Bagi sebagian orang memandang bahwa moral tidak memiliki kaitan sama sekali dengan agama (Islam). Karena menurut mereka bahwa moral itu memiliki aspek dan cakupan yang lebih luas (universal) sedangkan agama hanya mencakup pada individu-individu semata. Dengan kata lain, moral itu untuk masyarakat sedangkan agama itu bersifat privat (pribadi).
Di dalam Islam, pemisah-misahan seperti ini tidak ada sama sekali karena Islam mengandung nilai-nilai yang universal (rahmat bagi alam semesta). Jika saja moral terpisah dari agama lantas, apakah yang menjadi landasan moral itu sendiri? Bagaimana memperoleh nilai yang dapat diterima secara luas dan sesuai dengan kewajiban moral, sehingga setiap orang yang melanggar nilai tersebut akan dikecam? Jika moral itu dibuat manusia, maka tidak heran jika kebenaran hari ini tidak sama dengan kebenaran kemarin. Berbeda dengan orang beragama, mereka memiliki standar moral yang jelas dan utuh.
Bahwa orang yang menempatkan agama sebagai sumber semangat memiliki sikap jiwa yang sehat, yang terlihat sebagai sikap yang penuh gairah, terlibat, bersemangat tinggi dan meluap dengan vitalitas. Sikap jiwa yang sehat ditampilkan sebagai sikap yang positif, optimis, spontan serta bahagia. Sebaliknya, orang yang memandang agama sebagai suatu kebiasaan yang membosankan memiliki jiwa yang sakit (sick soul) yang dihinggapi oleh penyesalan diri, rasa bersalah, murung serta tertekan. Bagi mereka agama dihayati sebagai suatu perjuangan yang berat dan penuh beban.
Selain membawa individu kepada jiwa yang sehat, bagi manusia, agama membuka suatu dimensi kehidupan yang paling fundamental dan peluang untuk mengembangkan pribadinya serta mengintegrasikannya secara kreatif dan selaras ke dalam dunia pribadinya.
Pada lingkungan masyarakat yang tak beragama, orang cenderung melakukan beragam tindakan yang tak bermoral. Perbuatan buruk seperti penyogokkan, perjudian, iri hati atau berbohong merupakan hal yang biasa. Hal demikian tidak terjadi pada orang yang ta’at kepada agama. Mereka tidak akan melakukan semua perbuatan buruk tadi karena mengetahui bahwa ia harus mempertanggungjawabkan semua tindakannya di akhirat kelak.
Sukar dipercaya jika ada orang mengatakan, “Saya ateis namun tidak menerima sogokan”, atau “Saya ateis namun tidak berjudi”. Mengapa? Karena orang yang tidak takut kepada Allah dan tidak mempercayai adanya pertanggungjawaban di akhirat, akan melakukan salah satu hal di atas jika situasi yang dihadapinya berubah.
Seseorang yang mengatakan, “Saya ateis namun tidak berzina” cenderung melakukannya jika perjinahan di lingkungan tertentu dianggap normal. Atau seseorang yang menerima sogokan bisa saja beralasan, “Anak saya sakit berat dan sekarat, karenanya saya harus menerimanya”, jika ia tidak takut kepada Allah. Di negara yang tak beragama, pada kondisi tertentu maling pun bisa dianggap sah-sah saja. Contohnya, masyarakat tak beragama bisa beranggapan bahwa mengambil handuk atau perhiasan dekorasi dari hotel atau pusat rekreasi bukanlah perbuatan pencurian.
Seorang yang beragama tak akan berperilaku demikian, karena ia takut kepada Allah dan tak akan pernah lupa bahwa Allah selalu mengetahui niat dan pikirannya. Dia beramal setulus hati dan selalu menghindari perbuatan dosa.
Seorang yang jauh dari bimbingan agama bisa saja berkata “Saya seorang ateis namun pemaaf. Saya tak memiliki rasa dendam ataupun rasa benci.” Namun sesuatu hal dapat terjadi padanya yang menyebabkannya tak mampu mengendalikan diri, lalu mempertontonkan perilaku yang tak diinginkan. Dia bisa saja melakukan pembunuhan atau mencelakai orang lain, karena moralnya berubah sesuai dengan lingkungan dan kondisi tempat tinggalnya.
Sebaliknya, orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak kan pernah menyimpang dari moral yang baik, seburuk apapun kondisi lingkungannya. Moralnya tidak “berubah-ubah” melainkan tetap kokoh. Orang-orang beriman memiliki moral yang tinggi. Sifat-sifat mereka disebut Allah dalam ayat-Nya:
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَآأَمَرَ اللهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيَخشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ {21} وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُوْلَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ
“Mereka yang teguh dengan keyakinannya kepada Allah dan tidak mengingkari janji; yang menghubungkan apa yang diperintahkan Allah untuk menghubungkannya dan takut kepada Tuhan mereka dan takut pada hisab yang buruk; mereka yang sabar untuk mencari perjumpaan dengan Tuhan mereka, dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian harta yang kami berikan kepadanya secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, menolak kejahatan dengan kebaikan. Merekalah yang mendapat kedudukan yang tinggi.” (QS. Ar-Ra’d: 20-22).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar