Selasa, 03 April 2012

Senantiasa Berada Di Pihak yang Benar

Ustadz Sayyid Quthb berkata, “Hakikat iman tidak akan terbukti kesempurnaannya dalam hati seseorang sampai ia menghadapi benturan dengan orang lain, yang berlawanan dengan imannya. Karena disinilah seseorang akan melakukan mujahadah sebagaimana orang lain melakukan mujahadah kepadanya untuk menghalanginya dari keimanan. Di sinilah cakrawala iman akan tersingkap dan terbuka. Keterbukaan yang tidak pernah terjadi pada jiwa orang yang tidak merasakan iman.”

Setiap penulis muslim sejati haruslah berpihak kepada Islam dan kebenarannya, sebagaimana musuh berpihak kepada kekufuran dan kedustaannya. Ia tidak berdiri ditengah-tengah ketika melakukan aktivitasnya, tetapi harus berada di front para pembela Islam. Ia tidak abu-abu dalam bersikap menghadapi musuh. Ia senantiasa tegas dan keras terhadap musuh, karena musuh dengan sangat jelas sesat dan menyesatkan. Tidak ada kata lain, ia harus berhadapan dengan mereka untuk menyelamatkan umat dari kesesatan yang mereka sebarkan. Ini adalah suatu tindakan yang gagah berani, yang hanya dilakukan oleh mereka yang merasakan manisnya iman.

Ketika ia menghadapi benturan ini, ia dengan sabar menghadapinya. Ia tahu jalan yang ditempuhnya pasti penuh rintangan dan tantangan. Ia harus lebih banyak membaca guna mempersiapkan bekal untuk menghadapi kepongahan sang musuh. Menulis adalah jihad fisabilillah! Jihad dalam artian yang sesungguhnya jika ia melakukannya dengan baik.

Ulama seperti Ibnu Hazm telah menulis 400 jilid dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia telah menjadikan buku-bukunya itu sebagai tameng dan senjata ketika menghadapi pihak musuh. Dia adalah seorang ulama terbesar yang pernah dilahirkan di tanah Andalus Spanyol. Seorang Yahudi bernama Ibnu an-Naghrilah di zaman Ibnu Hazm pernah menghina dan “menginjak-injak” al-Quran, namun tidak ada yang menegurnya apalagi menghukumnya. Bahkan pemimpin di negerinya, Badis bin Habus, justru membela si Yahudi itu. Dengan kemarahan yang menyala-nyala, Ibnu Hazm kemudian menulis buku berjudul ar-Rad’ ala Ibni an-Naghrilah al-Yahudi (Bantahan terhadap Ibnu an-Naghrilah si Yahudi).

Ia tidak hanya mengecam si Yahudi itu, tetapi juga para ulama yang bungkam seribu bahasa ketika menghadapi peristiwa ini. Ia berkata, “Wahai rakyat Andalus, janganlah kamu membuat diri salah pilih. Janganlah kamu terpedaya oleh mereka (fuqaha) dan kaum fasik. Mereka merasa memiliki ilmu fikih, namun merekalah orang yang berpakaian kulit domba sedangkan hati mereka buas. Mereka menghiasi para kriminalis dan membantu kefasikan kaum hipokrit.”

Dengan berkata begitu, berarti kini Ibnu Hazm menabuh genderang tanda bahaya. Ibnu Hayyan, penulis kitab Masalik wa al-Mamalik, berkata tentang Ibnu Hazm, “Ia membantah ilmu-ilmu orang yang tidak sesuai dengannya secara mendalam dan tajam, menunjukkan cacat-cacatnya, dan dia berpegang pada firman Allah, ‘Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu semuanya pada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya.’ (QS. Ali Imran [3]: 187).

Ia tidak bersikap lembut dalam mengatakan kritikannya, dan tidak pula dengan berangsur-angsur, akan tetapi ia menokok seperti batu…lalu mulailah raja-raja membicarakannya bersama orang-orang yang dekat dengannya, lalu mengusirnya dari negeri sendiri…”

Dan terbukti, ia kemudian diusir dari negerinya, diasingkan, dan kekayaannya di sita negara. Keadaannya yang cukup menyedihkannya ini membuatnya menulis, “…dan tuan tahu bahwa pikiranku goncang, perasaanku hancur karena jauh dari negeri sendiri, sunyi dari tanah kelahiran, berubahnya waktu, hukuman sultan, berubahnya para sahabat, buruknya kondisi, hilangnya masa senang, keluar dari semua harta kekayaan dari yang kecil sampai yang besar, terputus dari hasil usaha bapak dan nenek para leluhur, merasa asing dalam negeri, hilang harta dan kehormatan, pikiran mengambang untuk melindungi keluarga dan anak-anak, rasa putus asa untuk dapat kembali pada keluarga, dan menunggu nasib baik. Semoga Allah tidak menjadikanku merintih kecuali hanya kepada-Nya.”

Sekalipun mendapat tikaman yang sangat mematikan, namun hal itu tidak menyulutkan semangatnya untuk tetap setia dalam agama-Nya. Ia berusaha tegar dan menjaga kehormatan diri dari mengeluh kecuali kepada-Nya. Buktinya, setelah kematiannya, karya tulisnya yang cukup banyak itu dijadikan rujukan penting para ulama sesudahnya. Di antara karya-karyanya yang banyak dibaca dan ditelaah oleh banyak orang dari zaman ke zaman adalah, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (merapikan dasar-dasar hukum), al-Muhalla (yang terhias), Thauqul Hammamah fil Ulfah wal Alâf (merpati tentang cinta dan para pecinta), Nuqat al’Arus fi Tawarikh al-Khulafa’ (silsilah para khalifah), al-Fashal fi al-Milal wa al-Ahwa wa an-Nihal (tentang perbandingan agama), dan Risalah fi Fadha’il Ahl al-Andalus (berita keutamaan penduduk negeri Andalus).

Seorang sejarawan dua abad setelah wafatnya berkata, “Dia adalah ulama Andalus yang paling terkemuka, paling banyak menyampaikan peringatan di majelis pertemuan para pemimpin dan terhadap pendapat para ulama.”

Demikianlah tentang sebuah pelajaran berharga yang dapat diambil dari seorang ulama bernama Ibnu Hazm. Seorang penulis sejati hendaknya bercermin padanya. Sudah semestinya ia harus berada di pihak yang benar dalam kondisi bagaimana pun. Namun ia harus menyadari bahwa jalan yang ditempuhnya itu bukanlah jalan yang mudah dan penuh kesenangan. Ia harus rela meski nyawa dan harta taruhannya, demi sebuah kebenaran yang tunduk kepada Allah.

Namun dibalik itu semua, bukan tanpa pujian setelahnya. Pujian akan senantiasa berkumandang untuknya, untuk karya-karyanya. Pemikirannya menjadi rujukan, keteguhannya dalam bersikap menjadi teladan bagi generasi selanjutnya. Allah Swt. berfirman:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَآءِ {24} تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللهُ اْلأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim [14]: 24-25).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar