Menjadi penulis artinya menjadi diri sendiri. Menulis dengan sejujur-jujurnya atas apa yang kita rasakan. Hal itulah yang akan memberikan kita kepuasan batin melebihi jika kita mendapat imbalan materi.
Jika kita berusaha keras menjadi orang lain, pekerjaan menulis hanya menjadi siksaan dan beban tersendiri. Kita hanya merasakan kelelahan setelah menuliskannya. Seperti halnya orang yang berpuasa tanpa makna, hanya merasa haus dan dahaga.
Menjadi diri kita sendiri. Menulis dengan gaya kita sendiri. Allah telah memberikan kelebihan kepada kita yang tidak dimiliki oleh orang lain. Jika tidak menggunakannya secara maksimal, berarti kita kurang mensyukuri nikmat-Nya itu. Sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an: Kulluyya’malu ‘alaa syakilah (setiap orang itu bekerja sesuai dengan bentukannya) (QS. Al-Isra: 84)
Kata syakilah berarti bentukan-Nya atau sesuai dengan desain yang ditetapkan Allah bagi orang tersebut. Hal ini pun ditegaskan Nabi Muhammad dalam hadits, “Kullun muyyassarun lima khuliqolahu; setiap orang itu dibuat mudah untuk melakukan sesuatu yang diciptakan untuknya.” (HR. Bukhari)
Jack Trout dalam bukunya yang sangat bagus – Differentiatie or Die – mengatakan, “Jika Anda mengabaikan keunikan Anda dan mencoba untuk memenuhi kebutuhan semua orang, Anda langsung melemahkan apa yang membuat Anda ‘berbeda’.”
Dr. Aidh al-Qarni menulis buku La Tahzan ketika berada di dalam penjara. Gayanya dalam menulis mungkin saja seperti Imam Ibnu al-Jauzy, tapi tetap saja gayanya baru, yang tidak pernah akan ada sebelum dan sesudahnya. La Tahzan adalah pantulan dari jiwa sang penulisnya sendiri. Banyak orang menilai bahwa buku itu akan menjadi klasik. Sesuatu yang klasik tentu akan dikenang sepanjang masa, seperti halnya Imam al-Ghazali dengan Ihya Ulumuddin, Ibnu A’thaillah dengan al-Hikam, Ibnu Katsir dengan Tafsirnya, Ibnul Qayyim dengan Thibbun Nabawi-nya, dan sebagainya.
Begitupun dengan gaya menulisnya Sayyid Quthb yang telah menulis Tafsir Fizhilalil Quran ketika berada di dalam penjara, karyanya itu adalah pantulan jiwanya sendiri, bukan jiwa orang lain. Sebelumnya belum pernah ada karya seperti itu, yang memadukan segi sastra, pergerakan, dakwah, dan agama. Metode dan gayanya dalam menafsirkan ayat al-Quran banyak dipuji dan ditiru orang, padahal karya itu lahir ditengah himpitan penjara, bukan ditengah suasana aman. Lahir ditengah sangat minimnya buku, bukan ditengah perpustakaan.
Atau sebut saja karya Buya HAMKA seperti Tafsir al-Azhar yang sebagian besar ditulis ketika beliau di dalam penjara. Belum pernah ada sebelumnya kitab tafsir seperti itu. Para orientalis menyebutkan bahwa tafsir al-Azharadalah tafsir terbaik di Indonesia.
Jika kita tidak menulis dari apa yang kita rasakan sendiri, tulisan kita akan kering perasaan. Padahal perasaan itulah yang membuat tulisan kita indah. Saya selalu merasa yakin dengan teori saya ini. Saya pernah menulis buku di mana buku itu berasal dari panggilan hati saya. Saya merasa nyaman dan tenang setelah menulisnya. Setelah diterbitkan, ternyata mendapat respon yang cukup baik dari para pembaca. Seorang ibu terkesima dengan apa yang saya paparkan lalu mengirimkan sebuah gelang yang terbuat dari mutiara Kalimantan! Beberapa orang TKW dari Hongkong menelepon saya untuk curhat atas masalah yang dihadapinya. Ada juga yang mengatakan, menangis setelah membaca buku saya itu.
Hal yang sangat jauh berbeda ketika saya menulis hanya berdasarkan pesanan orang. "Pak, tolong nulis buku seperti ini bla bla bla." Saya sanggupi. Tapi karena bukan dari panggilan hati saya yang paling dalam, buku itu akhirnya berisi data-data ilmiah plus sedikit perasaan. Masih ada beban yang mengganjal di hati saya. Tidak plong seperti ketika saya menulis dengan hati. Akibatnya buku itu pun tidak mendapat respon yang cukup baik. Saya memaklumi dan menyadarinya.
Inilah kesimpulan yang saya peroleh dari pengalaman saya menulis: Memiliki ilmu yang banyak, itu bagus. Tetapi, tidak menjadi diri sendiri itu sangat buruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar