Siapa yang melihat akhir suatu perkara di awal langkahnya, dengan mata hatinya, kelak akan beroleh hasil yang sangat baik dari perbuatannya dan akan selamat dari akibat buruknya. Barangsiapa yang tidak waspada dan hanya menuruti perasaannya, ia akan menderita akibat perbuatannya dan tidak akan mencapai kebahagiaan. Ia tak akan pernah tenteram dalam menjalani hidupnya. (Imam Ibnu Al-Jauzy)
Bila kita berbuat zina maka akibatnya seperti ini dan itu. Bila kita berkata dusta maka akibatnya seperti ini dan itu. Bila kita malas dalam belajar dan berkarya maka akibatnya seperti ini dan itu. Kita sudah tahu akibat-akibat itu sehingga tidak perlu saya menyebutkannya satu persatu di sini. Semua itu menunjukkan bahwa manusia telah diberi hati dan akal pikiran yang dengan hati dan akal itu manusia dapat menimbang mana yang baik dan buruk. Bila ada yang mengatakan bahwa perzinahan itu dihalalkan, berarti ada yang tidak beres pada hati dan akal pikirannya. Mungkin hatinya mengeras karena banyak berbuat maksiat. Sehingga dia berteman dengan setan yang telah menghalalkan apa yang Allah haramkan. Mungkin juga akal pikirannya yang tidak sampai sehingga dia menganggap perbuatan tercela itu sejajar dengan pernikahan yang sah. Yang terakhir ini hampir tidak terjadi pada diri seseorang kecuali orang itu benar-benar terganggu akal pikirannya.
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi mengatakan pemikiran halal dan haram harus selalu ada dalam benak setiap muslim. Maksudnya, setiap muslim harus melihat baik buruk pekerjaannya sebelum dia melakukannya. Ketika dia bermalas-malasan, maka dibenaknya berkata, “Untuk apa engkau melakukan hal-hal seperti ini? Apakah ia membawa kebaikan bagimu atau keburukan? Apakah ia menguntungkanmu atau membawa kerugian? Apakah perbuatan ini diridhai Allah atau dibenci-Nya?”
Tuhan dengan keadilannya tidak akan pernah menyamakan orang yang berilmu dengan orang yang bodoh, ahli taat dengan ahli maksiat, ahli dzikir dengan orang yang lalai. Umayyah bin Khalaf, kafir Quraisy yang menyiksa Bilal tidak akan pernah sama dan sejajar dengan Bilal yang mukmin. Abu Jahal dan Abu Lahab tidak bisa sama dengan Nabi Muhammad Saw. Begitu pun antara Fir’aun dengan Musa As. dan Namrudz dengan Ibrahim As. Hasil akhir memperlihatkan keadilan-Nya tidak pernah surut bagi siapapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar