Sabtu, 28 April 2012

Apakah Dampak Buruk Dosa Mesti Nampak Seketika?

Saya membaca buku “Agar Tak Terjerumus Dosa” karya Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al-Lidaan. Setelah membaca daftar isi, ada satu bab yang menarik perhatian saya. Lalu saya memulai membaca bab itu. Judul babnya: “Apakah Dampak Buruk Dosa Mesti Nampak Seketika?” Judul bab ini menarik perhatian saya. Saya sering bertanya, apakah dosa yang kita lakukan selama di dunia pasti akan Allah balas di dunia juga atau hanya dibalas diakhirat nanti?

Menurut buku itu, dampak buruk dosa pasti akan nampak meskipun tidak seketika pada saat setelah melakukan dosa itu. Syaikh Abdullah mengutip beberapa pernyataan orang-orang saleh jaman dulu. Ibnu Sirin Rahimahullah berkata, “Masih hangat dalam ingatanku dosa yang disebabkan hutang, persis saat kejadiannya. Kala itu tepatnya empat puluh tahun lalu aku berkata kepada seseorang; Hai si pailit.... Sekarang aku yang bangkrut.”

Amar bin Murrah berkata, “Aku pernah melihat seorang gadis yang menarik perhatianku dan sekarang aku buta. Semoga musibah ini menjadi penghapus dosaku itu.”

Saya tambahkan: Dahulu, tangan-tangan saudara-saudara Nabi Yusuf As. menyiksa Nabi Yusuf. Kemudian Yusuf dibeli oleh orang Mesir. Akan tetapi, pada masa berikutnya, tangan-tangan merekalah yang justru meminta makanan, sebagaimana dikisahkan dalam firman Allah Swt.,“Bersedekahlah kepada kami.” (QS. Yusuf [12]: 88).

Hasan al-Bashri berkata, “Melakukan suatu kebaikan betapapun kecilnya, ia akan menawarkan cahaya dalam hatinya dan memberikan kekuatan pada amalnya. Barangsiapa melakukan suatu kejahatan betapapun kecilnya, lalu ia meremehkannya, maka hal itu akan mewariskan kegelapan pada hatinya dan kelemahan pada amalnya.”

Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika aku melakukan suatu maksiat, maka aku melihat akibatnya dalam perilaku pembantu dan hewan tungganganku.”

Utsman an-Naisaburi menceritakan, suatu saat tali sandalnya putus tatkala dia dalam perjalanan untuk melakukan shalat jumat. Dia berhenti untuk memperbaikinya. Beberapa saat kemudian dia berkata, “Ini semua karena saya tidak mandi untuk shalat jumat.”

Al-Hajjaj seorang pejabat di masa kekhalifahan Umayah, dikenal karena kesadisannya, kekejamannya, pembunuh para ulama shalih, termasuk di dalamnya Said bin Jubair. Sekalipun kekayaannya banyak, kedudukan dan pangkatnya tinggi, namun ia hina di sisi Allah dan kaum muslimin yang mencintai kebaikan. Akhirnya ia mati dalam keadaan mengenaskan, tubuhnya dipenuhi bisul yang apabila muncul rasa sakit darinya, terdengar suara yang keras dari mulutnya seperti banteng yang meregang nyawa.

Ahmad bin Du’ad, seorang tokoh Mu’tazilah, ikut andil menyiksa Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad pun mendoakan kebinasaannya, maka Allah menimpakan padanya suatu penyakit yang membuatnya sering mengatakan, “Adapun separoh tubuhku ini apabila dihinggapi oleh seekor lalat, kurasakan sakit yang bukan kepalang hingga seakan-akan dunia ini kiamat. Sedang separoh tubuhku yang lain andaikata digerogoti dengan catut sekalipun, niscaya aku tidak merasakannya.”

Dalam Kitab al-Jawabul Kafi Liman Saala Anid Dawaaisy Syafi karya Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah disebutkan sebagai berikut:

Allah Swt. berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Ruum: 41).

Menurut Ibnu Zaid, yang dimaksud kerusakan di darat dan dilautan adalah dosa. Dalam bahasa Arab, agar adalah “li” atau huruf lam untuk menunjukkan makna akibat. Jadi, makna kerusakan pada bagian pertama adalah kekurangan, keburukan, dan penderitaan yang diturunkan oleh Allah di bumi karena perbuatan maksiat hamba-Nya.

Sementara Mujahid Ra. dalam mengomentari ayat di atas berkata, “Demi Allah, yang dimaksud adalah setiap desa berada diatas air dan yang mengalir adalah lautan.”

Maha Besar Allah! Apa yang disampaikan sahabat Nabi Saw. itu mengingatkanku pada kejadian tsunami beberapa tahun yang lalu.

Abu Hurairah Ra. berkata, “Sesungguhnya seekor burung akan mati disarangnya karena perbuatan zalim seseorang.” Mujahid Ra. berkata, “Sesungguhnya binatang ternak melaknat ahli maksiat dari keturunan Adam. Jika paceklik menimpa dan hujan tidak turun mereka berkata, ‘Ini akibat maksiat yang dilakukan oleh keturunan Adam’.”

Ikrimah Ra. berkata, “Binatang melata dan serangga di bumi hingga kumbang kelapa dan kalajengking berkata, ‘Kami tidak merasakan walau hanya setetes hujan karena dosa-dosa keturunan Adam’.”

Orang-orang saleh begitu sangat sensitif terhadap dosa, sehingga mereka masih ingat dengan dosa yang pernah dilakukannya berpuluh tahun yang lalu. Mereka merasakan bahwa hal-hal buruk yang terjadi pada diri mereka tidak lain disebabkan oleh kesalahan mereka sendiri. Mereka lalu memohon ampunan dan mengharap kasih sayang Allah atas diri mereka. Sedangkan orang yang fasik tidak merasakan sensitivitas itu karena mereka menunda-nunda taubat.Sehingga hati mereka terkunci rapat dari mendengarkan kebenaran. Setiap kali mendapat suatu musibah, mereka tidak berpikir hal itu terjadi karena dosa yang mereka perbuat. Setelah musibah itu melemah dan mereda, masih saja mereka berbuat maksiat. Begitu seterusnya. Sampai Allah menentukan hukuman bagi mereka dari arah yang tidak disangka-sangka sebelumnya. Allah mengangkat mereka lalu membanting mereka dengan sangat keras sehingga mereka tidak kuasa bangkit untuk berdiri. Dan, jadilah mereka orang yang berputus asa. Saat terlambat, mereka baru sadar, bahwa segalanya telah berakhir. Rasulullah Saw. bersabda, “Janganlah sekali-kali kalian meremehkan dosa. Karena, sesungguhnya ia bisa semakin bertambah dan menumpuk pada seseorang hingga menghancurkannya.” (HR. Ahmad dan Thabrani).

Dalam kitab Shaidul Khatir, Imam Ibnu Al-Jauzy mengutip sebuah hadits: “Seperti apa perbuatanmu, seperti itulah balasannya. Kebaikan itu tak akan lapuk, sementara dosa-dosa tak mungkin terlupakan. Dan para pengutang tak akan pernah nyenyak tidurnya. Seperti apa perbuatanmu, seperti itulah balasannya.”

Ketika Allah menegur kita karena perbuatan maksiat yang kita lakukan, dan kita menyadari bahwa musibah itu terjadi karena maksiat yang kita lakukan, maka itu adalah salah satu bentuk curahan kasih sayang Allah. Sedangkan bagi mereka yang dilepas oleh Allah untuk terus berbuat maksiat, maka celakalah bagi mereka karena sesungguhnya Allah murka kepada mereka. Namun sedikit sekali manusia menyadari hal ini.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar