Minggu, 22 April 2012

Bedah Buku Al-Qur'an Kitab Zaman Kita

Judul buku: Al-Qur'an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan Kitab Suci dalam Konteks Masa Kini
Penulis: Syaikh Muhammad Al-Ghazali
Penerbit: Mizan
Tebal: 362 hlm.
Cetakan: Pertama (edisi baru) 2008

Sudah sejak lama saya mengagumi buku-buku yang ditulis Syaikh Muhammad Al-Ghazali, yaitu ketika saya masih duduk di bangku SMP. Pada saat itu saya membaca bukunya yang berjudul "Studi Kritis Atas Hadits Nabi" yang diterbitkan oleh Mizan. Kemudian saya membaca buku Jadid Hayatak, Keprihatinan Seorang Juru Dakwah, Fiqh Sirah, Tafsir Al-Qur'an 3 jilid, Bagaimana Memahami Islam, Menghidupkan Kembali Ajaran Ruhani Islam, dan Al-Ghazali Menjawab. Pada waktu duduk dibangku SMA, saya sudah membaca buku Biografi beliau yang ditulis oleh muridnya sendiri, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, dengan judul "Syaikh Muhammad Al-Ghazali yang Kukenal." Buku ini diterbitkan oleh Rabbani Press. Karena rasa senang membaca buku-buku beliau itulah membuat saya banyak membaca buku-buku beliau. 

Apa yang menyebabkan saya senang membaca buku-buku beliau? Pertama, kedalaman pemahaman beliau tentang Islam. Sejak umur 10 tahun beliau telah hafal Al-Qur'an. Orangtua beliau adalah orangtua yang relijius dan menjadi awal pendidikan Islami terhadap diri beliau. Karena prestasinya dan keilmuwannya diakui, Syaikh Muhammad Al-Ghazali diangkat menjadi Profesor di beberapa perguruan tinggi Islam ternama di Timur Tengah dan Afrika. Kedua, wawasan beliau yang luas tentang kondisi umat Islam saat ini. Beliau adalah orang yang berkecimpung dalam dunia dakwah (da'i) dan banyak berkenalan dengan berbagai kalangan mulai dari ilmuwan hingga orang awam. Hal ini mampu memberikan beliau penjelasan tentang kondisi umat Islam kontemporer. Ketiga, keterlibatan beliau secara langsung dalam proyek peradaban Islam yaitu melalui Harokah Islamiyah Ikhwanul Muslimin. Beliau adalah murid Imam Hasan Al-Banna yang banyak menyerap ide dan gagasan gurunya tersebut. Beliau pernah dipenjara belasan tahun karena terlibat dengan Ikhwanul Muslimin. Keempat, gaya bahasanya yang memukau batin saya. Gaya menulis beliau yang bagus, lancar dan jernih ini membuat guru beliau, Imam Hasan Al-Banna, menyerukan kepada segenap kader Ikhwan agar mencontoh gaya menulis Syaikh Muhammad Al-Ghazali.  
Salah satu buku hebat beliau adalah buku "Al-Qur'an Kitab Zaman Kita." Buku ini sangat bagus bagi orang yang ingin menambah wawasan tentang Al-Qur'an, ingin mereguk semangat juang Al-Qur'an, ingin memahami pesan-pesan Al-Qur'an secara global. Beliau mampu menyampaikan pesan-pesan Al-Qur'an pada zamannya saat ini sehingga Al-Qur'an selalu tampak Up To Date. Tulisannya jernih mengalir dan menggugah perasaan. Sangat cocok bagi mereka yang haus akan wawasan Al-Qur'an. Ada beberapa pemikiran beliau yang menurut saya sangat bagus untuk dikemukakan pada kesempatan ini.

Beliau berkomentar tentang ayat, "Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran." (QS. Shad: 29) dengan berkata, "Ayat ini berarti memberi tekanan pada mengingat, menyimak, dan menganalisis." Lalu, beliau mulai menunjukkan pisau kritikannya yang tajam dengan berkata, "Tetapi, manakah analisis yang kita lakukan? Dari manakah kita mengambil pelajaran jika kita tidak menghayati makna ayat secara mendalam atau minimal mengerti maksudnya untuk dijadikan tuntunan yang secara prinsip dibutuhkan oleh umat Islam secara Individual maupun sosial?" (hlm. 29) 

Beliau mengomentari ayat, "Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat- ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang- orang yang tuli dan buta." (QS. Al-Furqan: 73) dengan kritikan yang pedas dan tajam, "Belakangan ini, kita menyaksikan banyaknya orang menanggapi ayat-ayat Al-Qur'an dengan kebisuan dan kebutaan. Di sisi lain, banyak bangsa di dunia ini yang memang menginginkan umat Islam berbuat demikian. Bahkan, bukan hal yang aneh, bila kita banyak menjumpai stasiun pemancar radio internasional menyajikan sebagian programnya untuk pembacaan Al-Qur'an. Misalnya, stasiun pemancar radio di London, bahkan mungkin juga Israel, mengawali acaranya dengan bacaan Al-Qur'an pada acara-acara tertentu. Mereka seolah-olah paham benar bahwa umat islam sekarang ini hanyalah sekedar mendengarkan Al-Qur'an tanpa memperhatikan kandungannya." (hlm. 30) 

Beliau mengkritik kaum muslimin yang mampu menjiwai buku-buku yang mereka baca, tetapi tidak menjiwai isi Al-Qur'an. Gambaran menjiwai Al-Qur'an tampak pada pribadi Rasulullah Saw. di mana Aisyah Ra. pernah mengatakan bahwa "Akhlak Nabi adalah Al-Qur'an." (HR. Muslim). Ini berarti bahwa Nabi Saw. hidup di tengah-tengah semangat Qur'ani dan yang terpancar darinya adalah perilaku Al-Qur'an. Pola pikirnya, lahir batinnya, selalu bersama Allah, sehingga pada saat beliau bersabda, hal itu semata-mata berasal dari Allah juga. Terkadang beliau menyatu dengan alam pada saat merenung dan berpikir tentang kekuasaan Allah serta bercerita tentang masalah-masalah di seputar alam yang luas membentang ini. Beliau juga seakan pernah hidup pada masa generasi sebelumnya, tatkala ia menceritakan kisah-kisah Al-Qur'an. Pada saat Al-Qur'an menggambarkan balasan-balasan di akhirat kelak, semua itu seolah-olah nyata di mata beliau. Ini semua berarti bahwa Nabi Saw. benar-benar hidup di tengah-tengah semangat Al-Qur'an. Hal ini pula yang menjadikan Imam Syafi'i berkata, "Sunnah adalah pemahaman Nabi sendiri terhadap Al-Qur'an yang benar-benar dijadikannya pembimbing hidupnya lahir dan batin."

Apa maksud Al-Qur'an sebagai penyembuh bagi orang-orang beriman? Sebelum menjawab pertanyaan itu, Syaikh Muhammad Al-Ghazali terlebih dahulu memberikan sebuah contoh yang salah dalam memahami Islam: Ada orang yang membaca kitab Al-Bukhari agar mendapat berkah dan kemenangan menjelang pertempuran. Salah seorang rekannya berkomentar ketika melihat tingkah laku orang tersebut, "Perlu diketahui hai kawan, bahwa musuh itu menyerang kita dengan menggunakan kapal laut (al-bukhar) bukan dengan kitab Al-Bukhari. Membaca (kitab) Al-Bukhari tanpa usaha memahami hadits-hadits Nabi yang menjelaskan makna Al-Qur'an dan tanpa adanya usaha berdialog dengan sunnatullah, tentu tidak menjadikan sebuah kapal berlayar, dan membacanya tanpa diimbangi usaha keras, tidak akan berarti sedikit pun."

Kemudian Syaikh Muhammad Al-Ghazali membandingkan contoh di atas dengan apa yang dilakukan generasi salafus shalih: "Kasus di atas tidak sama dengan apa yang pernah terjadi pada umat Islam ketika berhadapan dengan bala tentara Romawi. Umat Islam pada saat itu sudah berpedoman pada Al-Qur'an dan hadits dengan baik. Mereka bahkan menunggu datangnya serangan orang-orang Romawi walaupun mereka belum berpengalaman dalam peperangan di laut. Namun, mereka tahu bahwa tidak mungkin mendapatkan kemenangan atas musuhnya kecuali dengan usaha membuat kapal laut dan menghadangnya sebelum masuk wilayah Islam. Mereka sama sekali tidak pernah berpikir untuk membaca Al-Qur'an dan kitab hadits karena mengharapkan keberkahan untuk mencapai kemenangan. Berkah itu benar-benar ada bila kita mampu merealisasikan ayat-ayat jihad menjadi jihad nyata, atau ayat-ayat penyerangan menjadi sebuah serangan konkret dan dapat dipraktekkan sesuai dengan kondisinya. Sungguh apa yang mereka (orang-orang Arab) lakukan sangat menakjubkan, padahal mereka tidak jauh dari masa jahiliyah." Kemudian Syaikh Muhammad Al-Ghazali memberikan pertanyaan retoris yang pada hakikatnya telah beliau jelaskan sendiri dalam perkataan beliau di atas: "Mereka pada saat itu hanya berkendaraan unta, tetapi apakah yang menyebabkan mereka bisa membuat kapal dan mengarungi lautan serta menghadang musuh di tengah laut lepas untuk mendapatkan kemenangan?" (hlm. 80)         
Pada halaman 109, beliau mengkritik umat Islam yang mencoba memahami Al-Qur'an dengan cara pandang kaum sekuler yang menurut beliau, sudut pandang dikotomis tidak objektif dan menghilangkan bentuk dan substansi Al-Qur'an. Beliau menjelaskan hakikat ini melalui firman Allah dalam surat Al-Alaq ayat 1-7: "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup." Beliau berkata, "Perintah pertama membaca dengan Nama Allah, bukan hanya membaca kebudayaan atau ilmu untuk ilmu saja, tetapi membaca Nama Allah Yang Mahasuci. Sasarannya adalah mengenal Allah yang telah menciptakan. Membaca dikaitkan dengan penciptaan manusia yang berasal dari segumpal darah. Tema sentralnya adalah masuk pada masalah ekonomi dan sosial sekaligus peringatan buat manusia pada saat ia diberi nikmat dan banyak harta dan berakhir dengan kesombongan."

Pada halaman 113, beliau juga mengkritik umat Islam yang memahami Al-Qur'an secara harfiah dan memisahkan dari substansi yang sebenarnya. Menurut beliau sudut pandang seperti ini adalah sudut pandang yang dikotomis dan dapat menyesatkan. Beliau berkata, "Lebih jauh lagi, ada orang yang berpandangan dikotomis dengan mengatakan bahwa Islam adalah agama yang mendorong umatnya untuk berperang. Dan bila kita tanyakan dalilnya, dengan spontan ia membacakan firman Allah yang berbunyi, 'Dan perangilah kaum Musyrik semuanya,' dan hanya berhenti sampai di situ, padahal ayat tersebut masih ada lagi kelanjutannya, 'Sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya.' (QS. At-Taubah: 36). Benarkah Islam agama yang menyukai perang?"

Menurut Syaikh Al-Ghazali, pendapat yang menyatakan bahwa semua ayat memiliki asbabun nuzul bukanlah dasar yang umum melainkan dasar yang khusus. Dengan kata lain, tidak semua ayat Al-Qur'an ada Asbabun Nuzul-nya. Lantas beliau berkata, "Apa sebab diturunkannya surah Yusuf secara sempurna? Surah Yusuf tidak ada Asbabun Nuzul-nya. Surah Yusuf adalah kisah yang menggambarkan petunjuk yang datangnya dari sisi Allah Swt. Demikian pula pada permulaan Al-Qur'an, sebagian surah Al-Baqarah yang bercerita tentang iman, kekafiran, kemunafikan, dan aspek-aspek kemanusiaan lainnya, apa asbabun nuzul-nya? Ayat-ayat tersebut tidak ada asbabun nuzul-nya. Ayat-ayat tersebut tidak lain adalah gambaran kehidupan manusia sekaligus gambaran watak dan sikap manusia itu sendiri. Pada saat manusia diajukan ke hadapannya masalah akidah, selamanya ada saja yang kafir terhadap ajakan tersebut, ada yang beriman, ada juga yang munafik. Oleh karena itu, ada baiknya juga Al-Qur'an secara keseluruhan dipahami dari berbagai segi secara seimbang." (hlm. 121)

Kebenaran pandangan beliau pada paragraf di atas dapat kita lihat dengan membaca Kitab Asbabun Nuzul karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Di sana terlihat jelas bahwa tidak semua ayat Al-Qur'an memiliki Asbabun Nuzul. Wallahu a'lam. 

Pada halaman 140 beliau menyorot secara tajam penyebab kemunduran Islam yang menurutnya disebabkan banyaknya mengamalkan riwayat-riwayat yang sangat lemah, serta dominasi fikih dan kurangnya perhatian terhadap ilmu alam. Di dalam riwayat kemunduran Islam, kita menemukan seorang penguasa seperti Saif Ad-Daulah yang memberi kepada seorang penyair ratusan ribu dinar hanya untuk sebuah qasidah yang diucapkan untuk memujinya. Tetapi di sisi lain ia berpendapat bahwa empat dirham sudah cukup untuk kebutuhan Al-Farabi (filsuf, ahli matematika dan fisika -pen). Al-Kindi (filsuf, ahli matematika -pen) dan fisika)sampai menjauhi dan menyendiri dari orang-orang karena penderitaan hidup yang ia tanggung, dan Al-Hasan bin Al-Haitsam (ahli fisika dan pakar optik-pen) menghabiskan sisa umurnya untuk menulis buku-buku, demi menghidupi dirinya. Dari sini kita mendapatkan gambaran yang sangat memprihatinkan bahwa para ilmuwan Islam, para penemu teori-teori yang sangat berarti bagi umat manusia pada umumnya dan umat Islam khususnya, tidak mendapatkan perhatian yang layak.

Banyak sekali hal-hal menarik dalam buku ini, seolah saya mereguk pengetahuan yang banyak sehingga memberi saya pemahaman yang utuh tentang Al-Qur'an. Saya tidak akan mengupasnya satu persatu disini karena akan memakan waktu dan tempat untuk membahasnya. Saya hanya mengemukakan beberapa di antaranya saja. Saya sarankan kepada sahabat-sahabat semua, untuk membaca buku ini. Saya memberi kesimpulan setelah membaca buku ini: Al-Qur'an melampaui ruang dan waktu. Al-Qur'an tidak berhenti pada kebenaran yang terbukti pada sains saja. Kandungan ayat-ayat Al-Qur'an memiliki kekuatan yang kekal dan universal.               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar