Saya mengoleksi beberapa buku rujukan, seperti Mukhtashar Shahih Bukhari karya Imam Az-Zabidi, Mukhtashar Shahih Muslim karya Imam Al-Mundziri, Mukhtashar Minhajul Qashidin karya Imam Ibnu Qudamah, Riyadhus Shalihin dan Al-Adzkar karya Imam Nawawi, Hujjatullah Balighah karya Syah Waliyullah, Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Tarbiyatul Aulad fil Islam karya Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Madarijus Salikin karya Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzhim karya Imam Ibnu Katsir, Tafsir Fidzilalil Qur’an karya Sayyid Quthb, dan Shaidul Khatir karya Imam Ibnu Al-Jauzy.
Setiap ada pameran buku, setidaknya setahun 4 kali, saya selalu membeli beberapa judul buku. Saya beruntung memiliki buku-buku itu. Ketika saya membacanya, buku-buku itu memberikan kesejukan pada batin saya dan mendorong saya untuk segera beramal.
Ketika saya malas membaca, pasti ada sesuatu yang salah pada diri saya. Kalaupun membaca pada saat kondisi seperti itu, hati terasa hambar tak bermakna. Mengapa bisa demikian? Karena buku-buku it mengajak saya untuk berbuat kebaikan dan memerintahkan saya menjauhi kemaksiatan, sementara hati saya menekankan yang sebaliknya. Imam Ibnu Qudamah dalam kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin berkata, “Hati yang sakit terlihat dari ketidakmampuannya melaksanakan tugas khusus yang karenanya ia diciptakan, yaitu ilmu, hikmah, ma’rifat, mencintai Allah, dan beribadah kepada-Nya serta mementingkan semua ini daripada setiap bisikan nafsu.”
Allah mendekatkan buku-buku itu dalam hati saya ketika saya berada dalam keadaan khusyu, tenang, dan jauh dari kebisingan duniawi. Imam Ibnu Qudamah menekankan betapa pentingnya kaum muslimin mempelajari ilmu yang berkaitan dengan amal yang merusak sekaligus amal yang memperbaiki kehidupan dunia dan akhiratnya.
Buku-buku itu ibarat cahaya yang kemilaunya menyentuh hati. Ia tidak mungkin menyatu dalam hati orang-orang yang senantiasa berbuat maksiat. Sebuah kisah menceritakan hal ini. Imam Malik merasa kagum dengan kecerdasan dan kekuatan hafalan Syafi’i, muridnya. Beliau menasihati Syafi’i agar senantiasa menjauhi kemaksiatan agar kecerdasan dan kekuatan hafalan itu selalu terjaga.
Ambillah buku-buku yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratmu. Jadikanlah ia sebagai teman sejatimu. Engkau akan temukan dia sebagai pengobar semangat, semakin mendekatkanmu pada Tuhan, pahala yang terus-menerus mengalir, dan wawasan yang semakin bertambah. Dengarlah petuah Al-Jahizh, seorang ilmuwan Islam dan ahli zoologi ternama yang lahir pada abad ke-9 Masehi ini: “Buku adalah teman yang tidak akan menamparmu, tidak akan menipumu, tidak akan membosankanmu, dan tidak akan membuat engkau gelisah. Buku adalah seorang tetangga yang tidak mengganggumu. Buku juga seorang sahabat yang tidak memuji dengan tujuan mengurangi apa yang telah engkau punyai. Buku tidak curang kepadamu, tidak menipumu dengan kemunafikan, dan tidak melancarkan tipu daya kepadamu.”
Dr. Aidh Abdullah Al-Qarni dalam kitab La Tahzan menulis, “Engkau akan mengetahui bahwa sebulan engkau bergaul dengan buku akan lebih baik daripada engkau bergaul dengan orang seumur hidup.”
Sungguh, kebahagiaan akan engkau dapatkan jika engkau menganggap buku sebagai teman sejati. Seorang ilmuwan Islam bernama Ibnu Jahm pernah berkata, “Aku merasa mendapatkan kemenangan setiap kali aku menemukan apa yang kubutuhkan dari buku, sesuatu yang menumbuhkan kebahagiaan yang sejati dalam hatiku dan menghujam menyadarkanku. Dentumannya bergema melebihi ringkikan keledai dan dentuman kehancuran.”
Saya senang membaca buku. Buku adalah hari-hari saya, cinta saya, dan mata saya. Dia telah memberi kebahagiaan bagi saya, cahaya yang menyinari hati dan akal saya. Sungguh, buku telah memberikan kebaikan yang banyak untuk saya. Dia adalah teman sejati yang tidak pernah meminta, tetapi salalu ingin memberi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar