Di antara hadits-hadits yang telah disalahgunakan oleh sebagian golongan kaum muslimin yang tidak memahami dan para orientalis penyesat agama adalah hadits masyhur yang telah diriwayatkan Imam Muslim, “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”. Hadits ini dipergunakan pihak-pihak musuh-musuh Islam untuk memisahkan Islam dan umatnya pada masalah-masalah yang sifatnya keduniaan seperti politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Islam bagi mereka adalah sebuah agama tanpa negara dan akidah tanpa syariah. Mereka disebut sebagai kaum sekularis. Sebagai contoh adalah pemikiran yang tertuang dalam buku Islam Rasional karya DR. Harun Nasution yang memuat hadits tentang ini di awal-awal bukunya sebagai sebuah rujukan atas pemikiran mu’tazilah-nya.
Sikap keterlaluan dari sebagian orang inilah yang telah membuat seorang ulama besar dalam bidang hadits, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahullah mengatakan, “Hadits ini adalah di antara hadits yang banyak didengungkan oleh para pemikir keblinger dan para boneka Eropa di Mesir dari kalangan budak kaum orientalis dan murid-murid kaum misionaris zending. Mereka menjadikan hadits tersebut sebagai argumen untuk menghantam ahli sunnah dan para pendukungnya serta orang-orang yang berkhidmat untuk syariah dan para pembelanya; yaitu jika mereka ingin menafikan sesuatu dari sunnah dan mengingkari sebagian syariah Islam dalam masalah mu’amalat, dan urusan sosial dan lainnya dengan mengkatagorikan masalah-masalah tersebut sebagai urusan dunia.”
Hadits ini sangat jelas dan eksplisit maknanya serta tidak bertentangan dengan nash dan tidak menunjukkan bahwa kita tidak boleh menggunakan sunnah sebagai dalil dalam setiap urusan. Sebenarnya hadits ini hanya berkaitan dengan peristiwa penyerbukan kurma; di mana Rasulullah Saw. mengatakan kepada penduduk Madinah: “Saya kira menyerbukkan kurma itu tidak ada manfaatnya”. Pernyataan ini hanya sekadar pendapat Rasulullah yang tidak mengandung perintah atau larangan. Beliau adalah penduduk Makkah yang masyarakatnya tidak berpengalaman dalam bidang pertanian dan bercocok tanam. Sebab penduduk Makkah menempati sebuah lembah tandus, tetapi dugaan beliau ini oleh sahabatnya dianggap sebagai perintah agama yang mesti diikuti, dan sebagai hukum syariah yang harus ditaati, maka terjadilah peristiwa tidak berbuahnya kurma mereka dengan baik. Masalah itu adalah masalah teknis semata dan hanya dugaan dalam kasus bukan religius. Beliau juga tidak memberitahukan masalah tersebut berdasarkan wahyu dari Allah dan tidak juga berniat untuk menetapkan sunnah dalam hal itu (lihat kata yang dicetak tebal “Saya kira…”), sehingga dapat dijadikan dalil dan dikembangkan maknanya yang bertujuan untuk meruntuhkan dasar syariah Islam.
Sebagai contoh tentang masalah ini adalah perang.
Islam datang dengan menentukan tujuan perang, memerintahkan kesiagaan untuk berperang, kewaspadaan terhadap musuh, dan persiapan untuk itu dengan segala kekuatan sesuai dengan kemampuan.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انفِرُوا جَمِيعًا
“Hai orang-orang yang beriman bersiap-siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama”.(QS. An Nisaa: 71).
وَأَعِدُّوا لَهُم مَّااسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللهِ وَعَدُوَّكُمْ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah dan musuhmu.” (QS. Al Anfal: 60).
وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً وَاحِدَةً
“Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah kepada senjatamu dan harta bendamu lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus.” (QS. An Nisaa: 102).
Nabi bersabda, “Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu ada pada memanah.” (HR. Muslim).
“Barangsiapa belajar memanah kemudian dia melupakannya berarti ia melupakan kenikmatan yang dikufurinya”. (HR. Abu Daud, Nasa’i, Al Hakim dan dishahihkan serta disetujui oleh Al-Dzahabi).
“Barangsiapa berperang untuk meninggikan agama Allah Swt., sesungguhnya ia telah berperang di jalan Allah.” (HR. Mutafaq alaih).
Islam menggariskan etika berperang yang harus diperhatikan. Allah Swt. berfirman:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Dan perangilah di jalan Allah mereka yang memerangi kalian, dan janganlah kalian melampaui batas.” (QS. Al Baqarah: 190).
Dan terdapat dalam hadits yang mengatakan: “Janganlah kalian menguntit harta rampasan perang, berkhianat, mencincang musuh, janganlah kalian membunuh anak kecil…dst.” (HR. Muslim).
Ada pun macam persenjataan yang digunakan dalam peperangan dan cara pembuatannya, cara melatih penggunaannya dan sebagainya; semua itu bukan urusan agama melainkan urusan kementerian pertahanan dan komando angkatan bersenjata.
Boleh jadi pada masa tertentu pedang, tombak dan panah merupakan persenjataan alternatif. Namun pada masa yang lain senjata alternatif tersebut adalah manjaniq (ketapel bola api), dan pada masa yang lain lagi senjata tersebut tidak lagi sesuai dan perlu diganti dengan berbagai jenis senjata baru yang lebih canggih semisal meriam, bom, roket, peluru kendali, dan lain-lain.
Bagaimana pun juga doktrin agama tentang peperangan pada masa kuda adalah sama dengan doktrin pada era pesawat luar angkasa. Tujuannya tetap sama yaitu agar agama Allah menjadi tinggi. Etikanya juga tetap sama.
Mempersiapkan kekuatan sesuai kemampuan, bersikap waspada, dan melatih umat Islam dalam kemiliteran adalah merupakan doktrin prinsip yang tetap dan tidak berubah. Peralatan, persenjataan, taktik dan strategi perang dapat selalu berubah tetapi prinsip doktrin dan tujuannya adalah tetap abadi.
Suatu kejadian menarik pernah terjadi di masa Imam Jalaluddin Ar Rumi (penyair dan sufi besar) hidup. Suatu ketika datanglah seorang sultan di masa itu menghadap Imam Rumi, keinginannya untuk segera meletakkan jabatan sebagai komandan perang dan beralih menjadi murid spiritual Rumi. Namun Rumi dengan tegas mengatakan pada Sultan itu, “Apa yang Anda lakukan adalah pekerjaan Demi Allah, pekerjaan yang mulia”. Demikian seorang guru sufi menerangkan pada sultan itu, bahwa apa yang dilakukan Sultan itu adalah dalam rangka mengabdi kepada-Nya dan sebuah sarana dalam mencapai syahid dijalan-Nya.
Telah terang dan jelas bahwa Islam menolak sekularisme. Jika ada sebagian dari umat ini menggunakan hadits di atas sebagai dalil dalam menolak Sunnah Nabi Saw. (Inkarus Sunnah), maka telah terjadi kesalahan dalam memahami hadits tersebut. Dan akibatnya bisa fatal, yaitu menolak ajaran Islam secara keseluruhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar