Kamis, 19 April 2012

Keberpihakan Intelektual Muslim Terhadap Agamanya


Sesungguhnya kita pantas bersedih dengan adanya ilmuwan muslim yang berpikiran liberal, padahal sumbangsih mereka untuk kebangkitan Islam sangat dinantikan. Alih-alih memberikan sumbangsih, mereka malah mengadopsi pemikiran Barat yang sekuler dan kemudian menganggapnya sebagai bagian dari ajaran Islam. Mereka memandang Islam sebagai pesakitan dan memandang dunia Barat sebagai dokter yang akan mengobatinya. Kemudian mereka membedah Islam dengan pisau bedah Barat. 

Bukannya kita menolak segala kebaikan yang datang dari dunia Barat – untuk hal ini kita berterima kasih – tetapi alangkah lancangnya jika ada seorang muslim mengatakan pluralisme adalah fakta sejarah. Apakah benar demikian? Mungkin benar jika fakta itu diarahkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Barat, sebagaimana ungkapan Marx, agama adalah candu masyarakat. Untuk meneliti hal ini, kita dapat membaca buku Janji-Janji Islam karya Roger Garaudy, Keadilan Sosial dalam Islam karya Sayyid Quthb, Peradaban Islam Dulu, Kini, dan Esok karya Musthafa as-Siba’i, hingga buku Trend Pluralisme Agama-nya Anis Malik Thoha.

Kiprah Dr. Adian Husaini, Adnin Armas, Dr. Anis Malik Thoha, Akmal Sjafril, dan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi sangat dinantikan. Apa yang antum tulis adalah bagian dari jihad intelektual, sebagaimana juga dilakukan para ulama kita. Dr. Musthafa as-Siba’i lewat al-Hadits Sebagai Sumber Hukum Kedua dan Orientalisme banyak mengungkap kekeliruan orientalis Goldziher dan murid-muridnya. Dr. Dhiyauddin Ra’is menulis buku Teori Politik Islam yang mengkritik buku sekuler, Islam dan Pemerintahan, karya Abdurraziq.

Imam Hasan al-Banna pernah menulis komentar atas buku tokoh sekuler Mesir, Dr. Thaha Husein, yang berjudul Mustaqbal Tsaqofah fi Mishr (Masa Depan Kebudayaan di Mesir), yaitu ketika sedang dalam perjalanan naik kereta. Imam Muhammad Abduh pernah menulis buku berjudul Ilmu Pengetahuan Menurut Peradaban Islam dan Kristen hanya dalam sehari karena geram dan marah Islam telah dihina dan diinjak-injak oleh seorang orientalis Perancis (Ernest Renan) pada saat itu. Syaikh Muhammad al-Ghazali menulis buku Min Huna Na’lam (Dari Sini Kita Ketahui) sebagai counter atas pemikiran sekuler Syaikh Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya Min Huna Nabda (Dari Sini Kita Mulai) dan terbukti kemudian Syaikh Khalid mengakui kekeliruannya dan bertaubat dengan menarik bukunya tersebut dari peredaran dan menulis buku yang membela Islam.

Pekerjaan-pekerjaan seperti itu juga pernah dilakukan oleh ulama-ulama kita beberapa abad yang lalu. Imam al-Ghazali lewat karyanya, Mungidz min Dhalal, Ihya Ulumuddin, dan Tahafut Falasifah, mengungkapkan kerusakan pemikiran filsafat, kebatinan, dan kalam, lantas kemudian mengunggulkan tasawuf di atas pemikiran itu. Imam Bukhari dan Imam Muslim hanya mengumpulkan hadits-hadits shahih saja dalam kitab yang disusunnya, karena di zamannya banyak hadits-hadits palsu bermunculan. Untuk tetap menjaga kemurnian Islam, mereka bersusah payah mengumpulkan hadits-hadits shahih tersebut.

Ulama seperti Ibnu Hazm telah menulis 400 jilid dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia telah menjadikan buku-bukunya sebagai tameng dan senjata ketika menghadapi pihak musuh. Dia adalah seorang ulama terbesar yang pernah dilahirkan di tanah Andalus Spanyol. Seorang Yahudi bernama Ibnu an-Naghrilah di zaman Ibnu Hazm pernah menghina dan “menginjak-injak” al-Quran, namun tidak ada yang menegurnya apalagi menghukumnya. Bahkan pemimpin di negerinya, Badis bin Habus, justru membela si Yahudi itu. Dengan kemarahan yang menyala-nyala, Ibnu Hazm kemudian menulis buku berjudul ar-Rad’ ala Ibni an-Naghrilah al-Yahudi (Bantahan terhadap Ibnu an-Naghrilah si Yahudi).

Begitupun dengan Imam Ibnu Taimiyah, beliau telah menulis kitab ash-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim ar-Rasul sebagai respon terhadap seorang nashrani di zamannya yang telah menghina dan mencaci maki Rasulullah Saw.. Beliau juga menulis buku ar-Rad al-Aqwam Ala Ma Fi Kitabi Fushushil Hukmi yang merupakan respon terhadap pemikiran wahdatul wujud-nya Ibnu Arabi.

Dalam sejarah selalu terlihat para ulama berjihad di jalan ini. Mereka tidak akan tinggal diam ketika agamanya dihina dan dicaci maki. Mereka memiliki apa yang disebut "ghirah" atau kecemburuan dalam hatinya ketika melihat kemungkaran dihadapannya. Mereka menggoreskan ilmu mereka dalam lembar demi lembar kertas dengan sangat cepat. Sehingga ada yang mampu menulis buku hanya dalam sekali duduk, walaupun duduknya berjam-jam lamanya. Hal itu menunjukkan semangat yang membara dalam dadanya sehingga mampu menyelesaikan sebuah buku dalam waktu yang singkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar