Sabtu, 25 Februari 2012

Bahaya Penyakit Futur bagi Penulis

Ada sebuah istilah dalam terminologi dakwah yang menggambarkan fenomena lesu dakwah yaitu futur. Dalam bahasa aslinya sendiri salah satu makna futur adalah “berhenti setelah sebelumnya bergerak”. Bentuknya bisa banyak, malas atau lalai melaksanakan kewajiban atau tidak lagi sensitif terhadap maksiat. Kewajiban yang dilalaikan bisa yang fardhi (shalat tepat waktu, dzikir, membaca Al Qur’an hingga ibadah-ibadah sunat lainnya) atau yang bersifat jama’i (amalan yang bersifat kemasyarakatan, seperti mengajak masyarakat berbuat baik dan mencegah kemungkaran)

Bagi seorang penulis, bisa juga mengalami penyakit futur ini. Setelah sebelumnya begitu bersemangat dalam menulis, sedikit demi sedikit produktivitasnya menurun, bahkan secara mengejutkan berhenti sama sekali. Karena, penulis tidak bisa dilepaskan dari bagian dakwah itu sendiri, sehingga menulis dikategorikan sebagai dakwah bil qolam (berdakwah dengan pena). Apa yang menjadi penyebab futur di sini? Saya mengikuti pendapat Imam Al-Ghazali. Beliau menyebutkan tiga penyebab timbulnya penyakit futur ini: Pertama, tidak memiliki kekuatan aqidah dan iman. Kedua, tidak jelasnya tujuan suatu pekerjaan. Ketiga, tidak adanya kecocokan antara pekerjaan dengan kemauannya.

Mari kita dalami satu persatu tiga penyebab tersebut. Pertama, tidak memiliki kekuatan aqidah dan iman. Orang seperti ini hanya mengharapkan imbalan materi duniawi seperti pujian, sanjungan, uang, harta, dan jabatan. Ketika tidak mendapatkannya, tiba-tiba saja dia berhenti, kecewa, atau bahkan melepaskan begitu saja proses panjang yang telah dilaluinya. Kita boleh berharap tulisan kita mendapatkan honor, royalti atau hadiah, tapi semua itu harus dibawah kendali iman. Bila kita tidak mendapatkan materi tersebut, semoga saja dapat memberi manfaat khususnya untuk diri penulis sendiri, sehingga penulis mendapat pahala dari apa yang diniatkannya itu. Karena, sudah semestinya setiap kali selesai menulis kita harus lebih baik daripada sebelumnya. Entah lebih baik amalan kita, lebih sistematis pemikiran kita, lebih tertata kata-kata kita, dan sebagainya. Harus selalu diingat, jika kita berniat karena Allah, niscaya Allah tidak akan menyia-nyiakan kita, walaupun kita tidak merasa mendapatkan apa-apa hari ini, tapi bisa jadi esok atau mungkin saja nikmat tersebut tidak kita rasakan secara langsung hari ini.

Kedua, tidak jelasnya tujuan pekerjaan. Apa yang ingin kita capai dari kegiatan tulis-menulis? Tujuan besar apakah yang ada dalam benak kita ketika akan menulis? Apakah sekedar mencari popularitas ataukah untuk tujuan yang lebih mulia? Apakah hanya sekedar mengisi waktu luang atau sebagai pekerjaa utama kita? Alangkah baiknya tujuan itu kita tulis dan tempel di dinding sebagai pengingat kita ketika lalai dan lemah semangat. Semakin mulia dan jelas sebuah tujuan, semakin kuat pula memotivasi kita dalam menulis.

Ketiga, tidak adanya kecocokan antara pekerjaan dengan kemauan. Saya mengistilahkan poin ini dengan istilah AMBak atau Apa Manfaatnya Bagiku. Kekuatan AMBak ini dapat memberikan sinergisitas antara pekerjaan dengan kemauan. Biasanya, karena tidak mengetahui manfaat besar yang terkandung di dalam sebuah pekerjaan, maka kemauan kita dalam melakukan pekerjaan tersebut akan rendah. Sebelum mulai menulis, bertanyalah kepada hati kita sendiri, Apa Manfaatnya Bagiku? Kekuatan kemauan menghasilkan kekuatan fokus. Apalagi kemauan itu benar-benar muncul di dalam hati, maka hasilnya akan lebih dahsyat lagi.

Jika penyakit futur ini telah menimpa para penulis yang mengajarkan kebaikan dan menyeru umat untuk menjauhi kejahatan, sudah tidak bergairah, kemalasan telah berkembang dalam bentuk dan alasan yang bermacam-macam, maka media akan diisi dengan tulisan-tulisan yang tidak bermanfaat, menyeru pada kerusakan, orang-orang yang sekedar mencari popularitas, dan sebagainya. Kita khawatir cepat atau lambat hukum dan sunnatullah atas umat-umat di dunia ini akan berlaku juga pada kita, atau anak cucu kita.

Rasulullah Saw. bersabda, “Demi dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya. Hendaklah kalian menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Jika tidak, maka Allah akan mengirimkan azabnya kepada kalian. Kemudian kalian memohon kepada Allah (agar azab tersebut dihilangkan) namun Dia tidak akan mengabulkan permintaan kalian itu.” (HR. Tirmidzi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar