مَآأَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَفِي أَنفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ {22} لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَافَاتَكُمْ وَلاَتَفْرَحُوا بِمَآ ءَاتَاكُمْ وَاللهُ لاَيُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) agar kalian jangan berduka cita atas apa yang luput dari kalian, dan agar kalian jangan terlalu gembira dengan apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. al-Hadid: 22-23).
Mengomentari ayat ini, Imam Ibnu al-Manbaji berkata, “Orang yang merenungkan ayat mulia ini akan memperoleh penawar berbagai penyakit bagi mereka yang ditimpa musibah. Oleh karena itu, renungkan dan pikirkanlah!”
Sesungguhnya saya telah berusaha merenungkannya dengan bertanya-tanya kepada hati saya dan mendalami ayat itu dengan membaca kitab tafsir. Saya menemukan hal yang sangat bermanfaat di dalamnya, sehingga membuat saya terhibur dari segala musibah yang pernah saya alami dan membuat saya semakin ridha jika Allah kelak, selama saya di dunia, menganugerahi saya musibah lagi. Semoga Allah memberi kepada saya kekuatan untuk bersabar sehingga saya dapat selamat selama hidup di dunia ini dan keluar sebagai pemenang dengan meraih surga-Nya.
Imam Ibnu Katsir mengomentari ayat, “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri,” baik di cakrawala sana maupun di dalam diri-diri kamu, “melainkan telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya,” yaitu sebelum Kami menciptakan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Qatadah mengatakan, “Ada sebuah riwayat yang sampai kepada kami dan mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang tertusuk kayu, kakinya terkena batu, dan uratnya putus melainkan karena dosanya. Dan yang Allah maafkan dari dosa itu lebih banyak.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Allah telah menetapkan beberapa ketetapan 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim)
Imam Ibnu Katsir mengomentari ayat, “Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” Yaitu, sesungguhnya ilmu Allah tentang segala sesuatu sebelum terciptanya dan catatannya yang sesuai dengan peristiwa yang akan terjadi di saat peristiwa itu terjadi adalah mudah saja bagi Allah. Karena, Dia mengetahui apa yang telah terjadi dan akan terjadi. Dan, suatu yang tidak akan terjadi, kalau saja terjadi maka pastilah Allah telah mengetahuinya.
Imam Ibnu Katsir mengomentari ayat, “(Kami jelaskan yang demikian itu) agar kalian jangan berduka cita atas apa yang luput dari kalian, dan agar kalian jangan terlalu gembira dengan apa yang diberikan-Nya kepada kalian.” Yaitu, Kami telah memberitahukan kepada kamu tentang ilmu Kami yang telah terdahulu dan catatan Kami yang telah ada terlebih dahulu, tentang segala peristiwa sebelum terjadi, dan ketetapan Kami terhadap alam ini sebelum berwujud. Maksudnya, agar kamu mengetahui bahwa apa yang telah menimpa diri kamu itu bukanlah untuk menyalahkan dirimu. Dan sesuatu yang tidak dialamatkan kepadamu maka tidak akan menimpamu. Oleh karena itu, janganlah kamu berputus asa terhadap sesuatu yang luput darimu karena kalau saja Allah menakdirkan suatu perkara maka pastilah terjadi.
“Dan agar kalian jangan terlalu gembira dengan apa yang diberikan-Nya kepada kalian.” Yaitu, janganlah lantas kamu menyombongkan diri kepada orang lain dengan nikmat yang telah diberikan kepadamu itu. Karena nikmat itu datang bukanlah karena usaha dan jerih payah kamu. Sesungguhnya itu terjadi adalah dengan kehendak Allah dan rezeki-Nya juga. Janganlah kamu jadikan nikmat Allah itu untuk berbuat keburukan, kesewenang-wenangan, dan kamu jadikan wasilah untuk menyombongkan diri di hadapan orang lain.
“Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” Yaitu, takabur di hadapan orang lain dan mendudukkan diri lebih tinggi dari mereka, akan tetapi hendaklah kita sambut kebahagiaan itu dengan rasa syukur; kesedihan dengan rasa sabar.
Saya tambahkan: Janganlah orang-orang yang mendapat nikmat merasa dirinya bersih dari dosa dan orang yang paling berhak mendapat rahmat serta karunia dari Allah. Karena, bisa jadi apa yang ia dapatkan itu sebagai ujian dan cobaan atau istidraj. Jika saja dia kufur terhadap nikmat itu, maka nikmat berubah menjadi laknat. Namun, apabila dia mensyukurinya, maka Allah membalas nikmat dengan nikmat yang lebih banyak.
Janganlah pula orang-orang yang mendapat musibah merasa dirinya sebagai orang yang celaka dan dijauhkan dari Allah. Jika dia orang yang taat kemudian datang musibah, sesungguhnya dengan musibah tersebut ia sedang dinaikkan derajatnya, diampuni dosa-dosanya, dan didekatkan kepada-Nya, sehingga kelak ia memperoleh banyak kemudahan, kelapangan, kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan akhirat.
Jika dia bukan orang yang taat, sesungguhnya musibah itu datang untuk mengingatkan akan dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Sehingga kemudian ia tersadar dan tidak akan mengulangi perbuatan dosa itu lagi. Dan ini jauh lebih baik daripada mendapat nikmat terus-menerus namun nikmat itu sesungguhnya hanyalah istidraj baginya. Allah menaikkannya setinggi-tingginya, lalu kemudian menjatuhkannya, menghancurkannya, dan membinasakannya. Naudzubillahi mindzalik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar