Senin, 27 Februari 2012

Apakah Kita Akan Berhenti Hanya Karena Satu-Dua Orang Menghina Kita?

Aku berjalan dengan seorang temanku, seorang anggota kelompok Quaker, menuju sebuah stand koran malam itu. Ia membeli sebuah koran. Dengan sopan ia mengucapkan terima kasih kepada penjualnya. Namun, penjual koran itu tidak mempedulikan ucapan tersebut.

“Orang yang tidak sopan, ya?” komentarku.

“Oh, setiap malam ia selalu begitu,” sangkal temanku.

“Lalu, mengapa Anda terus begitu sopan kepadanya?” tanyaku.

“Mengapa tidak?” sanggahnya. “Mengapa aku membiarkannya menentukan bagaimana aku akan bertindak?”

Saat memikirkan kejadian itu selanjutnya, muncul dalam benakku bahwa ungkapan yang penting adalah “tindakan”. Temanku bertindak terhadap orang lain; kebanyakan kita bereaksi terhadap mereka.

Ia memiliki suatu indera keseimbangan mental yang tidak ada pada sebagian besar kita; ia tahu siapa dirinya, untuk apa ia bersikap, dan bagaimana ia akan berperilaku. Ia tidak mau membalas ketidaksopanan dengan ketidaksopanan karena dengan itu ia tidak lagi mampu mengendalikan perilakunya. (Sebagaimana diceritakan oleh Sidney J. Haris dalam buku Mind Power)

***

Hidup ini tidak selamanya seperti apa yang kita inginkan. Adakalanya senang dan adakalanya susah. Begitupun dengan karakter manusia; ada yang pemarah dan ada pula yang penyabar, ada yang jahat dan ada pula yang baik. Kita juga dapat mengambil pelajaran penting bahwa tidak selamanya kita mendapat kawan yang baik; yang mau memberi kita semangat daripada melemahkan. Kawan yang selalu melontarkan kebaikan-kebaikan bukan hinaan-hinaan. Kawan yang mengajak kita pada keimanan bukan kemaksiatan dan kawan yang menutup aib-aib kita bukan memfitnah kita.

Kadang kita mendengar si A, B, C, atau D mengatakan kata-kata kasar yang mengusik batin kita. Tuduhan-tuduhan busuk mengarah kepada kita ibarat lemparan pecahan beling yang mengenai muka dan tubuh kita, terasa perih menyayat hati. Kadang yang mengatakan itu adalah teman yang terdekat dengan kita, kadang melalui orang lain yang dia terima dari teman kita, dan lain sebagainya.

Ingin rasanya marah, benci, dendam, melumatnya hingga mati. Ingin rasanya mengata-ngatainya lagi; membalas ketidaksopanan dengan ketidaksopanan, hinaan dengan hinaan, percikan api dengan percikan api. Namun, ternyata hal itu justru tidaklah menyelesaikan masalah. Jika kita meladeninya, masalah kita justru semakin bertumpuk; yang satu belum selesai yang lain muncul lagi. Kemarahan, kebencian, dendam kesumat membuat tubuh bergetar hebat, nafas memburu, darah dalam tubuh mendidih dan uapnya menutup akal sehat kita sehingga kita bisa mati terbunuh karenanya.

Ada seorang pengendara sepeda motor yang karena sedikit terserempet mobil, dia marah-marah lantas kemudian menancapkan belati yang dia bawa ke perut pengendara mobil tersebut. Pengendara mobil tesebut tewas seketika karena kehabisan darah. Pengendara sepeda motor itu ditangkap kemudian dijebloskan ke dalam penjara. Dia menyesali perbuatannya. “Saya khilaf,” katanya. Berhati-hatilah bila bermain api. Bila diperbesar dengan menambah amunisi, api tersebut akan semakin besar. Setan itu sangat senang melakukan hal-hal semacam itu.

Dalam buku Mind Power disebutkan, sejauh data-data tertulis yang ada, orang menghadapi kematian mendadak saat ia mengalami ketakutan, kemarahan, kesedihan, penghinaan atau kegembiraan yang sangat. Pada awal abad masehi, Raja Romawi, Nerva, dilaporkan meninggal akibat “akses kemarahan yang hebat” terhadap senator yang telah menyinggung perasaannya. Pope Innocent IV dikabarkan meninggal mendadak akibat “efek-efek kemarahan yang mengerikan bagi sistem tubuhnya” karena kekalahan-kekalahan tentaranya oleh Manfred,Raja Sicilian.

Oleh karena itu, Rasulullah Saw. memandang bahwa yang dimaksud orang kuat itu bukan orang yang jago berkelahi, tetapi orang yang kuat adalah orang yang sanggup mengendalikan amarahnya. Di dalam diri kita ini sudah ada unsur api (fujuroha) di samping unsur cahaya (taqwaha). Jika kita menambahi api itu dengan api yang lebih besar (ammarah), hasilnya akan jauh lebih besar dan besar.

Contoh dalam mengendalikan amarah telah diperlihatkan oleh Rasulullah. Rasulullah berdakwah ke Thaif, beliau dilempari batu oleh penduduknya, sambil dihina: “Sesungguhnya kami benar-benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal (gila) dan sesungguhnya kami menganggap kamu termasuk orang-orang yang berdusta.” (QS. Al-A’raf: 66)

Tubuh Rasul berdarah-darah. Apakah beliau marah? Beliau menangis tersungkur di suatu tempat sambil berdoa kepada Allah. Melihat hal itu, Jibril mengatakan kepada beliau, jika berkenan dirinya akan menghimpit penduduk Thaif dengan dua gunung yang ada di sekitarnya. Dengan airmata berlinang, beliau mengatakan, “Jangan! Mereka hanya tidak tahu siapa aku. Mudah-mudahan di hari nanti anak-cucu mereka menerima dakwahku.”

Sungguh mulia akhlak Rasul. Mari kita mencontoh akhlak Rasul ini. Apabila kita mendapat hinaan, dinginkan dengan doa penuh kekhusyuan, “Ya Allah, jika apa yang dikatakannya benar, ampunilah aku. Sungguh hamba-Mu lemah dan tak luput dari dosa. Namun jika apa yang dikatakannya salah, berikanlah aku pahala darinya. Sedangkan orang itu menjadi urusan-Mu. Karena Engkaulah seadil-adilnya hakim yang memberi ketetapan.”

Al-Hasan berkata, “Seorang mukmin yang penyantun tidak akan berlaku usil sekalipun ia diusili!” Lalu, beliau membaca firman Allah, “Apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al-Furqon: 63)

Yazid bin Hubaib berkata, “Sesungguhnya kemarahanku itu berada di sandalku. Bila aku mendengar sesuatu yang tidak aku sukai, aku ambil sandalku itu dan aku pun berlalu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar