Minggu, 15 April 2012

Perjalanan Menuju Allah

Pada suatu hari saya bertanya pada diri saya sendiri, apakah keadaan saya saat ini lebih baik daripada hari kemarin. Saya menjawab pertanyaan itu dengan hati dipenuhi kegalauan. Saya merasa hari-hari saya yang telah berlalu dipenuhi kezaliman. Ya, saya telah menzalimi diri saya dan juga orang lain.

Kemudian, saya katakan pada hati saya bahwa saya bertekad kuat untuk berubah menjadi hamba yang lebih baik lagi. Intinya, hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin. Jika tidak ada perubahan, berarti tidak ada kemajuan dalam hidup saya.

Memang, tidaklah mudah untuk menempuh jalan perubahan. Kita akan berhadapan langsung dengan hawa nafsu kita; yang datang menggoda dan merayu kita untuk tunduk patuh padanya. Sekali saja kita tergoda, maka godaan selanjutnya akan lebih mudah dilakukannya. Jika kita menolaknya, maka godaan itu akan semakin kuat, tetapi kita juga semakin kuat, semakin merasakan manisnya iman, semakin merasakan lezatnya ibadah.

Imam Ibnul Qayyim mengatakan tentang tempat-tempat persinggahan orang-orang yang mengadakan perjalanan kepada Allah: Yang pertama al-Yaqzhah, artinya kegalauan hati setelah terjaga dari tidur yang lelap. Hal ini sangat penting dan membantu pembenahan perilaku. Siapa yang merasakannya, berarti dia telah merasakan satu keberuntungan. Jika tidak, berarti dia tetap dicengkeram kelalaian. Jika sudah tersadar, dia diberi bekal hasrat untuk memulai perjalanannya dan menuju persinggahannya yang pertama dan ke tempat dimana dia ditawan.

Jika perjalanan sudah dimulai, maka hati beralih ke persinggahan al-Azm, yaitu tekad yang bulat untuk melakukan perjalanan, siap menghadapi segala rintangan dan mencari penuntun yang dapat menghantarkan ke tujuan. Seberapa jauh seseorang memiliki kesadaran, maka sejauh itu pula tekadnya, dan seberapa jauh tekad yang dimilikinya, maka sejauh itu pula persiapan yang dilakukannya.

Jika sudah terjaga, maka dia memiliki al-Fikrah, yaitu pandangan hati yang hanya tertuju ke sesuatu yang hendak dicari, sekalipun dia belum memiliki gambaran jalan yang menghantarkannya ke sana. Jika fikrah-nya sudah benar, tentu dia memiliki al-Bashirah, yaitu cahaya di dalam hati untuk melihat janji dan ancaman, surga dan neraka, apa yang telah dijanjikan Allah terhadap para wali dan musuh-Nya. Dengan semua ini seakan-akan dia bisa melihat apa yang terjadi pada hari akhirat, semua orang dibangkitkan dari kuburnya, para malaikat didatangkan, para Nabi, syuhada dan shalihin dihadirkan, jembatan dibentangkan, musuh-musuh dikumpulkan, api neraka dikobarkan. Di dalam hatinya seakan ada mata yang dapat melihat berbagai kejadian akhirat, dan dia juga melihat bagaimana keduniaan ini yang begitu cepat berlalu. (Madarijus Salikin, hlm. 32-33, Cet. V 2003, Pustaka al-Kautsar)

Segala puji bagi Allah yang telah memberi saya petunjuk untuk berubah. Saya berkata pada diri saya sendiri, ingat-ingatlah wahai jiwa apabila engkau ingin merdeka, merasakan manisnya iman dan lezatnya ibadah, maka lepaskanlah dirimu dari belenggu hawa nafsumu sendiri. Ingat-ingatlah dosa-dosamu yang telah berlalu, kemudian engkau renungkan apakah engkau akan selamat atau akan binasa. Ingat-ingatlah, mungkin karena kezaliman yang telah engkau lakukan, ada airmata yang tumpah, ada rasa pedih yang menyayat hati, ada kerinduan yang mencekam, ada kebencian dan kemarahan yang meluap, ada doa-doa orang yang teraniaya. Ingat-ingatlah, shalat yang telah engkau tinggalkan, bagaimana caramu membayarnya, padahal shalat itu kewajiban bagimu? Ingat-ingatlah janji yang belum engkau tunaikan, sumpah yang engkau khianati, taat hanya dikala ramai, maksiat dikala sepi, mulut manis yang sering berkata dusta. Ingat-ingatlah sudah berapa lama engkau hidup dalam kelalaian, sementara itu waktu terus berlalu dan engkau tidak pernah berada dalam kemajuan berarti. Ingat-ingatlah tawa ria anakmu, apakah engkau tega melepaskannya dari dirinya? Ingat-ingatlah senyum kebahagiaan istrimu, apakah engkau tega menghilangkannya?

Di mana engkau kini berada, di dunia yang akan segera berakhir, entah kapan, yang pasti akan segera berakhir. Apakah engkau takut mati? Takut mati karena kurangnya perbekalan, takut mati karena banyaknya dosa-dosa, takut mati karena berpisah dari orang-orang yang engkau cintai, entah perpisahan yang sementara atau abadi, entah engkau akan bertemu lagi dengan mereka di surga atau salah satu di antara engkau dan mereka terseret dalam api neraka.

Jika engkau hanya mengharapkan rahmat Tuhan tanpa mau beramal, engkau hanya berkhayal. Harapkanlah rahmat Tuhan dan tanamkan dalam dirimu rasa takut akan amal salehmu yang tidak diterima oleh-Nya. Dengan harapan itu, engkau pantang putus asa. Dan, dengan rasa takut itu, engkau menjadi insan bertakwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar