Salah satu karakteristik Islam adalah Rabbaniyah. Rabbaniyah adalah mashdar shina’i (mashdar bentukan) yang dinisbatkan kepada Rabb, ditambah dengan alif dan nun tanpa qiyas tertentu. Artinya: penisbatan tersebut ditujukan kepada Allah Swt.. Kata Rabbani biasanya akan ditujukan kepada manusia sebagai lagob (julukan) – manusia Rabbani, jika tali hubungannya dengan Allah sangat kuat, tahu dan mengamalkan ajaran agama maupun kitab-Nya. Yang dimaksud dengan Rabbaniyah di sini meliputi dua kriteria: Pertama, Rabbaniyah ghayah (tujuan) dan wijhah (sudut pandang). Kedua, Rabbaniyah mashdar (sumber hukum) dan manhaj (sistem).
Termasuk dari buah Rabbaniyah adalah menyelamatkan jiwa manusia dari tamazzuq (bercerai-berai), pergulatan yang bergejolak dalam diri, perpecahan dan pergulatan antar berbagai kepentingan dan sudut pandang pemikiran. Islam telah membatasi keanekaragaman tujuan manusia menjadi kesatuan tujuan yang sama, yaitu mencari ridha Allah Swt. dan mengaktualisasikan diri pada satu peran penting, yaitu beramal sesuai dengan apa yang diridhai-Nya. (Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Karakteristik Islam, hal. 11)
Dalam pendidikan, Islam berhasil memadukan tiga konsep sekaligus, yaitu tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Ketiganya menjadi konsep yang tidak bisa dipisah-pisahkan lagi. Ta’dib (adab), misalnya, sangat erat kaitannya dengan ilmu. Ilmu tidak bisa diajarkan dan ditularkan kepada anak didik kecuali pendidik memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan.
Jika konsep pendidikan Islam terbatas pada tarbiyah atau ta’lim, pandangan hidup Barat yang berlandaskan dualisme, sekularisme, humanisme, dan sophisme, dapat merasuk ke dalamnya sehingga nilai-nilai adab semakin kabur dan jauh dari nilai-nilai Ilahiah. Kekaburan makna adab atau kehancuran adab itu, dalam pandangan Syed Naquib al-Attas, menjadi sebab utama kezaliman, kebodohan, dan kegilaan. (Lihat The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, 2003).
Konsep yang memadukan antara tarbiyah, ta’lim dan ta’dib tidak terjadi dalam sistem keilmuan di Barat yang sekular. Di dalam tradisi ilmu yang berakar pada tradisi keilmuan Yunani, ada pemisahan antara orang pintar dan orang saleh. Ruosseau, misalnya, dicatatnya sebagai “manusia gila yang menarik” (an interesting madman). Pada tahun 1728, saat berumur 15 tahun, dia bertukar agama menjadi Katolik, agar dapat menjadi peliharaan Madame Francoise-Louise de Warens. Ernest Hemingway, seorang ilmuwan jenius dan peraih Nobel Sastra tahun 1954, tidak memiliki agama yang jelas dan ia ditemukan mati bunuh diri. Foucoult, ilmuwan yang sangat dikagumi aktivis Islam Liberal, adalah ilmuwan yang suka main perempuan dan mabuk-mabukan.
Di dalam Islam sendiri, hal ini tidak terjadi. Islam menjadikan sarana menuntut ilmu sebagai ibadah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Semakin tinggi ilmu seorang muslim, semakin tinggi pula rasa takut kepada-Nya. Di dalam Islam, ada tradisi penyatuan antara ilmu dengan amal. Ada konsep “fasiq”, di mana seorang yang – meskipun berilmu tinggi – tetapi berbuat jahat, dapat terkena ketegori fasiq, dan karena itu, periwayatan dan beritanya perlu diklarifikasi. Jika dia fasiq, maka sebagian ulama melarangnya menjadi saksi di dalam pernikahan atau pengadilan.
Di dalam ilmu hadits, ada ilmu Jarh wa Ta’dil, yang secara terbuka membeberkan sifat-sifat buruk perawi hadits, seperti pembohong, dan sebagainya. Karena itu, di dalam tradisi keilmuan Islam, kita akan menjumpai ilmuwan-ilmuwan yang sangat tinggi ilmunya, sekaligus juga sangat shalih dalam beragama. Itu bisa kita jumpai pada Imam-imam mazhab, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam al-Ghazali, Imam Ibnu Taymiyah, dan sebagainya. Mereka bukan hanya ilmuwan, tetapi juga mujahid dan ahli ibadah. (Lihat Adian Husaini, http://www.hidayatullah.com/index.php?option =com_ content&task=view&id=2430 &Itemid=55)
Sejarah Islam bertaburan ilmuwan-ilmuwan yang cerdas secara akal dan takut kepada Allah. Suatu hari, ‘Abdullah bin Umar Ra. – sahabat Nabi yang dikenal dengan kefakihannya – membaca surah al-Muthaffifin, dan ketika sampai pada ayat yang berbunyi, “(yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” ia menangis, air matanya bercucuran semakin deras, dan akhirnya ia jatuh pingsan karenanya. Ia baru sadar kembali setelah memercikan air ke mukanya.
Ketika menceritakan tentang Ibnu Wahab, Imam adz-Dzahabi berkata, “Ia pernah menyelesaikan sebuah karya tulis tentang huru-hara hari Kiamat. Tapi ketika karya tulisnya itu dibacakan orang kepadanya, ia jatuh pingsan dan tidak sadarkan diri selama tiga hari tiga malam. Dan pada hari keempatnya ia berpulang ke rahmatullah!”
Ibnu Sina yang di Barat dikenal dengan nama Avicenna adalah pakar ilmu kedokteran, Matematika, Psikologi dan Metafisika. Karya-karyanya yang terkenal di antaranya al-Qanun fi ath-Thibb (Canon of Medicine). Keahliannya dalam banyak bidang ilmu pengetahuan yang jarang tertandingi ini ternyata tidak cukup membuatnya lalai sebagai seorang muslim yang taat. Tentang hal ini ia sendiri pernah mengungkapkan: “Setiap aku menyangsikan suatu soal dan tidak mendapatkan batas pengertian yang benar dalam perbandingannya, aku senantiasa ke masjid melakukan shalat, memohon kepada Tuhan hingga terbuka bagiku soal itu dan memecahkannya dengan mudah. Aku pulang ke rumah dan meletakkan lampu di hadapanku, lalu terus membaca dan mengarang. Bila rasa kantuk amat mendesak, atau badanku merasa letih sekali, aku lalu minum secangkir hingga timbul kembali kesegaranku, dan aku teruskan membaca lagi. Tetapi jika kantuk tak tertahankan, aku lalu tidur dan biasanya aku bermimpi tentang soal-soal yang belum selesai dalam pikiranku. Di dalam mimpi itu, kebanyakan soal-soal itu biasanya menjadi terang masalahnya”. Pada bagian lain pernyataannya, ia mengaku: “Aku tetap menjalani pengabdian yang sebaik-baiknya kepada Tuhan.”
Sebagai sarjana Islam kaliber internasional, di samping kebesarannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, ia tetap teguh dan menundukkan dirinya kepada Allah. Tentang ini, seorang orientalis, Duncan McDonald memberikan komentar: “Di samping sebagai pengajar ilmu yang tekun, Ibnu Sina juga pembaca al-Quran dan yakin dalam mengerjakan amal-amal keagamaan.” (Natsir Arsyad, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah, hal. 162).
Ilmu dan iman. Di sanalah letak kemenangan kaum muslimin saat itu dari orang-orang kafir. Sebab ilmu yang tidak ditopang oleh keimanan hanyalah akan mendatangkan bahaya yang jauh lebih besar. Ia hanya akan menyesatkan bangsa, melemparkannya ke dalam jurang, dan menghancurkan kemakmuran dunia secara menyeluruh.
Perhatikan Kamal Attaturk, dengan hanya berbekalkan ilmu tanpa iman, ia justru mengantarkan bangsa Turki ke jurang keterbelakangan dan kebinasaan. Ia bukan membangkitkan kejayaan lewat masjid sebagaimana yang dilakukan pendahulunya, malah ia menghancurkannya, mencabut keimanan dari hati penduduknya, dan menyulap negeri Muslim tersebut menjadi negeri sekuler. Ini bisa terjadi hanyalah karena ia menyembah ilmu, bukan menyembah Allah. Hasilnya adalah negerinya terpecah belah menjadi negeri kecil-kecil. Dulu Turki yang memiliki kekuasaan di sepertiga dunia, kini hanya tinggal kenangan.
Karenanya, Allah Swt. berfirman tentang kekufuran dan pedukungnya, “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. ar-Rum [30]: 7).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar