Seorang Muslim hendaklah merasakan nikmat iman yang tulus ikhlas, sehingga ia dapat menembus batu sekeras apa pun dan dapat ‘menumbuhkan’ pepohonan meski di tengah padang pasir yang gersang. Kalau kita teliti, maka akan kita ketahui bahwa yang menyebabkan generasi pertama umat ini masuk Islam adalah senyumannya yang tulus, pandangan yang teduh, pergaulan dan penampilan yang simpatik, dan ucapan yang berkesan.
Tak seorang pun yang tidak mempunyai perasaan seperti ini, walau hanya sedikit. Seorang da’i adalah yang mendapat petunjuk Allah ke tempat persembunyian perasaan ini, sehingga menambah kekuatan dan gairahnya. Allah Swt. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian.” (QS. Al-Anfal: 24).
***
Ia menceritakan bahwa dahulu di kota tempat tinggalnya terdapat seorang penjahat kawakan. Dia adalah pengedar narkoba, buron para polisi, tetapi sangat licin dan selalu lolos. Pernah terjadi tembak-menembak antara para polisi dan dia, karena dia bersenjata, sehingga polisi kerepotan. Dia memutuskan hubungannya dengan kedua orangtuanya dan saudara-saudaranya, lupa kepada Allah, dan terjerumus ke dalam lembah kedurhakaan, sehingga orang-orang tidak mampu menyadarkannya.
Ia berkata: “Selanjutnya, timbullah dalam pikiranku suatu rencana untuk menuntunnya ke jalan hidayah. Mudah-mudahan Allah memberinya petunjuk melaluiku. Untuk itu, aku bangun di penghujung malam hari, lalu kupanjatkan doa kepada Allah semoga Dia menjadikan petunjuk-Nya dengan melaluiku. Aku pun puasa sehari sebelum pergi ke rumahnya. Mudah-mudahan Allah menjadikan upayaku ini termasuk amal shalih yang mendekatkan diriku kepada-Nya.
Sebelum aku berangkat menemuinya, terlebih dahulu aku mempersiapkan hadiah yang terbaik guna memikat hatinya dan menundukkan jiwanya sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. dan para pengikutnya.
Aku berangkat menuju rumahnya dengan membawa hadiah itu dan begitu aku melihatnya, langsung kuucapkan salam kepadanya dan kukatakan kepadanya: ‘Aku menyukaimu karena Allah dan kulihat ada tanda-tanda kebaikan pada dirimu.’ Sebenarnya tidak ada satu tanda kebaikan pun pada dirinya karena wajahnya sama dengan tengkuknya, kelihatan lebih gelap daripada malam yang pekat. Aku katakan demikian sebagai cara untuk memikat hatinya, yaitu dengan menggunakan ‘sihir’ yang halal.
‘Sihir’ itu memang ada yang halal dan ada yang haram. Adapun sihir yang halal adalah seperti senyuman Anda di hadapan orang lain, Anda peluk orang-orang yang durhaka untuk menuntun mereka ke jalan menuju ke surga, agar mereka menjadi nilai tambah bagi neraca amal kebaikan Anda.
Memang mengeluarkan kata-kata yang kasar itu mudah; mengerenyitkan dahi tidak sulit; menggunakan pentungan gampang; dan memakai cambuk adalah mudah. Akan tetapi, cara itu tidak membangun, tetapi meruntuhkan, membuat liar, dan tidak menjinakkan, serta akan mendapat reaksi keras, bukan penyelesaian yang lembut dan positif. Dalam sebuah pepatah dikatakan bahwa barangsiapa yang tidak dapat bersikap lembut niscaya akan dijauhkan dari semua kebaikan. ‘Tidaklah sekali-kali sikap lembut dilakukan terhadap sesuatu, melainkan akan menghiasinya; dan tidaklah sekali-kali ia dicabut terhadap sesuatu, melainkan akan memperburuknya.’ (HR. Muslim, Ahmad, dan Abu Daud).
Selanjutnya, lelaki itu memandang ke arahku dan bertanya: ‘Apakah Anda mengenal saya?’ Aku jawab: ‘Tidak, tetapi aku pernah melihatmu dalam beberapa pertemuan, maka terimalah hadiah dariku ini’ dan dia pun menerimanya. Setelah itu aku tidak mengeluarkan sepatah kata pun dan pulang ke rumahku. Dalam hatiku aku berkata: Alhamdulillah. Aku telah berhasil dalam langkah pertamaku.’
Selang beberapa hari kemudian, aku datang lagi kepadanya dan kukatakan: ‘Aku minta kepada Anda dengan nama Allah sudilah Anda berkunjung ke rumahku karena sesungguhnya aku suka kepada Anda.’ Dia menjawab: ‘Aku akan datang kepada Anda.’
Aku pun mnentukan untuknya suatu waktu yang tidak ada padanya selain aku dan dia. Setelah tiba waktu itu, ia datang menemuiku dan aku menjamunya makan siang bersama di dalam rumahku.
Demi Allah, aku tidak mengucapkan kepadanya suatu kata pun yang mengandung ajakan. Seusai makan siang ia pun pulang dan aku berkata lagi kepada diriku: ‘Ini keberhasilan langkah kedua.’
Pada kali yang ketiganya aku berkata kepadanya: ‘Aku ada keperluan di kampung sebelah dan aku ingin Anda menemaniku.’ Dia setuju dan ikut naik di kendaraanku.
Setelah dia menyatakan kesediaannya untuk menemaniku, aku beribtihal memuji Allah dengan airmata yang berlinangseraya berdoa kepada Allah semoga Allah menganugerahkan ketulusan pada diriku dan menjadikan lisanku lancar untuk mengemukakan kebenaran.
Selama dalam perjalanan lisanku mulai berbicara dan datanglah ilham dari Allah kepadaku. Aku sendiri merasakan heran bagaimana aku dapat mengeluarkan kata-kata yang begitu menyentuh hatinya. Kulihat lelaki itu mengucurkan air matanya mendengar kata-kataku. TernyataAllah menghidupkan fitrahnya dan menjadikannya bergerak sensitif dengan penuh semangat dalam kalbunya. Kalimah Laa Ilaha illallah pun hidup dalam jiwanya.
Aku katakan kepadanya: ‘Sebenarnya aku ingin menghindarkanmu dari neraka dan aku ingin menuntunmu ke jalan menuju ke surga.’ Pengertian ini aku ungkapkan kepadanya dalam pembicaraan yang panjang.
Selanjutnya, dia berkata: ‘Ulurkan tanganmu!’ Aku pun mengulurkan tanganku menjabat tangannya. Ia berkata: ‘Aku bersaksi kepada Allah dan aku memohon kepadamu dengan nama Allah yang tidak ada tuhan, selain Dia, sudilah sebelum fajar engkau datang mengunjungiku untuk membawaku ikut serta ke masjid.’
Sesudah itu aku pulang. Singkatnya, setelah selang beberapa hari dia shalat di masjid bersamaku dan mulai mau mendatangi kedua orang tuanya yang keduanya sudah lanjut usia. Sebelum itu dia menjauh dari keduanya selama beberapa tahun dan tidak mengunjunginya.
Dia masuk menemui mereka, sedang tanda-tanda kebaikan tergambar melalui roman mukanya yang sekarang terlihat seakan-akan bercahaya. Mereka pun bertanya dengan nada heran: ‘Benarkah ini kamu?’ Ia menjawab: ‘Benar, ini saya!’ Selanjutnya, ia mencium tangan dan kepala kedua orang tuanya, maka dengan spontan mereka menangis gembira sehingga rumahnya dipenuhi oleh nuansa kegembiraan. Mendadak kegembiraan merasup dalam diriku, sehingga saking gembiranya aku tidak dapat menahan air mataku.”
***
Dari kisah di atas, kita dapat mengambil pelajaran berharga dan mengabadikannya dalam lembar sejarah kegemilangan dakwah Islam. Ada beberapa langkah-langkah dakwah yang telah diterapkan dalam kisah itu:
Pertama, berniat dengan ikhlas, bahwa dakwah yang kita lakukan kepada orang lain hanyalah untuk mencari keridhaan Allah Swt.
Kedua, perkuatlah basis ruhiyah kita, dengan cara menjalani ibadah-ibadah yang diwajibkan maupun yang disunatkan, sebelum berdakwah kepada orang lain. Al Ustadz Al-Maududi pernah berkata: “Izinkanlah saya berkata kepada kalian, jika kalian melangkahkan kaki di atas jalan dakwah dengan perasaan yang lebih dingin daripada perasaan hati kalian terhadap istri-istri dan anak-anak kalian, maka percayalah, kalian akan pulang dengan kegagalan yang teramat besar, sehingga generasi-generasi yang akan datang tidak berani berpikir untuk berharokah seperti ini. Hendaknya kalian melihat kekuatan hati dan akhlak kalian sebelum berniat untuk melangkah lebih jauh.” (Tadzkiroh Du’atil Islam, hlm. 57-59).
Ketiga, tersenyumlah kepada objek dakwah kita. Senyuman adalah gambaran isi hati yang menggerakkan perasaan dan memancar pada wajah seperti kilatan cahaya, seakan berbicara dan memanggil, sehingga hati yang mendengar akan terpikat. “Kamu tidak akan dapat membahagiakan orang lain dengan hartamu, tetapi yang dapat membahagiakan mereka adalah wajah yang ceria dan akhlak yang mulia.” (Al Hadits).
Keempat, berikanlah hadiah. Hal ini adalah salah satu sunnah Rasulullah Saw. untuk mengikat hati objek dakwah.
Kelima, berkata baik, lemah lembut dan santun. “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik…” (An Nahl: 125). “Maka disebabkan rahmat Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…” (Ali Imran: 159).
Keenam, jabatlah tangannya, peluklah dan nyatakan cintamu padanya karena Allah semata. Ada orang yang bertanya kepada Abu Dzar ra., “Apakah waktu itu Rasulullah Saw. menjabat tangan kalian jika bertemu?” Ia menjawab, “Saya tidak pernah menjumpai kecuali beliau menjabat tangan saya. Suatu hari beliau mengutus seseorang kepada saya, waktu itu saya tidak berada di rumah. Ketika saya pulang, saya diberi tahu oleh istri saya. Kemudian saya mendatangi Rasulullah. Ketika itu beliau sedang berbaring di tempat tidur. Melihat kedatangan saya, beliau bangkit dan memeluk saya.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Ketujuh, ketika hatinya mulai terpikat pada dakwahmu, maka ajaklah dia turut serta dalam aktivitas dakwahmu, agar dia merasakan keindahan dunia dakwah dan ingin terus bergabung didalamnya.
Dakwah kita tidak akan berhasil tanpa datangnya pertolongan dari-Nya, karena Dialah pemilik hidayah itu. Oleh karena itu, setelah urutan-urutan dakwah telah dilewati, maka serahkanlah hasilnya kepada-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar