Adalah sangat mengherankan jika ada seorang ustadz, yang merupakan alumni al-Azhar, mengatakan bahwa, tidak benar kitab Ihya Ulumuddin mengandung banyak hadits dhaif. Saya menyaksikan ceramahnya itu di televisi. Saya tidak tahu apakah beliau lupa atau memang tidak tahu. Jika memang lupa, itu wajar. Tapi jika tidak tahu, itu aneh.
Saya bukan ahli hadits, tetapi setidaknya saya tahu sedikit banyaknya validitas hadits yang terdapat dalam kitab Ihya melalui syarah-syarah yang di tulis al-Hafidz al-Iraqi, al-Hafidz az-Zabidi, al-Hafidz Ibnul Jawzy, dan beberapa ulama lainnya. Dari hasil penelitian itu menyebutkan banyaknya hadits-hadits dhaif dan palsu (maudhu) yang bertebaran di dalam kitab Ihya.
Dalam sejarah kita ketahui sendiri, jika Imam al-Ghazali baru mulai secara intensif belajar ilmu hadits (Bukhari-Muslim) menjelang akhir hidupnya. Beliau sendiri memiliki basis keilmuwan di bidang teologi dan filsafat, bukan hadits. Tapi dilihat dari perjalanan hidupnya, tampak beliau sangat bersemangat untuk mendalami banyak ilmu pengetahuan yang ada pada saat itu. Setelah mempertimbangkan dan meneliti ilmu-ilmu itu, akhirnya beliau menjatuhkan pilihannya pada ilmu tasawuf. Beliau memilih tasawuf sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Saking banyaknya ilmu yang dikuasai al-Ghazali, seorang peneliti mengatakan jika keilmuwan al-Ghazali seperti jaring laba-laba. Banyak, tapi sangat mudah dikoyak-koyak karena kelemahan dalilnya. Tapi menurut saya hal itu tidak benar juga, karena al-Ghazali adalah guru besar di sebuah universitas ternama pada saat itu, Nizhamiyyah. Bagaimana seorang profesor bukan seorang ahli yang menguasai bidangnya? Tentu tidak benar.
Lemahnya pengetahuan hadits membuat beberapa ulama seperti Ibnul Jawzy, Sa’id Hawwa, Dr. Muhammad al-Ghazali, dan yang lainnya membuat kitab "tandingan" yang berupaya meluruskan pemikiran yang salah dari Ihya Ulumuddin. Imam Ibnul Jawzy menulis kitab Minhajul Qashidin, Sa’id Hawwa menulis kitab Tazkiatun Nafs (mensucikan jiwa), dan Dr. Muhammad al-Ghazali menulis kitab Menghidupkan Kembali Ajaran Ruhani Dalam Islam.
Saya sangat setuju dengan usaha ulama-ulama itu dalam memperbaiki "kesalahan-kesalahan" Imam al-Ghazali. Upaya ini merupakan rasa cinta mereka kepada Imam al-Ghazali. Saya tidak setuju dengan orang-orang yang menolak, mencaci maki Imam al-Ghazali dan kitab Ihya. Imam al-Ghazali sendiri adalah ulama yang tercerahkan dimasanya. Beliau digelari sebagai Hujjatul Islam. Gelar ini tentu saja bukan gelar sembarangan. Gelar ini menunjukkan kedudukan beliau yang utama di mata umat. Jika diberi kesempatan untuk mempelajari ilmu hadits, kemungkinan besar beliau akan mengubah beberapa pandangan beliau sebelumnya. Seperti halnya yang pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i. Imam Syafi’i pernah merevisi ulang pemikiran lamanya (Irak) dan menggantikannya dengan pemikiran baru (Mesir).
Oleh karena itu, mari kita seimbang dalam memandang keberadaan kitab Ihya. Seperti halnya kitab (buku) lain yang tidak pernah lepas dari kesalahan, begitu pun dengan kitab Ihya Ulumuddin. Tidak pantas kiranya kita fanatik terhadapnya. Jika ada yang salah, maka sebutkanlah salah. Jangan kita sembunyi-sembunyikan dari kebenaran sejati.
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَآأَنزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِن بَعْدِ مَابَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُوْلاَئِكَ يَلْعَنَهُمُ اللهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاَّعِنُونَ {159} إِلاَّ الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُوْلاَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang." (QS. al-Baqarah: 159-160).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar