Selasa, 24 April 2012

Hukuman bagi Ateis


Pada dies natalis ke-5 sebuah perguruan tinggi yang cukup terkenal di Arab Saudi, seorang mahasiswa berdiri di depan aula kampus sambil memperhatikan jarum jamnya seraya berteriak: "Jika Allah itu ada, maka matikanlah aku pada jam setelah jam ini." Ia seorang mahasiswa yang sangat dikagumi di kalangan para mahasiswa dan para dosen karena kecerdasannya.

Tanpa terasa detik demi detik berganti menjadi menit, dan menit demi menit beralih menjadi jam, sehingga jam yang dinantikannya akhirnya tiba juga. Kemudian ketika jam itu berlalu tanpa kematian dirinya, maka dengan sombongnya ia berkata kepada teman-temannya dengan nada suara mencemooh: "Bukankah kalian lihat sendiri, bahwa jika Allah itu ada, niscaya Dia akan mematikanku pada jam tadi, tetapi ternyata aku masih hidup."

Mendengar perkataannya yang ngawur itu, akhirnya sejumlah mahasiswa pergi dari hadapannya. Di antara para mahasiswa itu ada yang terbujuk rayuan setan sehingga di dalam hatinya timbul keragu-raguan. Ada juga kelompok yang berkomentar: "Allah Ta'ala menangguhkan kematiannya semata-mata karena ada suatu hikmah yang terkandung di dalamnya." Kemudian ada kelompok yang hanya menggeleng-gelengkan kepala dan mencemoohkannya. 

Kemudian mahasiswa itu pulang ke rumahnya dengan wajah yang ceria serta langkah yang cepat, seakan-akan ia merasa yakin dan bangga dengan argumentasi logikanya tadi karena tidak ada seorangpun yang membantahnya ketika ia mengatakan bahwa: "Allah Ta'ala itu tidak ada, dan manusia ada dengan sendirinya sehingga ia tidak perlu mengenal Tuhan dan tidak akan ada tempat kembali dan perhitungan amal bagi manusia."

Ketika ia memasuki rumahnya, ia mendapati ibunya sedang menyiapkan hidangan makan siang, sementara bapaknya sedang duduk menghadapi hidangan yang tersaji di meja makan sambil menunggu kedatangannya. Melihat hal itu maka mahasiswa itu segera pergi ke kamar mandi, lalu ia mencuci muka dan tangannya sambil berdiri di hadapan ibunya. Pada saat ia sedang mengeringkan tangan dan mukanya dengan sapu tangan tiba-tiba ia jatuh terjerembab di lantai. Tubuhnya diam tidak bergerak sama sekali.

Melihat kejadian itu, kedua orangtuanya panik dan kaget, lalu mereka cepat-cepat membawanya ke dokter. Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata mahasiswa itu telah mati. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter, penyebab kematiannya adalah air yang masuk ke dalam telinganya.

Sehubungan dengan kejadian itu tersebut DR. Abdurrazzaq Naufal berkomentar, "Mahasiswa itu mengingkari keberadaan Allah, di mana Allah tidak mematikannya, kecuali dalam keadaan seperti matinya seekor keledai."

Berdasarkan hasil penelitian ilmiah bahwa keledai dan banteng akan mati bila telinganya kemasukan air. Kematian mahasiswa itu terjadi hanya selisih satu jam dari waktu yang dimintanya tadi. (Diambil dari buku Akhir Hayat Orang yang Zalim karya Ibrahim Abdullah Hazami hlm. 76-77)
****
     
Beberapa waktu yang lalu, saya menyaksikan berita di televisi. Seorang pemuda dari Sumatera Barat ditangkap aparat berwenang karena menyebarkan ateisme dan menghina Islam. Dia telah murtad dari Islam dan kini menjadi ateis. Nampaknya, orang seperti dia bukanlah pemain baru. Apalagi di internet. Begitu mudahnya orang berkata "Tuhan itu tidak ada" tanpa merasa takut dengan hukum Tuhan. Tanpa merasa Tuhan sedang mengawasi dan mencatat setiap perkataan dan tingkah lakunya. 

Apakah kita akan membiarkan mereka berkata seenaknya ditengah masyarakat? Dalam sistem politik Islam, tugas pemerintah adalah melindungi akidah umat. Maka, para penyebar keonaran itu harus dihukum sebagai efek jera baginya dan bagi yang lain. Namun, hendaknya terlebih dahulu menasehatinya tentang efek buruk yang akan menimpanya di dunia dan di akhirat serta pengaruh yang bisa ditimbulkan dari perbuatannya tersebut. Bila tetap tidak mau bertaubat, maka hendaknya hukum ditegakkan. Kebebasan yang hakiki itu tidak hanya milik individu ansich tetapi juga menyentuh orang lain yang berada di sekitarnya, yang merasa terganggu dengan perbuatannya itu. Jadi, tidak bisa seseorang bebas, berbuat semaunya. Orang lain juga memiliki kebebasan untuk tidak diganggu. Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Maka pemerintah harus menghukum si pembuat onar tersebut untuk melindungi masyarakat yang lebih luas. 

Masalahnya saat ini kita tidak menyaksikan hukuman itu ditegakkan dengan semestinya. Kita saksikan sendiri, kelompok seperti Jaringan Islam Liberal menghina Islam tetapi tetap saja mereka tidak ditangkap oleh aparat. Akibatnya, mereka berbuat semaunya dan merasa tidak ada yang menghalanginya. Mereka menggembar-gemborkan kebebasan, tetapi kebebasan yang mana? Kebebasan yang kebablasan. Kebebasan yang melanggar hak asasi. Mereka berbuat sebebas-bebasnya sambil menahan kita agar kita tidak berbuat sebebas-bebasnya terhadap diri mereka. Ketika pemerintah tidak mampu lagi menghukum orang-orang seperti mereka, tidak peduli dengan akibat yang bisa ditimbulkan dari ulah mereka. Maka, tunggulah masa kehancurannya dan seorang pemimpin harus bertanggung jawab tentang kepemimpinannya. 

Kisah di atas hendaknya menjadi pelajaran bagi kita. Bahwa tidak ada yang luput dari-Nya. Bahkan, terbersit dari hati kita prasangka tentang-Nya, baik maupun buruk, menghasilkan kebaikan atau keburukan pula bagi kita. Apalagi mereka yang sudah berani terang-terangan menghina Tuhan!!    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar