Kamis, 08 Maret 2012

Agar Menjadi Muslim Tawadhu


"Dan tidaklah seorang hamba bersikap tawadhu’ kecuali akan diangkat derajatnya oleh Allah Swt." (al-Hadits)

Sahabatku, kita melaksanakan ibadah bukan karena ingin disebut ahli ibadah. Kita menuntut ilmu bukan karena ingin disebut ahli ilmu. Kita beribadah dan menuntut ilmu karena Allah. Jika kita beribadah dan berilmu bukan karena Allah, lantas apa yang kita dapatkan? Tidak ada sama sekali! Semuanya terbang bagai debu di batu yang licin. Kita mungkin merasa senang dengan pujian itu. Kita merasa bangga disebut sebagai ahli ilmu, ahli ibadah atau pujian-pujian bagus lainnya.

Tidak! Kita tidak membutuhkan semua itu. Kita hanya butuh ridha Allah. Semua pujian manusia terasa hambar di hati. Ulama-ulama saleh selalu berusaha menyembunyikan amal-amal saleh mereka. Jika mereka mampu menyembunyikan semuanya, mereka pasti akan melakukannya. Adalah Anas Ra. jika bertemu dengan anak-anak kecil maka selalu mengucapkan salam pada mereka, ketika ditanya mengapa ia lakukan hal tersebut ia menjawab, “Aku melihat kekasihku Nabi Saw. senantiasa berbuat demikian.”

Abu Said al-Khudri Ra. pernah berkata, “Jadilah kalian seperti Nabi Saw., beliau Saw. menjahit bajunya yang sobek, memberi makan sendiri untanya, memperbaiki rumahnya, memerah susu kambingnya, membuat sandalnya, makan bersama-sama dengan pembantu-pembantunya, memberi mereka pakaian, membeli sendiri keperluannya di pasar dan memikulnya sendiri ke rumahnya, beliau menemui orang kaya maupun miskin, orang tua maupun anak-anak, mengucapkan salam lebih dulu pada siapa yang berpapasan baik tua maupun anak, kulit hitam, merah, maupun putih, orang merdeka maupun hamba sahaya sepanjang termasuk orang yang suka shalat.”

Umar bin Abdul Aziz saat menjabat khalifah pernah suatu malam kedatangan tamu, saat itu ia sedang menulis, sementara pelita hampir habis minyaknya maka ia permisi untuk mengambil minyak, maka tamunya berkata, “Apakah khalifah mengambilkan minyak karena aku?”

Jawab khalifah, “Bukan seorang yang mulia jika tidak memuliakan tamunya.”

Maka tamunya berkata, “Tidakkah Anda membangunkan pelayan anda?”

Jawab khalifah, “Ia lelah karena bekerja seharian.” Maka berangkatlah ia ke gudang untuk mencari minyak, lalu dituangnya sendiri dari gentong minyak ke tempatnya lalu dibawanya dengan tangan dan bajunya bernoda bekas minyak.

Maka tamunya berkata, “Anda lakukan sendiri hal ini wahai amirul mu’minin?”

Maka ia menjawab, “Diamlah, aku ini hanyalah seorang Umar tidak berkurang sedikitpun, dan sebaik-baik manusia adalah yang disisi Allah Swt. tercatat sebagai seorang yang tawadhu’.

Al-Hasan Ra. pernah berjalan dan bertemu dengan beberapa hamba sahaya yang sedang memakan roti kering tanpa lauk, maka ia turun untuk ikut makan bersama orang-orang miskin tersebut, lalu setelah itu ia membantu mengangkatkan barang-barang yang dibawanya, lalu diajaknya ke rumahnya untuk makan bersama. Lalu ketika orang-orang merasa kagum atas hal tersebut ia berkata, “Mereka lebih mulia dariku, karena mereka menjamuku dengan semua yang mereka miliki, sedangkan aku hanya menjamu mereka dari sebagian kecil yang aku miliki.”

Imam Sufyan ats-Tsaury pernah mengatakan bahwa dirinya tidak menganggap amal yang terlihat oleh manusia sebagai amal salehnya. Imam Ali Zainal Abidin dan Imam Laits bin Sa’d suka bersedekah dengan cara sembunyi-sembunyi. Imam Ahmad bin Hanbal setiap hari berdoa dengan menyebut satu persatu sahabat-sahabatnya tanpa mereka mengetahuinya. Imam Ibnu Sirin pada siang hari tertawa, namun tatkala sedang sendirian air matanya mengalir laksana sungai.

Seorang sufi terkenal, Bisyr al-Hafi, sering duduk bersama penjual minyak wangi. Thalhah bin Mathruf, seorang qari terkemuka asal Kufah, setelah melihat bahwa telah banyak orang yang belajar darinya, dia malah berangkat menuju al-A’masy dan belajar darinya, hingga orang-orang lebih condong kepada al-A’masy dan meninggalkan Thalhah. Itulah contoh manusia-manusia yang tulus amalnya karena Allah dan bagaimana mereka bermuamalah.

Sa’id Hawwa dalam bukunya al-Mustakhlash fi Tazkiyatun Nafs, menyebutkan ada beberapa percobaan yang dapat dilakukan untuk mengukur apakah di dalam jiwa seseorang terdapat kesombongan atau ketawadhuan.

1. Hendaknya ia berdiskusi dengan orang lain dalam suatu masalah. Apabila ia keberatan mengakui kebenaran dari perkataan lawan diskusinya dan tidak berterima kasih atas bantuan lawannya untuk mengetahui hal tersebut, maka di dalam hatinya masih terdapat kesombongan. Sebaliknya, bila ia mengakui dan menerima kebenaran lawannya tersebut, berterima kasih kepadanya dan lisannya mengakui kelemahan dirinya dengan tulus, misalnya dengan mengatakan, “Alangkah bagusnya perkataanmu terhadap sesuatu yang belum aku ketahui. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas ilmu yang dibukakan oleh Allah untukku melalui kamu!” Maka jika hal itu dilakukan berulang-ulang, sehingga menjadi tabiat dirinya berarti ia telah memiliki sifat tawadhu’ dan terbebas dari kesombongan.

Dalam suatu riwayat disebutkan tatkala Umar bin Khaththab Ra. selesai menyampaikan pidato untuk membatasi mahar wanita, seorang wanita berdiri seraya berkata, “Wahai Umar, apa urusanmu dengan mahar kami, padahal Allah Swt. berfirman, “…sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak…” (QS. an-Nisa: 20). Menanggapi hal itu Umar berkata, “Benarlah wanita itu dan salahlah Umar.”

2. Hendaklah berkumpul bersama teman-teman sebaya dalam berbagai pertemuan, lalu mendahulukan mereka atas dirinya, tidak menonjolkan diri di tengah-tengah mereka, dan berjalan di belakang atau di tengah, bukan di depan. Bila hal itu terasa berat, berarti masih ada kesombongan di dalam dirinya. Sebaliknya, jika hal itu terasa ringan baginya, berarti sifat ketawadhuan telah ada dalam dirinya. Abu Darda Ra. berkata, “Seseorang akan bertambah jauh dari Allah selama (ia menyukai) orang yang berjalan di belakangnya”.

3. Hendaklah memenuhi undangan orang miskin atau yang lebih rendah statusnya dari dirinya. Apabila ia merasa berat melakukannya berarti masih ada kesombongan dalam hatinya. Dalam suatu riwayat dikisahkan, Rasulullah Saw. melihat ada orang kaya yang duduk di sebelah orang miskin lantas ia menjauh dari si miskin dan melipat pakainnya, maka Rasulullah berkata kepadanya, “Apakah kamu takut kefakirannya menular kepadamu?”

4. Hendaklah membawa barang-barangnya atau barang yang dibutuhkan keluarganya sendiri, tanpa dibawakan orang lain. Apabila ia merasa berat untuk melakukan hal tersebut, meski tidak ada orang yang melihatnya maka itu adalah kesombongan dan apabila ia tidak merasa berat kecuali bila dilihat oleh orang banyak, maka ia termasuk riya’ (ingin diperhatikan orang lain). Keduanya merupakan penyakit jiwa dan lawan dari sifat tawadhu.’

5. Hendaklah memakai pakaian yang sangat sederhana. Apabila ia merasa berat melakukannya di hadapan orang banyak, maka ia riya’ dan bila ia tidak mau melakukannya saat tidak dilihat orang banyak, maka itu adalah kesombongan. Zaid bin Wahab berkata, “Saya melihat Umar bin Khaththab Ra. menuju pasar dengan membawa susu dan mengenakan pakaian yang padanya terdapat empat belas tambalan, sebagiannya tertambal dengan kulit binatang.”

Sahabatku, sesungguhnya ilmu itu dituntut untuk diamalkan, bukan untuk dibangga-banggakan di hadapan manusia. Ibadah itu dilaksanakan agar kita semakin dekat dengan-Nya. Segala pujian manusia akan datang belakangan karena Allah tidak mungkin membiarkan kita begitu saja. Allah akan memperlihatkan kehormatan seseorang kepada orang lain walau ia tertutup oleh dinding tebal sekalipun. Manusia membicarakan amal baik itu hingga mereka sama sekali laksana tak memiliki dosa. Seluruh hidupnya adalah amal. Manusia harus tahu bahwa di sana ada Tuhan yang tidak menyia-nyiakan amal-amal. Sesungguhnya, bila hati manusia tahu akan kondisi orang tersebut, kemudian mencintainya, menyayanginya, memujinya, atau malah membencinya dan mencelanya, seluruhnya terjadi sesuai dengan apa yang terjadi antara hamba dengan Allah. Tatkala seorang hamba hanya baik kepada makhluk tetapi tidak baik kepada Sang Khaliq, akan terbaliklah keadaan dirinya. Yang memujanya akan mencelanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar