Jumat, 23 Maret 2012

Akal dan Jiwa Antara Mukmin dan Atheis

"Dari mana saya berasal? Untuk apa saya ada di sini? Kemana saya akan kembali?" pertanyaan-pertanyaan itu saya ajukan kepada diri saya sendiri ketika langkah "kaki" saya sudah mulai melenceng dari jalur seharusnya. Terkesan sangat filosofis dan mendasar. Memang. Saya tidak begitu peduli dengan anggapan orang tentang diri saya, apakah seorang filosof? Pertanyaan itu sudah seharusnya menjadi renungan bagi segenap umat manusia. Bukan hanya saya saja.

Saya tidak merasa mendapat apa-apa dari semua kesalahan yang pernah saya lakukan di masa lalu. Akal saya tidak mendapatkan apa-apa, demikian juga hati saya. "Saya ingin mendapatkan pencerahan dan kebahagiaan!" demikian suatu kali saya berteriak dalam hati. Betapa kebutuhan akan ruhani semakin mendesak saya keluar dari kondisi sebelumnya. Manusia itu tidak hanya terdiri dari jasad (tanah), tetapi juga memiliki ruh. Jika jasad dihubungkan dengan tanah, justru ruh dihubungan dengan Allah. Ruh itulah yang menggerakkan jasad. Mengesampingkan ruh dalam kehidupan, membuat diri manusia menjadi kasar dan kerdil, tidak mengenal tujuan hidup dan tidak tahu kemana akan kembali.

Orang-orang Barat cenderung berpikir materialistik. Karena, agama sejak awal telah mereka lepaskan dalam kehidupan mereka. Orang seperti Nietszhe pernah berkata, "Got is gostarben!" Tuhan sudah mati. Sangat panjang kalau diceritakan penyebab munculnya materialisme di era modern. Tapi paham itu tidak muncul seketika, melainkan melalui proses yang panjang. Intinya, hal ini terjadi karena agama di Barat telah kehilangan kemurniannya, telah pudar semangatnya, dan tidak dapat memberikan solusi yang tepat bagi setiap perubahan zaman. Ilmuwan-ilmuwan seperti Rene Descartes, Isacc Newton, Galileo Galilei, Leonardo Da Vinci melarikan dirinya dari kungkungan gereja. Gereja saat itu tidak dapat memberikan kepuasan batin dan intelektual kepada mereka.

Setelah melihat agama mereka tidak dapat memberikan apa-apa lagi bagi hati dan akal, mereka berusaha melepas "atribut-atribut" agama pada diri mereka, ada yang melepas semuanya dan ada pula yang hanya sebagian. Namun hampir dipastikan bahwa paradigma berpikir materialistik sudah menjadi konsep keilmuan mereka. Sains yang mereka bangun tidak dapat membuktikan bahwa Tuhan ada atau tidak. Artinya, sains mereka bermula dari materi dan berakhir pada materi. Jika sains Islam bermula dari keimanan, justru sains Barat mengabaikan keimanan. Akhirnya keimanan dikorbankan untuk meraih kemajuan. Sedangkan dalam sains Islam, sebuah kemajuan berawal dari keimanan. Perbedaan ini terlihat sangat mendasar.

Acara-acara ritual seperti berdoa hanya ditemukan pada saat hari minggu di gereja atau saat penguburan mayat. Seorang ilmuwan ateis terkemuka, Richard Dawkins, pernah mengatakan ada tiga hal yang merupakan alasan buruk untuk mempercayai sesuatu: tradisi, otoritas, dan wahyu, yang biasanya diwariskan turun-temurun dan sulit diuji. Jebakan-jebakan ini, ujarnya, telah terbukti terlalu sering menyebabkan manusia kehilangan kemampuan berpikir kritisnya.

Pendapat Dawkins itu justru telah menyingkirkan potensi jiwa dalam diri manusia. Padahal potensi jiwa pada diri manusia sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan. Misalnya saja kita diperintahkan untuk mengingat Allah. Hal itu tidak lain berefek positif bagi kehidupan manusia, yaitu hadirnya ketentraman. Seluruh ibadah ruhani yang diperintahkan Allah kepada manusia, berakibat pada diri manusia sendiri, bukan untuk Allah. Kepekaan spiritual seperti ini membantu akal untuk menguak sesuatu lebih dalam lagi. Lagi pula kemampuan akal dalam melihat yang inderawi sangatlah terbatas. Jika memang di masa lalu dikatakan bahwa Pluto itu sebuah planet, namun kemudian pada saat ini, Pluto sudah tidak termasuk ke dalam sembilan planet yang selama ini kita kenal. Dengan kemampuan teleskop yang semakin meningkat, terlihat bahwa banyak objek lain yang mirip Pluto di kawasan ruang angkasa yang disebut Sabuk Kuiper. Akhirnya para astronom menyadari bahwa orbit Pluto amat berbeda dengan delapan planet lain di Tata Surya, karena Pluto memerlukan waktu 247 tahun untuk mengelilingi matahari.

Materialisme adalah sebuah paham yang menjadikan materi sebagai zat dasar alam semesta ini. Orang-orang yang sudah terjebak pada konsep ini, mau tidak mau harus menyingkirkan Tuhan dalam diskusi dan kajian-kajian keilmuan mereka. Ketika mereka ditanya sesudah mati akan kemana. Jawabannya, sesudah mati menjadi tanah. Itu saja. Manusia tidak dimintai pertanggungjawabannya tentang apa yang dilakukannya selama hidup.

Diskusi-diskusi mereka hanya bersifat kulit luar saja. Pengetahuan mereka tentang negeri akhirat dangkal, bahkan tidak punya sama sekali. Materialisme yang menjadi acuan mereka membawa manusia pada paham permisivisme atau sebuah paham serba boleh. Dan kemudian paham ini beranak pinak menjadi paham-paham lainnya, yang semuanya mengingkari wujud Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar