Akhir-akhir ini para aktivis Islam liberal mulai memperlihatkan watak pemikirannya. Mereka berupaya mencari-cari akar historis liberalisme di berbagai negara termasuk Indonesia (lihat http://islamlib.com/ ). Mereka membuat pengelompokan siapa saja ulama yang liberal itu. Mereka membuatnya berdasarkan apa yang mereka khayalkan ditambah dengan sedikit data yang mereka peroleh. Berwajah ganda pun sering mereka perlihatkan, di satu sisi mereka mengatakan "A", namun dikesempatan lain mereka mengatakan "B" (lihat http://islamlib.com ). Pendapat mereka tidak bisa dipegang sama sekali.
Tak urung, karena apa yang mereka lakukan adalah hanya sebatas imajinasi, mereka mereka-reka bahwa tokoh A, B, C, D, dan sebagainya adalah tokoh liberal. Namun pada kenyataannya, sekali lagi ini hanya rekayasa mereka, tokoh-tokoh itu bukanlah tokoh-tokoh Islam Liberal.
Hanya karena pendapat tokoh itu yang terkesan modern, moderat, dan progresif maka mereka menganggapnya sebagai tokoh Islam liberal. Sebut saja misalnya, Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Dr. Muhammad Natsir, Dr. Hasan Turabi, Dr. Rashid Ghanuchi, dan Dr. Ali Shariati. Padahal tokoh-tokoh itu dikenal sebagai islamiyyun (aktivis Islam) yang memperjuangkan tegaknya nilai-nilai Islam di muka bumi. Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah aktivis jama'ah Ikhwanul Muslimin dan ahli fikih terkemuka dunia, yang sangat jauh dari 'tampang' liberal. Dr. Muhammad Natsir adalah pemuka organisasi Persatuan Islam (Persis), pendiri Partai Islam Masyumi, dan pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Dr. Hasan Turabi adalah muraqib am Ikhwanul Muslimin Sudan dan mantan Sekretaris Jenderal Konferensi Arab dan Islam. Dr. Rashid Ghanuchi adalah pendiri Partai Islam an-Nahdhah di Tunisia, namun dia diusir dari negerinya (kini berada di Inggris) karena memperjuangkan tegaknya syariat Islam dalam negerinya. Dan yang terakhir Dr. Ali Shariati, yang dalam sejumlah karya-karyanya menunjukkan pembelaannya terhadap Islam, bahkan beliau merupakan salah satu penyokong utama Revolusi Iran.
Seringkali aktivis Islam liberal mengambil data yang tidak shahih, tidak valid, dan merekayasa pemikiran seorang ulama agar terkesan liberal. Pernyataan ini bukan tanpa bukti. Bukti di atas sebenarnya sudah lebih dari cukup karena mencakup sebuah grand design pemikiran beberapa ulama yang sudah tidak asing lagi di dunia Internasional. Berbicara satu orang tokoh dan mendudukkannya pada satu golongan, berarti karya-karyanya setidaknya mencerminkan golongan tersebut. Namun perlulah ditambah lagi beberapa bukti bahwa aktivis Islam Liberal adalah orang yang sembrono dan menyimpang dari jalur ilmiah yang semestinya. Tentang Pluralisme misalnya, mereka katakan bahwa paham itu ada di dalam Islam, dan beberapa tokoh ulama – menurut mereka – pernah mengungkapkannya dalam beberapa karyanya. Ulama itu sebut saja Ibnu al-Arabi, dan al-Jîlî (penulis kitab al-Insân al-Kâmil).
Namun setelah diselidiki oleh sejumlah peneliti, tidak ditemukan pernyataan Ibnu al-Arabi yang menyetujui paham pluralisme, bahkan yang ada sebaliknya. Menurut Ibnu al-Arabi, sabîl Allâh yang tertera dalam surat Shâd ayat 26 adalah syariat Allah secara khusus kepada seseorang Nabi untuk umatnya, demi kebahagiaan mereka di akhirat (dâr al-qarâr). Bagi Ibnu al-Arabi, istilah khusus 'jalanku' bukan istilah umum 'jalan Allah' (sirâti bukan sekedar sirât Allah) yang diungkapkan al-Quran menunjukkan bahwa ia adalah syariat yang khas (shar' khâss), yang wajib diikuti, yaitu jalan Nabi Muhammad. (Lihat Sani Badron, Jurnal Islamia Thn. 1 No. 3 2004).
Sedangkan al-Jîlî telah menegaskan supremasi Islam terhadap agama-agama lain Dengan mengutip ayat al-Quran, al-Jîlî menekankan bahwa muslim adalah umat terbaik yang pernah ada sepanjang sejarah manusia (QS. Ali Imran [3]: 110) karena Nabi mereka, Muhammad Saw., adalah Nabi terbaik dan agama mereka adalah yang terbaik di antara semua agama yang ada. Al-Jîlî menganggap agama lain sebagai agama kesengsaraan (dîn al-shaqâwah) dan penganutnya adalah umat yang sengsara disebabkan ketaatan mereka kepada agama itu dan penolakannya terhadap Islam. (Lihat Wan Azhar Wan Ismail, Jurnal Islamia Thn 1 No. 3 2004).
Semua ini terjadi karena aktivis Islam Liberal sendiri tidak tahu apa itu Islam Liberal. Hal ini terlihat dalam buku Liberal Islam-nya Charles Kurzman. Menurut Kurzman, ungkapan "Islam liberal" mungkin terdengar seperti sebuah kontradiksi dalam peristilahan (a contradictio in terms). Mungkin ia bingung dengan istilahnya sendiri: Islam kok liberal? Meski ia menjawab di akhir tulisannya bahwa istilah Islam Liberal itu tidak kontradiktif, tapi ketidakjelasan uraiannya masih tampak di sana-sini.
Islam itu sendiri, secara lughawi, bermakna "pasrah" , tunduk kepada Allah dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Dalam hal ini, Islam tidak bebas. Tetapi, di samping Islam tunduk kepada Allah Saw., Islam sebenarnya membebaskan manusia dari belenggu peribadatan kepada manusia atau makhluk lainnya. Bisa disimpulkan, Islam itu "bebas" dan "tidak bebas". (Lihat Adian Husaini, Islam Liberal hlm. 2 2002).
Dengan ketidakjelasan itu, mereka menjadi tidak memiliki paradigma dan batasan-batasan mana yang Islam liberal dan mana yang bukan. Sesungguhnya hal ini terjadi karena Islam liberal tidak memiliki akar dalam tradisi pemikiran Islam. Jika mereka mencari apa itu Islam liberal, mereka mencarinya pada para orientalis dan kemudian membuat rumusan-rumusan tentang Islam liberal dari para orientalis itu. Hal ini dapat dilihat pada pernyataan Sukidi, salah satu dedengkotnya Islam liberal, "Islam Liberal perlu dinisbatkan pada Reformasi Protestan karena inilah gerakan keagamaan yang menandai perubahan ke arah subyektivitas diri yang otonom." (Kompas, 6 Agustus 2005/ http://www.kompas.co.id/ ).
Jadi, untuk mereka yang sedang mempelajari dan memahami Islam, tak perlu capek-capek mempelajari pemikiran Islam liberal, karena pemikiran mereka toh bukan diambil dari Islam itu sendiri, justru sebaliknya, diambil dari agama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar