Imam Abu Hanifah di jebloskan ke dalam penjara karena menolak jabatan hakim yang ditawarkan penguasa Bani Umayah. Setiap hari beliau dipukuli dengan cambuk hingga kepalanya membengkak, namun beliau tetap saja menolak jabatan itu. Beliau berpendapat memikul tanggung jawab dalam suasana kezaliman dan kesewenang-wenangan yang merajalela, sama artinya dengan turut serta berbuat zalim dan mengakuinya sebagai perbuatan benar.
Namun, di dalam penjara beliau terlihat sering menangis. Apakah karena kerasnya siksa? Bukankah beliau ahli fikih yang terhormat dan teguh pada pendiriannya? Salah seorang rekannya yang berada di dalam penjara menanyakan masalah itu. Beliau menjawab sambil berlinangan airmata, ”Demi Allah, saya menangis bukan karena sakit dipukuli cambuk, melainkan karena saya teringat akan ibu saya. Sungguh, tetesan airmatanya membuat saya sangat sedih.”
Maha Suci Allah. Begitu besar rasa penghormatan beliau tunjukkan kepada sang ibu. Bukan ratusan cambuk yang beliau rasakan pedihnya, tapi tangisan sang ibu. Beliau telah menempatkan ibu dalam posisinya yang mulia, lebih tinggi dari siapapun orangnya.
Begitupun yang terjadi pada Imam Malik bin Anas dan Imam Ahmad bin Hanbal. Kedua ulama ini begitu tekun menuntut ilmu hingga berhasil menjadi ulama besar karena ingin menghormati sang ibu, yang telah membesarkan dan mendidiknya hingga besar. Imam Malik selalu terkenang dengan apa yang dilakukan ibunya ketika dirinya masih kecil. Selesai shalat shubuh beliau dimandikan ibu, disediakan pakaian yang baik, diusapi minyak wangi, dan dipakaikan serban dikepalanya. Setelah tampak rapi, beliau diantar ibunya untuk belajar agama kepada seorang ulama.
Ibunda Imam Ahmad adalah seorang janda. Sekalipun cantik, ibunya selalu menolak lamaran lelaki yang ingin menikahinya. Hanya dengan alasan ingin membesarkan dan mendidik anaknya. Segala beban berat dalam menanggung biaya hidup dilakukan ibunya seorang diri. Imam Ahmad merasa sedih dan gelisah melihat apa yang dilakukan ibunya untuk dirinya. Sebagai balasannya, beliau bertekad kuat untuk menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh. Beliau telah membuktikan sendiri dengan menjadi salah seorang ulama terbesar sepanjang sejarah.
Sewaktu ibunya masih hidup, Imam Syafi’i selalu meminta petunjuk dan nasihat ibunya kepada siapa beliau mesti berguru. Padahal Imam Syafi’i adalah pelajar terpandai dan bisa saja beliau memilih guru yang beliau anggap paling bagus. Tetapi hal itu tidak beliau lakukan.
Ketika Imam Ibnu Taimiyah tinggal untuk beberapa lama di Mesir, beliau menyampaikan keinginan itu kepada ibunya dan meminta izin kepadanya lewat sebuah surat yang memuat betapa cinta kasih seorang anak dan kebaktiannya kepada ibu. Di dalam surat itu tertulis doa seorang anak untuk ibunya dan mengharapkan sang ibu juga mendoakannya. Siapa yang tidak mengenal Ibnu Taimiyah yang namanya harum di seantero penjuru bumi, dihormati masyarakat, sering diijabah doanya, dikenal ketegasannya. Namun dihadapan ibunda tercinta, dia tertunduk patuh, penuh cinta.
Seolah-olah menghormati ibu telah menjadi bagian dari kebesaran nama mereka. Mereka telah membuktikan bahwa kesibukan mereka, keterkenalan mereka, tidak menghalangi mereka untuk menghormati ibu. Justru dengan menghormati ibu, nama mereka semakin terangkat pada puncak kemuliaan. Inilah sebuah berkah ibu yang seringkali luput dari perhatian kita.
Oleh karena itulah, Rasulullah menempatkan derajat ibu tiga tingkat di atas ayah. Karena menghormati, menyayangi, dan merawat ibunya yang sudah tua dengan setulus hati, Uwais al-Qarni disabdakan Rasulullah sebagai salah seorang ahli surga, padahal dia pemuda biasa yang tidak banyak beribadah sunah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar