“Sesungguhnya yang paling kutakutkan dari apa yang kutakutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah syirik kecil itu?” Beliau menjawab, “Riya.” Allah Azza wa Jalla berfirman kepada mereka pada Hari Kiamat, tatkala memberikan balasan amal-amal manusia, “Pergilah kepada orang-orang yang kalian berbuat riya di dunia, apakah kalian mendapatkan kebaikan di sisi mereka?”
Sahabatku, sebagian dari kita mungkin merasa cukup dengan sekedar menjalankan ibadah wajib kemudian ingin disebut sebagai orang yang saleh. Jika kita bercermin kepada ulama-ulama saleh, dari dulu hingga sekarang, maka akan kita temui betapa mereka tidak hanya mencukupkan diri dengan ibadah-ibadah yang wajib, namun mereka tidak pernah ingin disebut orang saleh. Sebenarnya, menjalankan ibadah-ibadah wajib itu sudah cukup, hanya saja, jangan sampai ibadah itu justru ternoda oleh ketidakikhlasan kita dalam mengerjakannya.
Sebagian kita juga merasa bahwa diri sudah berilmu sehingga merasa pantas disebut orang alim. Rasa ingin disebut orang alim itulah, yang mengubur amaliah mereka. Hadits Nabi Saw. menyebutkan, bahwa orang-orang yang menuntut ilmu hanya karena ingin dipuji, terkenal, dan hebat, maka tempat kembalinya adalah neraka. Bukan main ancaman Nabi itu. Tentu bagi orang-orang yang sadar, ancaman itu bukan sekadar ancaman, tetapi ancaman yang keluar langsung dari lisan utusan Allah yang telah melihat isi surga dan neraka.
Orang yang lebih parah lagi adalah orang yang tidak berilmu tetapi mengaku-ngaku sebagai orang yang berilmu. Dosanya dua kali lipat. Menurut Imam Hasan al-Bashri, orang yang tidak berilmu lebih banyak merusak ketimbang memperbaiki. Sedangkan pengakuan bahwa dirinya berilmu adalah karakter kedustaan dan kesombongannya. Dari penuturan Imam Hasan al-Bashri, kita dapat menarik kesimpulan bahwa jelas sekali ada perbedaan yang nyata antara orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu atau mengaku-ngaku berilmu padahal tidak berilmu. Orang yang pertama, di manapun dia berada, akan selalu memperbaiki diri dan sekelilingnya. Sedangkan orang yang kedua, di manapun dia berada, mudharatnya jauh lebih besar daripada manfaatnya, dan keinginannya berbuat kerusakan jauh lebih besar daripada berbuat kebaikan. Itulah mengapa Rasulullah mewajibkan umatnya menuntut ilmu.
Banyak sekali orang-orang yang mengaku-ngaku A, B, C, D, tetapi kenyataannya tidak sesuai dengan pengakuannya itu. Kalau memang benar pengakuannya, lantas untuk apa? Apakah hanya ingin sekedar mendapat pujian? Kalau ternyata salah, tipe orang ini lebih parah daripada tipe orang pertama. Tipe orang kedua berbahaya karena bisa jadi pengakuannya itu menunjukkan ada kedustaan yang jauh lebih besar yang masih dia simpan.
Orang yang beramal karena ingin dipuji, menampakkan kebaikan. Pada lahirnya, dia adalah orang yang taat. Dia beranggapan bahwa dia beramal karena Allah Swt., sementara nafsu telah menyembunyikan syahwat. Untuk tujuan itu, dia bersolek dan berpura-pura di hadapan para hamba Allah yang lain dengan menampakkan ketaatan. Menurut Wahb bin Munabih, riya yang paling jelas adalah berbohong dan yang paling samar adalah tipu daya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dalam sebuah hadits bahwa ada tiga kelompok orang, yaitu yang terbunuh di dalam jalan Allah, yang bersedekah dengan hartanya, dan yang membaca kitab Allah Swt.. Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi berfirman kepada masing-masing di antara mereka, “Kamu bohong! Kamu tidak berbuat itu karena Aku, melainkan ingin dikatakan, ‘Si anu adalah orang yang berilmu’. Kepada yang lain, Dia berfirman, ‘Kamu tidak berbuat itu karena Aku, melainkan ingin dikatakan, ‘Si anu adalah orang yang pemberani’. Dan kepada yang ketiga, Dia berfirman, ‘Kamu tidak berbuat itu karena Aku, melainkan ingin dikatakan, ‘Si anu adalah orang yang dermawan’. Menurut sebuah riwayat, Nabi Saw. bersabda, “Mereka itulah tiga kelompok pertama yang akan masuk ke dalam neraka.”
Di antara tanda yang bisa menunjukkan kita tentang riya adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi Saw. bahwasanya pernah seorang laki-laki bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, dalam hal apa letaknya keselamatan?” Beliau menjawab, “Janganlah kamu mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah dengan tujuan karena ingin dipuji manusia.” Laki-laki itu menanyakan tentang keselamatannya dalam amalnya, maka Rasulullah Saw. mengabarkannya bahwa keselamatan terdapat di dalam meninggalkan riya.
Abu Darda Ra. berkata, “Sesungguhnya di antara tanda kefakihan seorang hamba adalah dia mengetahui godaan-godaan setan.”
Yakni, kapan dan dari mana datangnya godaan-godaan itu. Benar sekali apa yang dikatakan oleh beliau itu. Seorang hamba mengerti bahwasanya Allah Swt. tidak akan menerima amal kecuali yang murni dan bersih yang bertujuan hanya untuk mendapatkan keridhoan-Nya, bukan pujian makhluk. Dan, bahwasanya nafsu dan setan senantiasa menggodanya kepada suatu hal yang bisa membatalkan amalnya, pasti dia akan waspada dan mencari tahu dengan ilmu – ketika godaan itu datang kepadanya, lalu dia pun mengetahuinya, apakah dari sisi riya atau dari yang lainnya.
Imam Hasan al-Bashri berkata, “Seorang hamba akan senantiasa baik, selama dia mengetahui apa yang akan merusak amalnya.”
Jadi, sudah barang tentu seorang hamba harus mengetahui apa yang diperintahkan kepadanya agar bisa menjaganya dari riya. Karena, seperti yang dituturkan dalam sebuah hadits, riya itu lebih halus daripada rayapan semut.
Cara Mengatasi Riya
a. Menurut Imam Harits al-Muhasibi
Imam Harits al-Muhasibi memberikan satu cara agar kita mampu terhindar dari penyakit riya. Beliau menyarankan agar kita memikirkan sulitnya hari kiamat dan memikirkan kebutuhan kita pada perbuatan baik yang bersih, tentu dia takut ketika hari kiamat datang kalau ilmu, shalat, puasa, kekhusyuan, jihad kita di jalan Allah tidak kita lakukan dengan ikhlas sehingga semua itu akan terhapus. Yang akibatnya, kebaikan kita menjadi lebih sedikit daripada keburukan kita. Seandainya kita telah melaksanakan amal dengan ikhlas, tentu kebaikan kita akan melebihi kejelekan sehingga dengannya kita dapat masuk surga.
Tatkala amal kita terhapus, kejelekan menjadi lebih banyak, dan kebaikan kita makin sedikit, maka kita tidak perlu bertanya tentang kesedihan kita. Orang yang berakal tentunya akan takut bila hal itu terjadi. Dia kuasai akalnya agar terhindar dari riya dan berpura-pura kepada hamba-hamba Allah Swt. dan hanya menginginkan ridho dari Allah yang teramat banyak pujian untuk-Nya saja, tidak dari yang lainnya.
b. Menurut Imam Harits bin Qais al-Ja’fi
Sementara itu, Harits bin Qais al-Ja’fi menyarankan: Jika engkau ingin melakukan kebaikan, janganlah engkau menundanya. Jika engkau di datangi syetan saat engkau sedang shalat, lalu setan membisikkan bahwa engkau sedang melakukan shalat karena riya, tambahkanlah shalatmu lebih lama lagi.
Saya merasakan bahwa hal itu sering terjadi pada diri saya. Ketika ada orang melihat saya sedang beribadah, setan membisiki riya kepada saya, sehingga saya pun merasa riya. Bagaimana denganmu, apakah hal serupa pernah terjadi pada dirimu?
Dari perkataan Harits ini, saya memperoleh pelajaran berharga, jika kita ingin mengusir riya dalam hati, bukan dengan jalan menghindar atau mengurangi ibadah yang akan kita lakukan, tapi justru harus menambahnya lagi. Misalnya, jika kita berdzikir satu jam lamanya, tambah satu jam lagi! Sesungguhnya dengan cara seperti itu, kita telah mengumandangkan perlawanan terhadap agresi setan pada diri kita. Dan dengan pertolongan Allah, setan akan kalah. Dengan sendirinya, penyakit riya itu hilang pada diri kita.
Sahabatku, ini merupakan pelajaran berharga bagi kita, agar kita jangan terpengaruh oleh bisikan setan. Kita harus meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah kita dengan maksimal. Kita sudah tahu riya itu adalah syirik kecil (syirkul ashghar), sehingga kita menolaknya berada dalam hati kita. Kita memiliki adab yang baik entah di hadapan orang atau tidak. Kita tidak peduli apa kata orang dengan penampilan kita yang rapi dan bersih. Yang kita lakukan adalah upaya untuk mematuhi perintah Allah, bukan untuk pamer ke orang-orang. Ketika kita shalat, kita berdiri layaknya sebatang pohon yang kokoh, penuh kekhusyuan. Kita juga tidak peduli apa kata orang tentang diri kita. Kita hanya memikirkan ridha Allah semata. Kita bertekad beribadah dengan ikhlas karena Allah. Itu saja.
Demi jiwaku yang ada ditangan-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuat dan Mahagagah sehingga ia dapat mengalahkan pengaruh setan pada hati kita dan kemudian menggantinya dengan cahaya dari-Nya. Allah akan menyirami hati yang semula kering dan gersang menjadi subur dan sejuk. Demikianlah jalan yang harus kita tempuh agar kita memperoleh keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar