"Dari mana saya berasal? Untuk apa saya ada di sini? Kemana saya akan kembali?" pertanyaan-pertanyaan itu saya ajukan kepada diri saya sendiri ketika langkah "kaki" saya sudah mulai melenceng dari jalur seharusnya. Terkesan sangat filosofis dan mendasar. Memang. Saya tidak begitu peduli dengan anggapan orang tentang diri saya, apakah seorang filosof? Pertanyaan itu sudah seharusnya menjadi renungan bagi segenap umat manusia. Bukan hanya saya saja.
Saya tidak merasa mendapat apa-apa dari semua kesalahan yang pernah saya lakukan di masa lalu. Akal saya tidak mendapatkan apa-apa, demikian juga hati saya. "Saya ingin mendapatkan pencerahan dan kebahagiaan!" demikian suatu kali saya berteriak dalam hati. Betapa kebutuhan akan ruhani semakin mendesak saya keluar dari kondisi sebelumnya. Manusia itu tidak hanya terdiri dari jasad (tanah), tetapi juga memiliki ruh. Jika jasad dihubungkan dengan tanah, justru ruh dihubungan dengan Allah. Ruh itulah yang menggerakkan jasad. Mengesampingkan ruh dalam kehidupan, membuat diri manusia menjadi kasar dan kerdil, tidak mengenal tujuan hidup dan tidak tahu kemana akan kembali.
Orang-orang Barat cenderung berpikir materialistik. Karena, agama sejak awal telah mereka lepaskan dalam kehidupan mereka. Orang seperti Nietszhe pernah berkata, "Got is gostarben!" Tuhan sudah mati. Sangat panjang kalau diceritakan penyebab munculnya materialisme di era modern. Tapi paham itu tidak muncul seketika, melainkan melalui proses yang panjang. Intinya, hal ini terjadi karena agama di Barat telah kehilangan kemurniannya, telah pudar semangatnya, dan tidak dapat memberikan solusi yang tepat bagi setiap perubahan zaman. Ilmuwan-ilmuwan seperti Rene Descartes, Isacc Newton, Galileo Galilei, Leonardo Da Vinci melarikan dirinya dari kungkungan gereja. Gereja saat itu tidak dapat memberikan kepuasan batin dan intelektual kepada mereka.
Setelah melihat agama mereka tidak dapat memberikan apa-apa lagi bagi hati dan akal, mereka berusaha melepas "atribut-atribut" agama pada diri mereka, ada yang melepas semuanya dan ada pula yang hanya sebagian. Namun hampir dipastikan bahwa paradigma berpikir materialistik sudah menjadi konsep keilmuan mereka. Sains yang mereka bangun tidak dapat membuktikan bahwa Tuhan ada atau tidak. Artinya, sains mereka bermula dari materi dan berakhir pada materi. Jika sains Islam bermula dari keimanan, justru sains Barat mengabaikan keimanan. Akhirnya keimanan dikorbankan untuk meraih kemajuan. Sedangkan dalam sains Islam, sebuah kemajuan berawal dari keimanan. Perbedaan ini terlihat sangat mendasar.
Acara-acara ritual seperti berdoa hanya ditemukan pada saat hari minggu di gereja atau saat penguburan mayat. Seorang ilmuwan ateis terkemuka, Richard Dawkins, pernah mengatakan ada tiga hal yang merupakan alasan buruk untuk mempercayai sesuatu: tradisi, otoritas, dan wahyu, yang biasanya diwariskan turun-temurun dan sulit diuji. Jebakan-jebakan ini, ujarnya, telah terbukti terlalu sering menyebabkan manusia kehilangan kemampuan berpikir kritisnya.
Diskusi-diskusi mereka hanya bersifat kulit luar saja. Pengetahuan mereka tentang negeri akhirat dangkal, bahkan tidak punya sama sekali. Materialisme yang menjadi acuan mereka membawa manusia pada paham permisivisme atau sebuah paham serba boleh. Dan kemudian paham ini beranak pinak menjadi paham-paham lainnya, yang semuanya mengingkari wujud Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar