Selasa, 28 Februari 2012

Mereka yang Tegar Di Jalan Dakwah

Tulisan berikut ini mencoba mengangkat beberapa tokoh yang telah berjihad dan bersabar dengan jihadnya itu. Berkorban dan bersabar dengan pengorbanannya itu. Hingga kesudahan yang mereka peroleh, setelah kesulitan, adalah kemudahan, kebahagiaan, kekuatan karakter, keteguhan dalam memegang prinsip, dan kemuliaan sejati. Nama mereka terangkat dari lumpur kebodohan menuju cahaya kemuliaan, dari lembah kekafiran menuju puncak keimanan. Setelah mengenal dan memahami Islam, mereka adalah orang yang terdepan dalam membelanya. Walaupun nyawa dan kedudukan mereka taruhannya.

Umar bin Khaththab Mantan Preman Kafir Quraisy

Untuk yang kedua kalinya, dalam kondisi yang sulit, dimana jalan buntu dan tekanan serta penganiayaan berkecamuk, muncul seberkas cahaya yang memberi jalan. Yaitu masuk Islamnya Umar bin Khaththab Ra. Dia masuk Islam pada bulan Dzulhijah tahun keenam dari kenabian.

Sesungguhnya, Nabi Saw. pernah berdoa agar dia masuk Islam. Dari Ibnu Mas’ud dan Anas, bahwa Nabi Muhammad Saw berdoa, “Ya Allah, muliakanlah Islam dengan keislaman salah satu dari dua orang yang engkau cintai, Umar bin Khattab atau Abu Jahal bin Hisyam.” (HR. Thabrani) Ternyata yang dicintai oleh Allah dan dipilih-Nya adalah Umar bin Khaththab.

Umar bin Khaththab Ra. dikenal sebagai orang yang menjaga harga diri dan kehormatan, wataknya temperamental, cepat sekali naik pitam. Sebelum masuk Islam, dia sering menimpakan siksaan kepada orang Islam yang ditemuinya. Tetapi, dapat dipastikan bahwa di dalam batinnya terjadi pergolakan perasaan yang saling bertentangan. Penghormatannya terhadap tradisi nenek moyang, kesukaannya minum khamar bercampur baur dengan ketakjubannya terhadap kaum Muslimin yang rela berkutat dengan bahaya demi mempertahankan akidah. Ditambah dengan kebimbangan di dalam benaknya atau siapa pun yang memiliki akal sehat bahwa apa yang diajarkan di dalam Islam jauh lebih bagus dan sempurna dibanding dengan ajaran apa pun. Demikian perasaan yang menggayuti Umar bin Khaththab selama itu.

Di antara gambaran wataknya yang temperamental serta rasa bencinya terhadap Rasulullah, pada suatu hari dia mencari Rasulullah Saw sambil menghunus pedangnya, dia hendak membunuh Nabi Muhammad Saw di tengah perjalanan dia berjumpa dengan Na’im bin Abdullah an-Nahm al-‘Adwi, dia adalah salah seorang dari bani Zuhrah. Atau seorang dari bani Makhzum. Dia berkata, “Ke mana engkau akan pergi wahai Umar?”

Umar menjawab, “Aku hendak membunuh Muhammad!”

Nu’aim berkata lagi, ‘Bagaimana engkau akan selamat dari pembalasan Bani Hasyim dan Bani Zuhrah jika engkau membunuhnya?”

Umar berkata, “Menurutku engkau telah keluar dari agamamu (memeluk Islam) yang telah engkau anut selama ini.”

Nu’aim berkata lagi, “Bagaimana jika aku beritahukan kepadamu sesuatu yang lebih mencengangkanmu, wahai Umar? Saudarimu dan iparmu juga telah keluar dari agamanya selama ini, dan beralih memeluk Islam.”

Umar bergegas menuju rumah saudarinya dan iparnya. Di sana juga ada Khabbab bin al-Art yang sedang menghadapi lembaran yang bertuliskan surah Thaahaa. Dia tengah membaca surah tersebut di hadapan mereka berdua. Ketika Khabbab mendengar suara kedatangan Umar, dia bergegas menyelinap ke belakang dan Fatimah menyembunyikan lembaran tersebut. Tetapi, Umar telah mendengar apa yang terjadi di sana.

“Suara apa yang aku dengar dari mulut kalian tadi?” bentaknya.

“Kami hanya berbincang-bincang saja,” jawab mereka berdua.

“Kukira, kalian berdua telah keluar dari agama (nenek moyang kita).”

“Wahai Umar, bagaimana seandainya kebenaran yang hakiki itu berada bukan pada agamamu?” Kata adik iparnya.

Seketika umar melompat menghampiri adik iparnya, lalu menginjak-injaknya dengan sangat keras. Melihat hal itu, Fatimah mencoba menolong suaminya dan mengangkat badannya. Namun, Umar malah memukul wajah adiknya sehingga berdarah.

“Wahai Umar,” Fatimah berkata dengan nada tinggi, “Jika kebenaran itu ada pada selain agamamu, maka aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”

Umar merasa putus asa, apalagi melihat darah yang meleleh dari wajah adiknya. Dia menyesal dan merasa malu atas apa yang telah diperbuatnya. Lalu, dia berkata, “Serahkan kitab yang kalian baca, aku akan membacanya.”

Fatimah berkata, “Engkau adalah orang yang tidak suci. Tidak ada yang boleh menyentuhnya, kecuali orang yang suci. Bersucilah dengan mandi, jika engkau mau.” Lalu, Umar berdiri dan mandi. Setelah itu, dia mengambil lembaran tadi seraya membaca,“Bismillahirrahmanirrahiim.” Umar berkata, “Nama-nama yang bagus dan suci.” Lalu, dia membaca, “Thaahaa” sampai pada firman Allah, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaahaa: 14) “Betapa indah Kalamullahini, tunjukan padaku di mana Muhammad sekarang?”

Setelah Khabbab mendengar itu semua, dia keluar dari belakang rumah, seraya berkata, “Terimalah kabar gembira wahai Umar karena aku berharap doa yang dipanjatkan oleh Rasulullah Saw. pada malam kamis itu jatuh kepadamu. Beliau pernah berdoa ‘Ya Allah, muliakanlah Islam dengan keislaman salah satu dari dua orang yang engkau cintai, Umar bin Khaththab atau Abu Jahal bin Hisyam’. Sekarang beliau berada di kaki bukit Shafa.”

Umar pun pergi dengan pedang ditangannya. Sesampainya di rumah; langsung menggedor pintu. Seseorang melihat dari balik pintu. Dia melihat Umar dengan pedang yang terhunus di tangan. Lalu, dikabarkanlah kepada Rasulullah Saw semua orang berkumpul dengan penuh kewaspadaan. Hamzah datang dan berkata, “Ada apa dengan kalian?”

Mereka menjawab, “Umar datang.”

“Umar?” kata Hamzah heran, “Bukakan pintu, jika dia datang dengan maksud baik kita menerimanya, tetapi jika dia datang dengan maksud buruk kita bunuh dia dengan pedangnya sendiri.”

Rasulullah Saw. berada di situ seraya memberi isyarat kepada Hamzah. Dengan gagah berani Hamzah keluar menghadapi Umar. Lalu, membawanya ke hadapan Rasulullah di suatu ruangan, lalu beliau memegang gagang pedang serta menarik baju Umar sambil berkata dengan keras, “Apakah engkau tidak mau menghentikan tindakanmu wahai Umar?! Atau engkau menunggu Allah menurunkan bencana yang menghinakan kepadamu seperti yang menimpa al-Walid bin Mughirah?!” Beliau berseru lagi, “Ya Allah, inilah Umar bin Khaththab, muliakanlah Islam dengan keislamannya.”

Kemudian Umar berkata, “Aku Bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”

Umar pun telah masuk Islam. Seluruh yang hadir di sana mengumandangkan takbir dengan suara yang keras sehingga terdengar oleh penduduk di Masjidil Haram.

Umar memiliki karakter yang keras dan temperamental, keinginannya sulit untuk dihalang-halangi. Keislamannya membuat kaum Musyrikin terguncang dan menorehkan kehinaan pada diri mereka, sedangkan bagi kaum Muslimin hal itu mendatangkan kehormatan, kekuatan sekaligus kebahagiaan.

Umar berkata, “Ketika aku telah masuk Islam aku teringat siapa orang yang paling keras terhadap Rasulullah Saw, yakni Abu Jahal. Lalu, aku mendatanginya sesampainya di sana aku menggebrak pintu rumahnya, maka dia pun keluar sambil berkata, ‘Selamat datang, Apa yang engkau bawa, wahai Umar?’

‘Aku datang untuk mengabarimu bahkan aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu Muhammad, dan aku membenarkan apa yang beliau bawa.’ Lalu, Abu Jahal menggebrak pintu rumahnya sambil menghardik, ‘Semoga Allah memburukkan rupamu dan memburukkan apa yang engkau bawa’.

Ibnu Mas’ud mengatakan, “Kami tidak pernah bisa melaksanakan sholat di hadapan Ka’bah, hingga Umar masuk Islam.”

Suhaib bin Sinan ar-Rumi Ra. berkata, ketika Umar bin Khaththab telah masuk Islam, maka Islam mulai tampak ke permukaan. Dakwah pun secara terang-terangan. Kami dapat membuat halaqah di sekitar Ka’bah, bisa melakukan Thawaf dan bisa mengambil tindakan kepada orang yang berlaku keras terhadap kami atau kami membalasnya.

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Kami merasa kuat setelah Umar bin Khaththab masuk Islam.”

Bilal bin Rabbah Al-Habsyi Bekas Budak Umayyah

Bilal adalah seorang sahabat Nabi yang terkenal. Dia adalah seorang muadzin di Masjid Nabawi. Dia seorang budak yang memeluk Islam milik seorang kafir Quraisy. Keislamannya telah menyebabkan Bilal mengalami banyak penderitaan dan kesengsaraan akibat perbuatan orang-orang kafir. Bilal dibaringkan di atas padang pasir yang panas membakar ketika matahari sedang terik sambil menindihkan batu besar di atas dadanya. Bilal tidak dapat menggerakan badannya sedikit pun. Umayyah bin Khalaf, majikannya, berkata, “Apakah kamu bersedia mati dalam keadaan seperti ini? Ataukah kamu mau terus hidup dengan syarat kamu tinggalkan agama Islam?”

“Ahad! Ahad! Ahad! timpal Bilal.

Pada malam hari, Bilal diikat dengan rantai, dicambuk terus-menerus hingga badannya penuh luka. Pada siang hari, dia dibaringkan kembali di atas padang pasir yang panas. Umayyah berharap Bilal akan mati dalam keadaan seperti itu. Orang kafir menyiksa Bilal silih berganti. Suatu kali Abu Jahl menyiksanya, terkadang Umayyah dan orang lain pun turut menyiksanya juga. Mereka berusaha untuk menyiksa Bilal dengan siksaan yang lebih berat lagi.

Kemudian, datanglah Abu Bakar Ash-Shiddiq, dia berkata, “Apakah kalian akan membunuh seorang laki-laki karena mengatakan bahwa Tuhanku ialah Allah?!” Kemudian katanya kepada Umayyah bin Khalaf, “Terimalah ini untuk tebusannya, lebih tinggi dari harganya, dan bebaskanlah dia…!”

Umayyah berkata, “Bawalah dia! Demi Latta dan Uzza, seandainya harga tebusannya tak lebih dari satu ugia, pastilah ia akan kulepas juga!”

Abu Bakar pun menjawabnya dengan lantang, “Demi Allah, andainya kalian tak hendak menjualnya kecuali seratus ugia, pastilah akan kubayar juga!”

Abu Bakar – orang yang beriman – memandang Bilal dengan kemuliaan. Sedangkan Umayyah – kafir Quraisy – memandang Bilal dengan kehinaan. Disinilah Bilal mulai merasakan detik-detik kemuliaan akan berada disisinya. Sesudah kesulitan pasti akan datang kemudahan.

Khabbab bin Al-Arats Orang Miskin Makkah

Dia adalah sahabat Nabi yang tubuhnya penuh luka akibat siksaan kafir Quraisy. Ketika Umar bin Khaththab menjadi khalifah, beliau pernah bertanya kepada Khabbab mengenai penderitaannya pada awal dia memeluk Islam. Sebagai jawabannya, dia memperlihatkan parut-parut luka bagian belakang badan yang demikian rupa. Melanjutkan ceritanya, Khabbab mengatakan, bahwa dia pernah diseret di atas timbunan bara api sehingga lemak dan darah yang mengalir dari badannya memadamkan bara api tersebut.

Ketika Islam telah menyebar di segala penjuru, Khabbab sering duduk menangis sambil berkata, “Tampaknya Allah sedang memberi ganjaran atas segala penderitaan yang telah kita alami. Mungkin di akhirat nanti tidak ada ganjaran yang akan kita terima.”

Khabbab meninggal pada usia 37 tahun. Dia merupakan sahabat yang pertama kali dikebumikan di Kuffah. Pada suatu hari Ali bin Abi Thalib Ra. melewati makamnya, beliau berkata, “Ya Allah, rahmatilah Khabbab. Dengan semangatnya dia telah memeluk Islam, dan dengan ikhlas dia telah menghabiskan waktunya untuk berhijrah, berjihad, dan mengalami segala penderitaan.”

Keluarga Yasir Keluarga Miskin dari Makkah

Yasir, Sumayyah, dan Ammar termasuk ke dalam golongan kaum muslimin yang telah mengalami berbagai penderitaan akibat siksaan yang dilakukan oleh kafir Quraisy. Mereka disiksa di atas batu-batu dan pasir yang panas membakar. Yasir, ayah Ammar, mati syahid setelah disiksa tanpa perikemanusiaan. Ibu Ammar, yaitu Sumayyah Ra. yang sudah tua pun syahid setelah ditikam dengan tombak oleh Abu Jahl. Mereka tida mau meninggalkan agama Allah walaupun disiksa dengan pedih. Sumayyah adalah wanita pertama yang gugur sebagai syahidah karena mempertahankan agamanya.

Melihat kejadian itu semua, Ammar merasa terpukul dan bersedih sehingga Rasulullah Saw. merasakan kesedihan itu. Kemudian, Rasul menghampiri Ammar dengan bersabda, “Ya Ammar, bersabarlah, sesungguhnya ayah-ibumu ada di surga.” Mendengar sabda Rasulullah Saw. itu, hati Ammar pun menjadi tenang dan jiwanya merasakan kebahagiaan.

Zainab Al-Ghazali Muslimah Aktivis Dakwah

Beliau adalah sosok mujahidah terkemuka yang lahir di abad ke-20. Aktivis Ikhwanul Muslimin ini pernah mengalami berbagai bentuk siksaan dan penderitaan yang mengerikan, sebagaimana diceritakannya dalam bukunya yang berjudul Ayyamun Min Hayati (Hari-Hari dalam Kehidupanku). Buku tersebut menggambarkan hari-hari yang dilakukan oleh si penulis selama di balik terali besi.

Setiap huruf, kata, kalimat, dan lembar yang terdapat di dalam buku tersebut adalah refleksi dari perasaan yang mendalam. Proses penyiksaan demi penyiksaan yang dialaminya, semua ia ungkap dalam buku tersebut. Dari buku itu terungkap, bahwa orang-orang yang telah menjalani masa penahanan, lebih mampu mengungkapkan penderitaan, kesabaran, dan ujian yang dihadapinya. Bahkan, ia adalah orang yang paling mampu menggambarkan berbagai tragedi yang dialaminya melalui penanya yang ikut terluka.

Orang yang mengatakan “aku cinta padamu” kepada orang yang dicintainya, belumlah menunjukkan orang itu mencintainya. Jika kata-kata itu menunjukkan cinta, akan banyak orang mudah mengatakannya. Karena cinta butuh pengorbanan, bukan sekedar kata-kata. Begitupun dengan orang yang ingin hidup dibawah naungan nilai-nilai agama, maka dia harus siap berkorban untuk menjalankan nilai-nilai tersebut. Bila dia temukan kesulitan, kesusahan, dan perjuangan di dalamnya, maka semua itu hanya sebagai batu loncatan untuk mendapatkan berbagai kemudahan dan kebahagiaan. Bagaimana mungkin seorang ilmuwan dikatakan “ilmuwan” jika sebelumnya dia tidak berusaha dengan tekun dan giat mendalami ilmu pengetahuan. Dan, bagaimana pula seorang yang mengaku dirinya muslim memandang agama sebagai sebelah mata. Mau enaknya sendiri. Ketika melihat bahwa agama mengandung nilai-nilai yang tidak sepandangan dengan hawa nafsunya, maka dia pun menolak nilai-nilai tersebut. Dan, ketika melihat agama sebagai sesuatu yang menguntungkan bagi hawa nafsunya, lalu ia terima dengan senang hati. Padahal, apa yang tidak dia sukai mengandung kemaslahatan yang besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar