dan barangsiapa menyuruh orang meramal lalu dia mempercayai apa yang dikatakan kepadanya, maka dengan perbuatannya itu berarti telah mengingkari ajaran-ajaran Muhammad Saw..” (HR. al-Bazzar).

Rasulullah Saw. pernah menindak seseorang yang memakai cincin dari tembaga, ketika ditanya dia menjawab bahwa cincin itu adalah untuk pengobat sakit reumatik, maka Rasulullah memerintahkan untuk melepas cincin itu dan bersabda, “Sesungguhnya cincin itu akan menambah penyakitmu dan bila engkau mati dan masih memakainya, niscaya engkau akan rugi.” (HR. Ahmad)

Islam menghendaki agar umatnya memiliki kemerdekaan akal pikiran, kebebasan jiwa, penuh tawakal dan tidak mencampur-adukkan soal yang gaib yang menjadi hak Allah secara mutlak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar