Jumat, 23 Maret 2012

Keberpihakan Muslim pada Agamanya

Manusia ketika masih berada di alam ruh telah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Dan ketika diciptakan di alam dunia ini, mereka ada yang mengulang kembali kesaksian itu, dan ada pula yang menolaknya. Mereka yang meyakini kesaksian itu berarti telah berjalan di atas jalan fitrah. Sedangkan mereka yang menolaknya berarti telah berjalan di atas jalan kesesatan. Ini adalah prinsip yang harus kita pegang bersama.

Ketika kita mengucapkan kembali kalimat syahadat itu, bersamaan dengan itu pula ada konsekuensi-konsekuensi yang harus kita ikuti. Yaitu mengikuti semua aturan-aturan yang telah ditetapkan-Nya baik dengan ikhlas maupun terpaksa. Karena dengan cara itulah, kita akan memperoleh keselamatan di dunia dan di akhirat. Dengan kata lain, mereka yang telah meyakini bahwa Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai utusan-Nya, berarti telah menetapkan dirinya untuk menjadikan Islam sebagai satu-satunya pedoman dalam kehidupannya. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 208:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينُُ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu.”

Dalam diri setiap muslim sudah seharusnya ada keberpihakan yang jelas pada agamanya. Karena ia tahu dan meyakini kebenaran agamanya, sehingga kemudian ia akan membelanya dimanapun dan kapanpun ia berada. Jika orang-orang kafir bangga dengan kekafirannya maka sudah seharusnya kita bangga dengan agama kita. Jika orang-orang kafir membela mati-matian kekafirannya maka sudah seharusnya kita juga membela mati-matian agama kita. Jika orang-orang kafir nyata-nyata berpihak pada kekafiran maka kita nyata-nyata pula berpihak pada agama kita. Sesungguhnya telah jelas mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah.

Seorang penulis muslim, misalnya, wajib membela agamanya. Dia membantah setiap fitnah dan kesesatan yang dilontarkan musuh pada agamanya. Dengan kemampuan yang dimilikinya, dia menuliskan kata-kata yang mampu menggambarkan kebenaran Islam sehingga membuat musuh bertekuk lutut. Sejarah telah membuktikan bagaimana para ulama kita menulis. Mereka tak ubahnya para mujahid di medan tempur. Mereka telah menjadikan pena mereka sebagai senjata yang mematikan musuh. Imam Ibnu Hazm, seorang sastrawan dan ilmuwan muslim, telah menulis kitab berjudul ar-Rad ‘ala Ibni an-Naghrilah al-Yahudi yang merupakan bantahan terhadap Ibn an-Naghrilah, seorang Yahudi yang dengan teganya menulis sebuah buku yang menjelek-jelekkan Islam.

Imam Ibnu Taimiyah telah menulis kitab ash-Sharim al-Maslul ‘ala Syaatim ar-Rasul setelah ada seorang Nasrani dizamannya yang telah memaki-maki Nabi Muhammad Saw. dihadapan orang banyak. Beliau menulis kitab ar-Raddu ‘Alal Bakri dan ar-Raddu ‘Alal Akhna’i yang merupakan penolakannya terhadap kesesatan pemikiran Ali bin Ya’qub al-Bakri dan al-Akhna’i. Beliau juga menulis kitab ar-Raddu ‘Alal-Manthiqiyyin dan Naqdhul Manthiq yang merupakan penolakannya atas setiap kesesatan filsafat Yunani dan penganutnya. Beliau juga menulis kitab al-Jawab ash-Shahih Liman Baddala Dina al-Masih dan Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah fi Naqdhi Kalami asy-Syi’ah wa al-Qadariyyah yang membeberkan kesesatan agama Kristen, Syi’ah, dan penganut paham Qadariyyah.

Di abad ke-3 hijriyah, Hasan Ibnu Musa an-Naubukhti telah menulis kitab berjudul Kitabul Ara’ wad Diyanat untuk menentang sebagian permasalahan logika milik Aristoteles. Telah ditulis pula sebuah kitab besar berjudul ad-Daqaiq oleh Imam Abu Bakar al-Baqilani pada abad ke-4 hijriyah. Lalu dia lari dari filsafat dan menetapkan eksistensi logika Arab di atas logika Yunani. Pada abad ke-5 hijriyah bangkitlah Al-Allamah Abdul Karim asy-Syihristan (penulis kitab al-Milal wan Nihal). Dia menulis sebuah kitab untuk menentang Heraklius dan Aristoteles dan menyanggah paradigma mereka.

Semua ini menunjukkan bahwa setiap muslim yang memiliki keahlian telah menjadikan keahliannya itu sebagai mata rantai jihad fi sabilillah. Pena, komputer, mesin tik, internet, menyetir mobil, berenang, menembak, berlari, menyelam, fisik yang kuat, otak yang cerdas, semua itu tak ubahnya senjata yang dapat digunakan untuk meninggikan kalimat Allah. Jika ada orang bertanya: “Apa yang mesti aku lakukan untuk membela agama Allah?” Maka jawabannya adalah: “Lakukanlah apa yang bisa engkau lakukan. Jika engkau memiliki silet untuk menebang pohon maka gunakan silet itu. Jangan menunggu hadirnya sebuah kapak atau gergaji mesin. Tapi lakukanlah dengan cara terbaik dan terpuji.”

Semoga kita menjadi bagian dari orang yang berjihad dijalan-Nya dengan segala keahlian dan kemampuan yang kita miliki. Semoga kita dapat memberikan konstribusi yang nyata untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Allah Swt. berfirman dalam surat ash-Shaff ayat 14:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا أَنْصَارَ اللهِ كَمَا قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ لِلْحَوَارِيِّينَ مَنْ أَنصَاِرى إِلَى اللهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنصَارُ اللهِ فَئَامَنَتْ طَّآئِفَةُُ مِّن بَنِي إِسْرَاءِيلَ وَكَفَرَتْ طَّآئِفَةُُ فَأَيَّدْنَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَى عَدُوِّهِمْ فَأَصْبَحُوا ظَاهِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?’ Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: ‘Kamilah penolong-penolong agama Allah’, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar