Jumat, 23 Maret 2012

Semakin Berisi, Semakin Rendah Hati

Beberapa saat saya merenung. Merenung tentang amal yang telah saya lakukan. Yaitu amal saleh dan amal keburukan. Saya tidak tahu amal manakah yang berat timbangannya dihadapan Allah. Tapi saya merasa, amal keburukan saya lebih berat ketimbang amal saleh saya.

Saya telah menulis banyak hal. Saya sangat takut kalau apa yang saya katakan mengundang kebencian Allah, meskipun apa yang saya katakan adalah perkataan yang baik. Kebencian Allah di sini adalah, apa yang saya katakan tidak sesuai dengan apa yang saya perbuat. Apabila Allah sudah benci kepada hamba-Nya, maka hamba tersebut tidak akan mendapatkan apapun dari-Nya selain kehinaan. Seluruh kejayaan tertutup, kesuksesan tertutup, kebahagiaan tertutup, kemuliaan tertutup. Karena, kepada siapa lagi kita mengharapkan semua itu kecuali kepada Allah? Apakah jika kita berbuat keburukan kemudian Allah menghukum kita, adalah suatu hal yang tidak wajar?

Saya sering membaca kisah-kisah ulama dan orang-orang saleh. Saya begitu takjub dengan mereka. Bagaimana ibadah, ilmu, keimanan, jihad, dan pengorbanan mereka begitu besar, namun mereka tetap rendah hati (tawadhu) dan tidak ingin menjadi populer. Suatu ketika asy-Syibli dan Sufyan ats-Tsauri berpapasan dengan seekor harimau. Sufyan mengatakan, “Bagaimana ini, harimau tersebut menghalangi jalan kita?” Kemudian asy-Syibli maju mendekati singa tersebut, dan singa tersebut seolah tunduk patuh kepadanya dan kemudian menyingkir dari hadapannya. Mengetahui hal itu, Sufyan mengkritiknya bahwa cara tersebut bisa membuatnya terkenal. Namun asy-Syibli mengatakan tidak demikian adanya. Jika dia ingin terkenal, dia bisa menunggangi harimau tersebut sampai ke Makkah. Begitulah orang-orang saleh, semakin “berisi” semakin rendah hati.

Jika orang-orang saleh itu mendapat surga, itu bukan suatu hal yang aneh. Jika mereka populer, itu juga bukan suatu hal yang aneh. Allah-lah yang membuat mereka populer dihadapan makhluk-makhluk-Nya. Jika mereka mau, mereka bisa menunjukkan kehebatan mereka di tengah-tengah masyarakat. Jika mereka berdoa, Allah mengabulkan doa mereka, namun mereka tidak lantas mengatakan, misalnya, “hujan ini turun karena doaku.” Atau mereka melakukan suatu hal yang ajaib, mereka tetap saja rendah hati. Mereka tidak ingin dikultuskan sebagaimana Nabi Isa dikultuskan oleh orang-orang Nasrani, atau sebagaimana rahib-rahib Yahudi dikultuskan oleh orang-orang Yahudi. Mereka berjalan dimuka bumi adalah hamba-hamba Allah, sama seperti yang lainnya.

Umar bin Khaththab pernah melihat-lihat keadaan rakyatnya. Dia menemukan seorang ibu dengan anak-anaknya yang kelaparan. Lantas Umar berkata kepada ibu itu mengapa tidak melapor kepada Umar, kemudian ibu itu mengkritik Umar dengan pedas. Ibu itu tidak tahu kalau yang dihadapannya itu Umar. Apakah lantas, ketika mendengar kritikan itu, Umar langsung berkata, “Wahai ibu, saya ini Umar, apakah engkau tidak takut jika saya hukum karena telah mengatakan perkataan itu?” Tidak! Umar tidak mengatakannya. Yang terjadi adalah, Umar pergi ke Baitul Mal sambil menangisi keadaannya yang telah menzalimi rakyatnya. Umar sendiri jua yang memanggul sekarung makanan untuk ibu tersebut dan mengatakan bahwa makanan tersebut dari Khalifah Umar. Di sini, Umar menunjukkan keikhlasannya. Begitulah yang terjadi pada salah satu generasi “umat terbaik” (khairu ummah) yang memang telah ditakdirkan diberikan gelar itu kepada umat Islam.

Ibnu Malikah berkata, “Aku mendapati tiga puluh sahabat Nabi Saw. yang semuanya khawatir dirinya dihinggapi penyakit nifak (munafik).” Menurut Ibnu Hajar Asqalani, tiga puluh sahabat yang dimaksud Ibnu Abi Malikah, di antaranya yang paling mulia ialah Aisyah, Asma, Ummu Salamah, Abdullah yang empat (Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin Amr), Abu Hurairah, Uqbah bin al-Harits, al-Manshur bin Makhzamah, mereka ini adalah para sahabat yang meriwayatkan hadits kepada Ibnu Abi Malikah. Dia pun pernah bertemu dengan sahabat mulia lainnya, seperti Ali bin Abi Thalib dan Sa’ad bin Abi Waqash.

Menurut Ibnu Hajar, hal tersebut dikarenakan seorang mukmin ketika beramal terkadang niatnya dikotori oleh hal yang bertentangan dengan keikhlasan. Namun, bukan berarti kekhawatiran mereka itu menunjukkan bahwa mereka benar-benar dihinggapi penyakit nifak. Justru, kekhawatiran mereka itu bisa dianggap sebagai mubalaghah (hal yang dilebihkan) dari sifat wara’ dan takwa yang mereka miliki.

Al-Ma’la bin Ziyad berkata, “Aku mendengar al-Hasan bersumpah di masjid ini, ‘Demi Allah yang tidak ada Rabb selain Dia, tidaklah seorang mukmin terus-menerus dalam keimanannya, kecuali dia merasa takut dari sifat nifak, dan tidaklah seorang munafik terus-menerus dalam kemunafikannya, kecuali dia merasa aman dalam kemunafikannya itu.” Perkataan yang hampir serupa juga dikatakan oleh orang-orang saleh lainnya.

Jubair bin Nufair mendengar Abu Darda Ra. – ketika ia sedang berada di akhir shalatnya setelah membaca doa tasyahud – ia berlindung kepada Allah dari sifat nifak, dan ia memperbanyak memohon perlindungan kepada Allah dan berusaha menjauh dari sifat tersebut.

Setelah Abu Darda menyelesaikan shalatnya, Jubair bertanya kepadanya, “Memangnya ada apa antara engkau dengan nifak?” Abu Darda menjawab, “Biarkanlah aku. Demi Allah, sesungguhnya seseorang bisa saja berubah agamanya pada satu waktu, kemudian ia melepas agamanya itu.”

Al-A’masy meriwayatkan bahwa ia pernah bersama Ibrahim yang sedang membaca al-Quran. Tiba-tiba seseorang meminta izinnya, kemudian ia menutup mushafnya dan berkata, “Tidakkah ia melihat bahwa aku membaca al-Quran di sini setiap waktu.” Abu Sulaiman ad-Darani pernah berkata sambil memukul badannya, “Ikhlaslah, berusahalah untuk ikhlas.”

Muhammad bin Wasi’ berkata, “Aku pernah bertemu dengan seseorang yang jika tidur, ia tidur sebantal dengan istrinya. Bantal itu basah oleh airmata, namun istrinya tidak merasakannya. Aku pernah bertemu dengan seseorang yang berdiri di antara shaf, pipinya basah dengan airmata, namun orang yang di sampingnya tidak mengetahuinya.”

Hamad bin Zaid berkata, Ayub pernah berada di sebuah majelis, tiba-tiba bercucuranlah airmatanya sehingga hidungnya berlendir, dan ia berkata, “Alangkah beratnya penyakit ini.” Padahal ia menangis bukan karena sakit, tapi karena telah mendengar nasehat yang menyentuh hatinya.

Segala puji bagi Allah yang telah mengenalkan mereka kepada kita. Sesungguhnya mereka ibarat pelita di malam hari. Mereka hanya ingin beramal semurni-murninya karena Allah. Karena apabila tidak murni, maka Allah tidak akan menerima amal itu, dan sia-sialah apa yang mereka lakukan itu. Imam Sufyan ats-Tsauri mengatakan bahwa amalnya yang sesungguhnya adalah amal yang tidak terlihat oleh manusia. Bagaimana dengan kita? Apakah kita merasa jika kita melakukan amal – meskipun sedikit – tapi kita sudah menganggapnya banyak? Lantas kita merasa bahwa kita paling suci, paling baik, layak masuk surga, dan terhindar dari azab-Nya? Berkaca dari perjalanan hidup orang-orang saleh, nyatanya amal kita tidak seberapa, sementara mereka tetap menangisi dosa-dosanya. Meskipun Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Abu Ubaidah, Zubair, Sa’ad bin Zaid, Sa’ad bin Abi Waqash, dan Abdurrahman bin Auf adalah sepuluh orang yang dijamin masuk surga, namun ibadah, jihad, pengorbanan, dan keimanannya tidak tertandingi oleh siapapun sesudahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar