Apa yang membuat bahasa menjadi indah? Apa yang membuat tulisan menjadi enak dibaca dan berkesan dihati? Menurut saya, adalah ketulusan hati. Seorang penulis Barat terkenal, George Orwell, pernah mengatakan, bahwa musuh besar bahasa yang jernih adalah ketidaktulusan. Ketika ada jurang antara maksud sesungguhnya dan apa yang diungkapkannya, secara naluriah orang berpaling pada kata-kata panjang dan ungkapan lemah, bagaikan cumi-cumi yang menyemburkan tintanya.
Karena itulah, Imam Hasan al-Banna sangat mengagumi karya tulis Syaikh Muhammad al-Ghazali, yang tidak lain adalah muridnya sendiri. Karena Syaikh Muhammad al-Ghazali telah menulis dengan ketulusan hatinya. Imam al-Banna menyarankan kepada seluruh anggota jamaah Ikhwanul Muslimin agar menulis seperti Syaikh Muhammad al-Ghazali menulis. Dr. Yusuf al-Qaradhawi juga mengagumi tulisan Syaikh Muhammad al-Ghazali yang menurutnya memiliki keunikan dalam balaghah, susunan kalimat, dan kekuatan logika.
Saya sendiri mengagumi Syaikh Muhammad al-Ghazali dengan alasan yang sama dengan kedua tokoh itu. Saya sudah membaca setidaknya 5-6 buku beliau. Tulisan-tulisannya mengalir, enak dibaca, dan padat berisi. Saya merasa mendapatkan banyak pencerahan darinya. Jiwa saya merasa “terbakar” ketika selesai membacanya.
Salah satu karya terbaiknya, Kitab Fiqh Sirah, ditulis didepan makam Rasulullah Saw. di Madinah. Beliau selalu terkenang dengan perjuangan agung Rasulullah Saw.. Dan setiap mulai menggoreskan penanya, airmatanya jatuh membasahi pipi. Ketajaman akal dan ketulusan hatinya bersatu membentuk sebuah maha karya yang jernih. Bacalah kitab itu dengan akal dan mata hati, niscaya hatimu akan terenyuh, haru, sekaligus “terbakar”.
Suatu waktu, kala masih di dalam penjara karena menentang pemerintah diktator Mesir, al-Ghazali mendapat kabar bahwa adaseorang penulis terkenal menjelek-jelekkan Hasan al-Banna dan keluarganya. Dengan nada marah al-Ghazali berkata, “Demi Allah, kalau kita memiliki kebebasan berpendapat dan punya kesempatan menjawab tulisan itu, sungguh pena-pena kita yang masih muda ini akan menghancurkan pena-pena yang mabuk dalam kesesatan itu!”
Apa yang dikatakannya itu beliau buktikan sendiri. Karya-karyanya mengalir bersama kemarahan, semangat membara, perlawanan terhadap rezim, dan kecintaan yang mendalam kepada Islam dan umatnya. Beliau membantah buku Min Huna Nabda (dari sini kita mulai), yang merupakan karya Khalid Muhammad Khalid, dengan menulis buku Min Huna Na’lam (dari sini kita ketahui). Buku Min Huna Nabda karya Khalid Muhammad Khalid telah membuat kegembiraan luar biasa di kalangan musuh-musuh Islam, mulai dari yang komunis, salibis, anggota Freemasonry, sampai kaum sekuler. Namun, lewat bukunya yang gemilang, Syaikh Muhammad al-Ghazali berhasil memadamkan api kegembiraan itu dan membuat Khalid Muhammad Khalid akhirnya bertaubat atas buku yang ditulisnya itu.
Bila Musa telah datang
Lalu ia melemparkan tongkatnya
Maka hancurlah segala sihir dan pelakunya
Betapa banyak orang yang menulis kemudian tulisannya dilupakan karena ia tidak menulis dengan hati yang tulus. Ia hanya menulis berdasarkan akalnya saja, tanpa menghadirkan hati dan perasaan. Jadilah tulisannya hambar, hanya berisi data-data, yang sekalipun benar, namun membosankan dan memusingkan kepala.
Tulisan yang tulus bukan berarti tulisan tersebut susah dipahami. Namun sebaliknya, seorang penulis yang tulus mampu membuat hal yang rumit menjadi mudah dimengerti. Seorang penulis yang tulus lebih mementingkan perubahan lewat hati ketimbang perubahan lewat akal. Karena akal ini sering sekali mudah lupa. Namun apabila sudah melekat di hati, ia akan ingat selamanya. Betapa banyak tulisan yang mampu menyentuh hati seseorang kemudian membuat orang itu menangis, bertaubat, atau merasa terhibur atau merasa tergerakan.
Karya-karya besar ditulis oleh jiwa-jiwa besar, yang telah berjuang sepanjang hayatnya; mengendalikan hawa nafsu, melawan kebodohan, dan bersabar dalam meniti jalan Ilahi. Belajarlah dari bahasa al-Quran; mudah dipahami, pendek-pendek kalimatnya, padat berisi, menghentak, mengalir, dan memberikan solusi. Belajarlah pula dari penulis-penulis besar; bagaimana mereka menulis. Kitab Shahih Bukhari masih ada hingga kini karena penulisnya adalah sosok yang memiliki jiwa besar. Begitupun dengan penulis Kitab Ihya Ulumuddin, Shaidul Khatir, Madarijus Salikin, Majmu Fatawa, dan karya-karya besar lainnya. Buku-buku itu ditulis bukan oleh orang-orang pemalas, pelamun, apalagi suka berbuat maksiat. Buku-buku itu ditulis bersamaan dengan percikan-percikan ketakwaan yang ada dalam diri. Seperti firman Allah yang mengatakan, وَاتَّقُوا اللهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللهُ “Bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarimu.” (QS. Al-Baqarah: 282) Atau seperti bunyi al-Quran surat al-Ankabut ayat 69,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar