Imam Ibnul Qayyim mengatakan, bahwa kata “taqwa” sebenarnya berasal dari kata kerja waqaa-yaqii (artinya menjaga atau melindungi). Dengan demikian dapat diketahui bahwa asal lafadz taqwa adalah wiqaayah yang berarti penjagaan. Sebab sebenarnya orang yang bertakwa telah meletakkan wiqaayah (sebuah penjagaan) antara dirinya dengan neraka. Sedangkan wiqaayah sendiri sebenarnya sebuah upaya untuk menjauhkan diri dari mudharat. (Zaad al-Muhajir Ilaa Rabbihi (Kembali kepada Allah), hlm. 25, Pustaka Azzam Cet. I 2001).
Alangkah mulianya orang-orang yang menempuh jalan takwa, karena mereka menempuh jalan yang jauh dari mudharat. Jika dapat diibaratkan sebuah jalan, maka jalan takwa adalah jalan yang lurus. Jalan yang lurus adalah jalan yang paling dekat dengan tujuan dan paling cepat untuk sampai ke tujuan. Jika kita menempuh jalan takwa, berarti kita akan meraih apa-apa saja tujuan yang kita inginkan, dengan mudah. Mereka ada yang mendapatkan kenikmatan dunia, makanan yang lezat, tempat tinggal yang asri, kehidupan yang nyaman, dan kedudukan yang terhormat. Tatkala mereka ditimpa ujian dan cobaan, maka sabarlah yang melapangkan hidupnya dan rasa ridhalah yang menyejukkan hatinya.
Sementara, mereka yang menempuh jalan selain jalan takwa, mereka sangat dekat dengan mudharat dan sangat jauh dari maslahat. Mereka juga menempuh jalan yang sangat jauh dan melelahkan, jalan yang mendaki, terjal, dan sulit. Mereka laksana manusia yang masuk dalam kegelapan. Hati manusia lain pun berpaling menjauh darinya. Jika mereka memiliki harta yang banyak, maka harta itu diperoleh dari jalan yang haram. Jika mereka ditimpa kesulitan, mereka mulai mengecam takdir, seolah takdirlah penyebab penderitaannya. Oleh karena itulah, orang-orang yang fasik sangat dekat dengan kesedihan, kesengsaraan dan kesulitan. Sementara orang-orang yang bertakwa sangat dekat dengan petunjuk, kebahagiaan, dan kemudahan. Bukankah Allah telah berfirman, وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا “Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. ath-Thalaq: 4).
Alangkah indahnya perkataan Imam Ibnu al-Jauzy berikut ini, “Orang-orang yang konsisten dan lurus dalam jalan takwa, tak pernah terancam penyakit dan tak pernah terancam bahaya serta tak pernah merasa ditimpa bencana. Jika kita melihat ada bala yang menimpa orang-orang yang bertakwa, hal itu bertujuan membesarkan pahala amal-amalnya, dengan anggapan mereka tidak memiliki dosa. Mereka bisa merasakan nikmatnya cobaan itu karena mereka lebih memandang siapa yang memberi bala dengan mata hatinya dan tidak peduli dengan rasa sakit yang diderita.” (Shaidul Khathir, hlm. 159, Pustaka Maghfirah, Cet. I 2005).
Oleh karena itu, cobalah kita bertanya ke dalam hati kita masing-masing, mengapa kesulitan demi kesulitan selalu menghantui perjalanan hidup kita. Jawabannya, karena diri kita belum bertakwa. Sebagaimana kata “taubat” digandengkan dengan kata “keberuntungan” (QS. an-Nuur: 31), kata “dzikir” digandengkan dengan kata “tenteram” (QS. ar-Ra’d: 28), begitupun dengan kata “takwa” digandengkan dengan kata “kemudahan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar