Kamis, 08 Maret 2012

Kesetiaan Istri Kepada Suaminya

Di antara yang mendatangkan kebahagiaan itu ialah wanita salehah yang jika kamu melihatnya maka akan membuatmu terkagum-kagum, dan jika kamu meninggalkannya berpergian maka dia akan menjamin keamanannya pada dirinya dan hartamu. Dan di antara yang mendatangkan penderitaan ialah wanita yang jika kamu melihatnya akan bersikap buruk padamu dan melontarkan kata-kata yang kasar kepadamu, dan jika kamu meninggalkannya pergi maka kamu tidak akan merasa aman pada dirinya dan hartamu.

Kesetiaan merupakan sifat wanita yang paling utama. Sebuah kisah menyebutkan, bahwasanya Asma’ binti 'Umais adalah isteri Ja’far bin Abi Thalib, lalu menjadi isteri Abu Bakar sepeninggalnya, kemudian setelah itu dinikahi oleh ‘Ali Ra.. Suatu kali kedua puteranya, Muhammad bin Ja’far dan Muhammad bin Abu Bakar saling membanggakan. Masing-masing mengatakan, “Aku lebih baik dibandingkan dirimu, ayahku lebih baik dibandingkan ayahmu.”

Mendengar hal itu, Ali berkata, “Putuskan perkara di antara keduanya, wahai Asma’.” Ia mengatakan, “Aku tidak melihat pemuda Arab yang lebih baik dibandingkan Ja’far dan aku tidak melihat pria tua yang lebih baik dibandingkan Abu Bakar.” ‘Ali mengatakan, “Engkau tidak menyisakan untuk kami sedikit pun. Seandainya engkau mengatakan selain yang engkau katakan, niscaya aku murka kepadamu.”

Asma’ berkata, “Dari ketiganya, engkaulah yang paling sedikit dari mereka untuk dipilih.” Abu Bakar Ra. berwasiat agar Asma’ binti ‘Umais Ra. memandikannya (saat kematiannya). Ia pun melakukannya, sedangkan ia dalam keadaan berpuasa. Lalu ia bertanya kepada kaum Muhajirin yang datang, “Aku berpuasa dan sekarang adalah hari yang sangat dingin, apakah aku wajib (harus) mandi?” Mereka menjawab, “Tidak.” Sebelumnya Abu Bakar Ra. menekankan kepadanya agar (ketika memandikannya) dia tidak dalam keadaan berpuasa, seraya mengatakan, “Itu membuatmu lebih kuat.” Kemudian ia teringat sumpah Abu Bakar pada akhir siang, maka ia meminta air lalu meminumnya seraya mengatakan, “Demi Allah, aku tidak ingin mengiringi sumpahnya pada hari ini dengan melanggarnya.”

Ketika kaum pendosa lagi fasik mengepung pemimpin yang berbakti, Utsman bin Affan Ra. dan mereka menyerangnya dengan pedang, maka isterinya (Na'ilah binti al-Furafishah) maju ke hadapan beliau sehingga menjadi pelindung baginya dari kematian. Para pembunuh yang bengis ini tidak menghiraukan kehormatan wanita ini dan mereka terus menebas Utsman dengan pedang, (namun sang isteri menangkisnya) dengan mengepalkan jari-jari tangannya, hingga jari-jarinya terlepas dari tangannya. Isterinya menggandengnya lalu terjatuh bersamanya, kemudian mereka membunuh ‘Utsman. Ketika Amirul Mukminin Mu’awiyah Ra. melamarnya, ia menolak seraya mengatakan, “Demi Allah, tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan kedudukan Utsman (sebagai suamiku) selamanya.”

Di antara tanda-tanda kesetiaan banyak wanita salehah kepada suami mereka setelah kematiannya bahwa mereka tidak menikah lagi. Tidak ada yang dituju melainkan agar tetap menjadi isteri mereka di dalam Surga. Dari Maimun bin Mihran, ia mengatakan: “Mu’awiyah bin Abi Sufyan Ra. meminang Ummu Darda, tetapi ia menolak menikah dengannya seraya mengatakan, ‘Aku mendengar Abu Darda mengatakan: ‘Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Wanita itu bersama suaminya yang terakhir,’ atau beliau mengatakan, ‘untuk suaminya yang terakhir’.”

Dari ‘Ikrimah bahwa Asma’ binti Abi Bakar menjadi isteri az-Zubair bin al-‘Awwam, dan dia keras terhadapnya. Lalu Asma’ datang kepada ayahnya untuk mengadukan hal itu kepadanya, maka dia mengatakan, “Wahai puteriku, bersabarlah! Sebab, jika wanita memiliki suami yang saleh, kemudian dia mati meninggalkannya, lalu ia tidak menikah sepeninggalnya, maka keduanya dikumpulkan di dalam Surga.”

Dari Jubair bin Nufair, dari Ummud Darda’ bahwa dia berkata kepada Abu Darda’, “Sesungguhnya engkau telah meminangku kepada kedua orang tuaku di dunia, lalu mereka menikahkanmu denganku. Dan sekarang, aku meminangmu kepada dirimu di akhirat.” Abu Darda’ mengatakan, “Kalau begitu, janganlah menikah sepeninggalku.” Ketika Mu’awiyah meminangnya, lalu ia menceritakan tentang apa yang telah terjadi, maka Mu’awiyah mengatakan, “Berpuasalah!”

Ketika Sulaiman bin ‘Abdil Malik keluar dan dia disertai Sulaiman bin al-Muhlib bin Abi Shafrah dari Damaskus untuk melancong, keduanya melewati sebuah pekuburan. Tiba-tiba terdapat seorang wanita sedang duduk di atas pemakaman dengan keadaan menangis. Lalu angin berhembus sehingga menyingkap cadar dari wajahnya, maka ia seolah-olah mendung yang tersingkap matahari. Maka kami berdiri dalam keadaan tercengang. Kami memandangnya, lalu Ibnul Muhlib berkata kepadanya, “Wahai wanita hamba Allah, apakah engkau mau menjadi isteri Amirul Mukminin?” Ia memandang keduanya, kemudian memandang kuburan, dan mengatakan: “Jangan engkau bertanya tentang keinginanku. Sebab keinginan itu pada orang yang dikuburkan ini, wahai pemuda. Sesungguhnya aku malu kepadanya sedangkan tanah ada di antara kita. Sebagaimana halnya aku malu kepadanya ketika dia melihatku.” Maka, kami pergi dalam keadaan tercengang.

Di antara teladan yang pantas disebutkan sebagai teladan utama dari para wanita tersebut adalah Fatimah binti ‘Abdil Malik bin Marwan. Fatimah binti Amirul Mukminin ‘Abdil Malik bin Marwan ini pada saat menikah, ayahnya memiliki kekuasaan yang sangat besar atas Syam, Irak, Hijaz, Yaman, Iran, Qafqasiya, Qarim dan wilayah di balik sungai hingga Bukhara dan Janwah bagian timur, juga Mesir, Sudan, Libya, Tunisia, Aljazair, Barat jauh, dan Spanyol bagian Barat. Fathimah ini bukan hanya puteri Khalifah Agung, bahkan dia juga saudara empat khalifah Islam terkemuka: al-Walid bin ‘Abdil Malik, Sulaiman bin ‘Abdil Malik, Yazid bin ‘Abdil Malik dan Hisyam bin ‘Abdil Malik. Lebih dari itu dia adalah isteri Khalifah terkemuka yang dikenal Islam setelah empat khalifah di awal Islam, yaitu Amirul Mukminin ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz. Puteri khalifah, dan khalifah adalah kakeknya, saudara khalifah, dan khalifah adalah suaminya.

Wanita mulia yang merupakan puteri khalifah dan saudara empat khalifah ini keluar dari rumah ayahnya menuju rumah suaminya pada hari dia diboyong kepadanya dengan membawa harta termahal yang dimiliki seorang wanita di muka bumi ini berupa perhiasan. Konon, di antara perhiasan ini adalah dua liontin Maria yang termasyhur dalam sejarah dan sering disenandungkan para penyair. Sepasang liontin ini saja setara dengan harta karun. Ketika suaminya, Amirul Mukminin, memerintahkannya agar membawa semua perhiasannya ke Baitul Mal, dia tidak menolak dan tidak membantahnya sedikit pun. Wanita agung ini ketika suaminya, Amirul Mukminin ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz wafat meninggalkannya tanpa meninggalkan sesuatu pun untuk diri dan anak-anaknya, kemudian pengurus Baitul Mal datang kepadanya dan mengatakan, “Perhiasanmu, wahai tuanku, masih tetap seperti sedia kala, dan aku menilainya sebagai amanat (titipan) untukmu serta aku memeliharanya untuk hari tersebut. Dan sekarang, aku datang meminta izin kepadamu untuk membawa (kembali) perhiasan tersebut (kepadamu).”

Fatimah memberi jawaban bahwa perhiasan tersebut telah dihibahkannya untuk Baitul Mal bagi kepentingan kaum muslimin, karena mentaati Amirul Mukminin. Kemudian dia mengatakan, “Apakah aku akan mentaatinya semasa hidupnya, dan aku mendurhakainya setelah kematiannya?”

Pelajaran berharga

Saudariku, demikianlah beberapa kisah teladan kesetiaan istri kepada suaminya. Mereka menerima suami mereka apa adanya, menuruti perintah suami selagi tidak untuk maksiat, dan tetap setia dengan suami mereka yang telah wafat. Meskipun sang suami telah wafat, mereka tetap mengingat nasehat-nasehat suaminya dan menjalankan nasehat-nasehat itu dengan penuh keikhlasan.

Bandingkanlah dengan wanita-wanita yang jauh dari nilai-nilai agama, mereka seringkali melawan perintah suaminya, membentak suaminya, melukai hati suaminya, mengkufuri pemberian suaminya. Ketika suami mereka melakukan satu kesalahan, seolah-olah seribu kesalahan telah diperbuat suaminya. Di mata si istri, tidak ada lagi kebaikan yang telah diberikan suaminya, padahal sang suami telah banyak memberi kebaikan kepadanya.

Saudariku yang sudah menikah, apakah engkau akan sama seperti wanita-wanita yang jauh dari agama? Apakah engkau akan sama seperti wanita-wanita yang lebih memperturutkan hawa nafsu? Semoga Allah memberi kita petunjuk agar kita menetapi jalan yang ditempuh wanita-wanita mukminah. Untuk saudariku yang belum menikah, semoga kisah-kisah di atas dapat dijadikan bekal bagi pernikahanmu kelak. Semoga engkau mendapat suami yang saleh, sebagaimana engkau damba-dambakan. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar