Maha Suci Allah dari berbuat zalim kepada hamba-hamba-Nya. Musibah dan bencana yang terjadi di negeri ini tidak lain disebabkan oleh ulah tangan manusia sendiri. Adalah tidak mungkin Allah Yang Maha Adil menghukum hamba-Nya yang taat. Dan adalah tidak mungkin juga Allah membiarkan orang zalim berbuat seenaknya tanpa ada yang mencegahnya. Ada saatnya Allah membalas orang zalim itu dengan azab yang pedih. Allah Swt. berfirman,
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. al-A’raf [7]: 96).
Segala bencana dan musibah yang terjadi di negeri ini, sudah seharusnya membuat kita merenung dan sadar tentang dosa-dosa yang telah kita lakukan. Ini pasti karena kita sudah melampaui batas sehingga Allah yang terkenal pengasih dan penyayangnya begitu murka dengan ulah kita. Padahal Dia telah memberikan banyak nikmat kepada kita, tetapi kita justru kufur terhadapnya. Hujan pun tidak turun sekalipun kita sudah berdoa dengan linangan airmata dan penyesalan. Apakah yang menghalangi hujan tidak turun? Tidak lain karena dosa-dosa kita. Dan mengapa hujan tiba-tiba turun sementara kita masih berkubang dosa? Masih banyak makhluk Allah yang lain yang tidak berdosa, seperti ikan-ikan di air, pohon-pohon dan hewan-hewan berdoa mengharapkan hujan turun. Hanya saja kita tidak mendengar permohonan doa-doa itu. Seandainya saja mereka tidak berdoa, mungkin hujan tidak pernah turun.
Mungkin saja seorang pendosa mengira bahwa badannya yang sehat dan hartanya yang banyak akan menyelamatkannya dari siksaan. Ia tidak menyadari, sebenarnya saat ini ia justru berada dalam siksaan yang nyata. Orang-orang yang bijak berkata, “Maksiat yang disusul dengan maksiat adalah siksaan atas maksiat itu sendiri dan kebaikan yang berbuah kebaikan merupakan balasan atas kebaikan itu pula.”
Barangkali, siksaan yang ditimpakan kepada orang-orang yang berbuat maksiat itu berbentuk siksaan maknawi, seperti yang pernah dikatakan seorang pendeta Bani Israil, “Wahai Tuhanku, betapa seringnya aku berbuat maksiat, namun mengapa tak kunjung datang azab-Mu menimpa diri ini?” Dikatakan kepadanya, “Betapa banyak azab-Ku menimpa dirimu, namun engkau tak tahu bahwa itulah azab-Ku. Tidakkah engkau merasa, telah Aku halangi dirimu untuk merasakan kenikmatan bermunajat kepada-Ku?”
Barangsiapa yang merenungi azab dan siksa seperti itu, ia akan selalu bertindak berhati-hati. Wahab bin al-Ward pernah ditanya, “Dapatkah seorang yang berbuat maksiat merasakan ketaatan?” Dia menjawab, “ Bahkan merasa susah pun tidak!” Betapa banyaknya orang yang mengumbar matanya terhadap segala kenikmatan dunia yang ditutup mata hatinya oleh Allah, tidak sedikit pula mereka yang tak terkendali lisannya tiada memperoleh kejernihan hatinya dan tak terhitung banyak orang yang makan makanan yang syubhat mengalami kegelapan dalam hidupnya serta tidak bisa bangun di malam hari untuk merasakan indahnya munajat kepada Allah.
Sekalipun kita seringkali tidak mampu menangkap hikmah dibalik setiap kejadian, tidak ada salahnya kita bertaubat dan memohon ampun kepada Allah. Orang-orang yang memiliki bashirah (mata hati) justru lebih meningkatkan istighfar setelah mengerjakan berbagai macam ketaatan, karena mereka menyadari keterbatasannya dalam melaksanakan ketaatan itu dan merasa belum memenuhi hak-hak Allah sesuai dengan keagungan-Nya. Lantas, bagaimana dengan orang-orang yang bergelimang dosa? Sungguh, mereka wajib bertaubat dan berisitighfar.
Bermuhasabah dengan tujuan agar dapat memeriksa kembali modalnya, laba dan kerugiannya, agar ada kejelasan penambahan ataukah pengurangan. Modal dalam agama kita adalah hal-hal yang wajib. Labanya adalah nafilah dan fadhilah, kerugiaannya adalah kedurhakaan. Pertama kali hendaklah kita memeriksa hal-hal yang wajib. Jika ada kedurhakaan di dalamnya, maka kita harus menghukum diri kita sendiri dan menghardiknya, agar kita mengerjakan apa yang telah kita abaikan. Hal ini akan membawa kita pada kesadaran bahwa begitu banyak dosa yang telah kita lakukan dan begitu sedikit amal yang telah kita kerjakan. Kita merasa sudah banyak berdzikir, tapi ketika ditanya sudah berapa banyak kita berdzikir, jawabannya sekitar seratus kali sehari. Bandingkan dengan Rasulullah atau para sahabatnya atau orang-orang di bawah mereka. Di antara mereka ada yang berdzikir hingga puluhan ribu kali sehari. Sungguh kita seharusnya malu dan menangis dengan kesombongan itu. Sesungguhnya hanya orang-orang sombong saja yang mengakui dirinya telah banyak beramal.
Imam al-Ghazali berkata, “Jika manusia mengetahui hatinya, ia akan mengetahui dirinya yang sebenarnya; jika ia mengetahui dirinya, ia akan mengenal Tuhannya. Sebaliknya, jika manusia tidak mengetahui hatinya, ia tidak akan mengetahui dirinya; jika ia tidak mengetahui dirinya, ia tidak akan mengenal Tuhannya.”
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shalat tahajud hingga matanya bengkak karena terlalu banyak menangis, dan kakinya bengkak karena terlalu lama berdiri. Ketika ditanya kepada orang-orang yang sombong itu, sudahkah anda shalat tahajud? Jawabannya “belum”. Bagaimana dia bisa mendapat rahmat dan ampunan Allah sementara dia tidak antusias dalam beribadah?
Allah Yang Maha Adil pasti akan membalas kebaikan kita walau sebesar dzarrah. Allah Maha Mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati kita. Allah akan memuliakan orang yang bertakwa biarpun orang itu menyembunyikan amalnya agar tidak dilihat orang karena hanya ingin mengharap ridha-Nya. Allah akan mengangkat derajat orang yang rendah hati sehingga banyak orang yang memuliakannya. Janji Allah adalah benar dan pasti.
Begitupun dengan orang-orang jahat, Allah pasti akan membalasnya, walau kejahatan itu sebesar dzarrah. Kejahatannya tidak mungkin bisa ditutup-tutupi walaupun dibungkus dengan rapi. Entah esok hari, entah lusa, entah tahun depan, Allah pasti akan membalas kejahatan mereka. Janji Allah adalah benar dan pasti.
Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika aku melakukan suatu maksiat, maka aku melihat akibatnya dalam perilaku pembantu dan hewan tungganganku.”
Utsman an-Naisaburi menceritakan, suatu saat tali sandalnya putus tatkala dia dalam perjalanan untuk melakukan shalat jumat. Dia berhenti untuk memperbaikinya. Beberapa saat kemudian dia berkata, “Ini semua karena saya tidak mandi untuk shalat jumat.”
Ganjaran yang sangat ajaib di dunia adalah seperti apa yang terjadi pada saudara-saudara Nabi Yusuf. Dahulu, tangan-tangan mereka menyiksa Yusuf yang kemudian dibeli oleh orang Mesir. Akan tetapi, pada masa berikutnya, tangan-tangan merekalah yang justru meminta-minta makanan, sebagaimana yang dikisahkan dalam firman Allah Swt. di dalam al-Quran, “Bersedekahlah kepada kami.” (QS. Yusuf [12]: 88). Tatkala Yusuf digoda oleh istri pembesar Mesir saat itu yang dengan kejam memfitnah Yusuf di depan suaminya, “Apa balasan bagi orang yang ingin berbuat serong dengan istrimu?” (QS. Yusuf [12]: 25). Allah lalu membuka mulutnya dan membuatnya justru mengakui sendiri perbuatannya, “Akulah yang justru menggodanya untuk menundukkan dirinya padaku.” (QS. Yusuf [12]: 51).
Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, apakah setiap yang kita lakukan ini akan dibalas Allah?” Rasul Saw. bersabda, “Apakah engkau tidak sakit? Bukankah engkau juga sedih? Bukankah engkau juga ditimpa bencana? Itulah balasan apa-apa yang pernah kalian lakukan.”
Sadarilah oleh kita semua, sebelum segalanya terlambat, sebelum azab Allah itu mengenai kita, agar kita kembali keharibaan-Nya dengan bersujud, berserah diri dan bertaubat.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. ar-Rum [30]: 41).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar