Jumat, 23 Maret 2012

Kiat Menulis Efektif: Benchmarking

Saya mulai menulis sejak duduk dibangku SMP. Saya biasa menulis di buku catatan harian. Sederhana saja. Kejadian-kejadian sehari-hari yang menyentuh hati saya, segera saya tulis; entah dalam bentuk puisi atau esai. Tapi tentu saja tidak ada asap kalau tidak ada api. Keinginan saya menulis muncul ketika kakak saya membawa beberapa buku yang dipinjam dari perpustakaan masjid sekolahnya. Kebetulan kakak saya yang mengurus perpustakaan itu, sehingga setiap hari bisa bawa buku untuk dibaca di rumah.

Kegiatan baca membaca yang kakak saya lakukan itu “menular” pada diri saya. Sedikit demi sedikit saya sudah mulai keranjingan membaca. Pada waktu itu, tidak aneh jika saya dapat membaca buku setebal lima ratus halaman dalam sehari. Ya, tidak lain karena saya sangat antusias dalam membacanya. Jika ada teman yang memiliki buku bagus, saya berusaha meminjam darinya. Semakin antusias saya dalam membaca, semakin tercerahkan dan tergerakan saya untuk melakukan sesuatu. Kadang saya suka berdebat dengan orang tentang suatu permasalahan yang bersifat khilafiyah. Pada saat itu, ada perasaan negatif pada diri saya bahwa saya sudah tahu segalanya. Karena memang toh, bacaan orang dewasa sudah saya baca sejak SMP. Sehingga kalau ada teman SMP berdiskusi tentang permasalahan itu, saya anggap mereka belum mengerti dan paham. Ini mungkin suatu perangai yang tidak baik pada waktu itu. Tapi saya berusaha mengerti. Selain karena emosi orang seusia saya yang masih sangat labil dan juga antusiasme serta rasa ingin tahu saya yang meledak-ledak.

Buku-buku yang saya sukai adalah buku-buku yang mengajak saya untuk berpikir dan merenung, serta buku yang memberikan sentuhan kalbu. Saya tidak membatasinya dari buku-buku keagamaan, namun memang sangat mudah untuk menemukan sesuatu yang sangat saya sukai di buku-buku agama. Penulis-penulis yang saya sukai di antaranya adalah Syaikh Muhammad al-Ghazali dengan Al-Ghazali Menjawab 40 Permasalahan dan Perbarui Hidupmu, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dengan Fatwa-Fatwa Kontemporer-nya yang jumlahnya 3 jilid, Syaikh Mutawalli Sya’rawi dengan Baik dan Buruk dan Qadha dan Qadar-nya, Syaikh Sa’id Hawwa dengan Jalan Ruhani-nya, Harun Yahya dengan Deep Thinking-nya, Bobby De Porter dengan Quantum Learning-nya, Dr. Jefrey Lang dengan Bahkan Malaikat Bertanya, dan lain-lain.

Tampaknya, jika kita ingin tahu mengapa seorang penulis memiliki gaya menulis seperti itu, maka ia harus mengetahui buku-buku apa saja yang pernah di bacanya. Dalam dunia kepenulisan, hal ini dinamakan benchmarking. Tapi tentu saja tidak semua gaya kepenulisan penulis yang kita kagumi, kita jiplak 100 %. Maksud saya, jika kita menyukai gaya bahasa seorang penulis, dengan sendirinya gaya bahasa itu melekat pada diri kita, bukan di buat-buat seolah-olah kita bergaya seperti si fulan. Oleh karena itu, kita harus banyak membaca sebelum menulis agar kita dapat menemukan gaya penulisan yang tepat dan sesuai dengan gaya bahasa yang kita inginkan. Dan itu tentu saja membutuhkan waktu. Jalaluddin Rumi berkata dalam sebuah syairnya, “Biarkan keindahan yang kita miliki menjadi apa yang kita lakukan.”

Tidak semua orang menyukai gaya bahasa akademis-nya Yusuf al-Qaradhawi, misalnya. Tidak semua orang menyukai gaya bahasa meledak-ledaknya Muhammad al-Ghazali. Atau tidak semua orang menyukai gaya bahasa yang kalem namun ilmiah seperti Harun Yahya dan Mutawalli Sya’rawi. Masing-masing orang berbeda-beda dalam menilai penulis yang ia sukai. Karena jika kita seragam semuanya, tentu semuanya jadi monoton dan membosankan; tidak akan ada pemilahan fiksi dan non fiksi.

Menurut saya, seorang penulis itu harus sensitif dengan apa yang terjadi disekelilingnya. Entah kemudian ia menumpahkan gagasannya dengan gaya si A, B, atau C, itu terserah dia. Sensitifitas seorang penulis akan menghasilkan sebuah karya yang terasa ruhnya, terasa gejolaknya, mengalir bagai air, dan memberikan pencerahan dan penyegaran bagi para pembacanya.

Saya berusaha menulis sebaik mungkin. Saya sangat terkesan dengan jurnalistik sastra-nya majalah Tarbawi. Saya berusaha menggabungkan semua unsur-unsur istimewa itu dalam tulisan-tulisan saya. Tulisan-tulisan saya merupakan perpaduan dari: perasaan (emosi), fakta-fakta, dan hikmah yang saya tangkap dari fakta-fakta itu. Fakta-fakta memberikan kepercayaan kepada para pembaca bahwa apa yang saya katakan bukan hal mengada-ada, tapi memang ada atau nyata. Sedangkan emosi menjadikan sebuah tulisan menjadi lebih hidup dan enak di baca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar