Saya membaca berita di sebuah surat kabar yang membuat hati ini miris. Seorang pegawai pemerintah mengeluhkan tindakan walikotanya – yang dikenal bersih dan bermoral – karena telah membebaskan biaya pembuatan KTP. Si pegawai tersebut merasa tidak mendapat uang masukan tambahan yang sebelumnya ia peroleh. Tidak hanya itu, surat kabar yang menulis berita itu juga terlihat malah menjelek-jelekkan walikota tersebut. Seolah-olah yang namanya orang hanya pegawai pemerintah yang membuat KTP saja. Padahal banyak masyarakat yang mengharapkan agar pembuatan KTP digratiskan. Surat kabar itu yang katanya dikenal reformis dan orang-orangnya – katanya – juga reformis ternyata hanya pandai bersilat lidah. Mereka lebih menginginkan politik kekuasaan ketimbang kebersamaan.
Mereka menginginkan pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, tetapi ketika pemerintahan itu telah terwujud, justru mereka berbalik menentangnya. Apakah mereka tidak sadar, sesungguhnya mereka seperti orang yang berteriak maling padahal mereka sendiri adalah malingnya? Yang mereka tahu hanya kesenangan belaka. Mereka menganggap dengan mendukung seseorang yang bersih dan peduli, akan mendapatkan kekayaan yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Atau tingkat kemakmuran mereka semakin bertambah karena pimpinannya tidak korupsi. Tetapi ternyata anggapan itu jauh dari perkiraan mereka. Justru dengan terpilihnya pemimpin yang bersih, segala bentuk korupsi mulai dari tingkat atas sampai bawah dibabat habis. Mengetahui kenyataan ini, mereka justru semakin menderita karena tidak bisa korupsi lagi walau sedikit saja.
Saya takutkan kejadian itu terulang pada diri kita. Sebuah kejadian yang merupakan refleksi dari kemunafikan kita. Dulu, Imam Husain bin Ali sudah dibaiat oleh penduduk Kufah dan Basrah untuk berperang melawan pemerintahan otoriter saat itu. Ternyata ketika sudah ditentukan hari H untuk berperang, yang hadir hanya sedikit. Kemana yang lain? Mereka bersembunyi karena ketakutan. Mereka hanya ingin menang dan senang sendiri. Mungkin begini apa yang dikatakan mereka ketika itu, “Berjihadlah! Kalau menang jangan lupakan kami.” Ya, kalau menang seluruh penduduk pasti akan mendapatkan keadilan dari seorang pemimpin yang berhati mulia. Tapi kalau kalah, mereka tidak mendapatkan luka apa-apa. Harta dan jiwa mereka terselamatkan dari kancah peperangan.
Di antara orang-orang munafik ada al-Hajjaj, orang yang kalau menyampaikan khutbah Jum’at bisa membuat jama’ah menangis. Sayangnya, ia juga termasuk manusia yang teramat zhalim. Banyak ulama dan orang tak berdosa yang harus meregang nyawa ditangannya. Adapula Abdul Malik yang pandai mengungkap hikmah di atas mimbar, tapi kemudian ia larut dalam pertumpahan darah. Ada juga si penyair, Abu Athaiyah, yang seluruh syairnya berisi tentang kematian dan kezuhudan di dunia, namun orang-orang yang mengenalnya menyebutkan bahwa dia orang yang jarang sekali menyebut hari kiamat. Bahkan di antara mereka ada yang meragukan keyakinannya. Masih banyak lagi selain mereka, orang-orang yang mudah berbicara, tapi sulit bagi mereka mengerjakan apa yang diucapkan lisannya, persis yang difirmankan Allah, ”Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak sesuai dengan isi hatinya.” (QS. Ali Imran [3]: 167).
Apakah kita memang betul-betul orang munafik, yang mengatakan apa yang tidak diperbuat? Apakah kita bagian dari orang-orang yang “berbaiat” kepada pemimpin kita kemudian kita berlepas diri setelah itu, bahkan berbalik menyerang mereka? Apakah kita orang yang mengatakan, “Aku pendukung setiamu”, tetapi ketika bertemu dengan para pengkhianat kita juga mengatakan, “Aku pendukung setiamu”? Mari kita periksa sejenak kondisi hati-hati kita. Jika memang kita telah menjadi munafik, taubat adalah jalan keluar yang utama sebelum ajal datang menjemput. Walaupun kita tidak berperilaku seperti itu, merupakan sebuah kebaikan jika kita tetap bertaubat kepada-Nya. Karena ketaatan kita tidak dipandang sempurna kecuali oleh-Nya, sedangkan kita tidak tahu apakah ketaatan yang kita lakukan itu sempurna atau tidak.
Mari kita berlindung diri kepada Allah dari memiliki sifat munafik. Kita ketahui, sifat itu akan mengantarkan kita pada jurang neraka yang paling dalam. Orang-orang munafik itu lebih jahat dari musuh yang nyata. Mereka masuk ke dalam selimut kita dan kemudian tiba-tiba menyerang kita! Ya Allah, kami minta kepada-Mu hati yang terlepas dari kesombongan, kemunafikan, dan kedengkian. Kami minta pula kepada-Mu hati yang terisi penuh dengan keikhlasan, kesabaran, dan kasih sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar