Tatkala seorang hamba hanya baik kepada makhluk tetapi tidak baik kepada Sang Khaliq, akan terbaliklah keadaan dirinya. Yang memujanya akan mencelanya. (Imam Ibnu Al-Jauzy)
Kita sering menyaksikan di televisi aksi penangkapan WTS oleh aparat keamanan. Mereka digiring memasuki mobil, sedang wajah mereka ditutup karena malu. Seolah mereka takut jika masyarakat mengetahui siapa diri mereka sebenarnya.
Jika dilepaskan, mereka kembali beraksi menjajakan tubuhnya kepada pria hidung belang. Pakaian mereka seronok. Sama sekali tidak ada rasa malu. Tidak ada wajah yang ditutup.
Begitupun dengan para koruptor. Ketika melakukan aksi kejahatannya, mereka sama sekali tidak malu. Bahkan, mereka melakukannya berkali-kali. Namun, ketika ditangkap, mereka sangat malu. Menutup muka, menunduk, berlari-lari menjauhi wartawan.
Apakah rasa malu seperti itu? Rasulullah bersabda, “Berbuatlah sekehendak kalian, jika kalian tidak memiliki rasa malu,”. Dalam haditsnya yang lain disebutkan, “Malulah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu, dan malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu ialah bila kamu memelihara kepala dan anggota lain yang ada padanya dan memelihara perut beserta apa yang dikandungnya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Khalifah Rasulullah pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Hai manusia, malulah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu. Demi Allah yang tidak ada tuhan selain Dia. Sesungguhnya bila aku pergi ke tempat yang sepi untuk buang air besar, aku tutupkan kainku ke mukaku karena malu kepada Allah.”
Tidakkah merasa malu seorang hamba yang keluar dengan membawa harga dirinya, keluar dengan membawa istri dan saudara perempuannya, keluar dengan membawa agama dan kehormatannya, serta keluar dengan membawa imannya, lalu bergabung bersama dengan orang-orang yang tenggelam dalam permainannya lagi lalai kepada Allah, sedang mereka meninggalkan masjid dan Al-Qur’an? Apa yang akan mereka katakan di hadapan Allah nanti?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar