Sabtu, 10 Maret 2012

Saintisme VS Sains dan Agama


Beberapa hari yang lalu saya dan adik-adik binaan saya, yang masih duduk di bangku SMU, mengadakan sebuah diskusi yang membahas Al-Qur'an surat An Nahl ayat 68-69. Di dalam kedua ayat tersebut berbicara tentang karakteristik umum lebah madu (honeybee). Setidaknya ada lima hal yang kami dapatkan dalam diskusi singkat itu:

Pertama, lebah madu membangun sarangnya dengan sangat cermat, efisien dan efektif. Sarangnya berbentuk heksagonal (segi enam) dan dengan lahan baku propolis. Kita layak bertanya, mengapa harus heksagonal? Bukan segitiga atau segi empat atau yang lain misalnya? Hal ini menjadi pertanyaan serius yang kemudian hari diteliti dan dijawab oleh sejumlah ilmuwan. Ahli matematika memberikan alasannya: "struktur segi enam adalah bentuk geometris yang paling cocok untuk memanfaatkan setiap area unit secara maksimum". Jika sel-sel sarang madu dibangun dengan bentuk lain, akan terdapat area yang tidak terpakai, sehingga lebih sedikit madu yang bisa disimpan dan lebih sedikit lebah yang mendapatkan manfaatnya.

Banyak inspirasi yang keluar dari sana (heksagon). Salah satu orang yang meneliti segi enam ini adalah George Saa, putra Indonesia yang masih duduk di bangku SMU, yang menulis paper Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Networks of Identical Resistor. Saa menghitung hambatan antara dua titik dari suatu rangkaian resistor tak berhingga yang membentuk segitiga dan heksagon. Berkat hasil penelitiannya inilah Saa berhasil menyabet medali emas Nobel Fisika yunior tingkat Internasional.

وَأَوْحَى رَبُّكِ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ
"Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: `Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia'." (An Nahl: 68).

Kedua, lebah madu tidak mungkin membangun sarangnya seorang diri, dia harus dibantu dengan yang lain. Artinya, untuk membangun sarang lebah yang dapat memuat 80.000 lebah diperlukan kerja kolektif. Lebah mencontohkan persaudaraan dan kerjasamanya yang efektif kepada kita semua.

Ketiga, lebah hanya memakan makanan yang halalan thayyiba, yaitu nektar dan serbuksari bunga. Sehingga tidak heran yang dihasilkannya pun akan baik atau bahkan sangat baik, yaitu madu (keempat). Dari berbagai hasil penelitian madu tersusun atas beberapa senyawa gula seperti glukosa dan fruktosa serta sejumlah mineral seperti magnesium, kalium, kalsium, natrium, klor, belerang, besi, dan fosfat. Madu juga mengandung vitamin B1, B2, C, B6 dan B3 yang komposisinya berubah-ubah sesuai dengan kualitas nektar dan serbuk sari. Di samping itu, dalam madu terdapat pula sejumlah kecil tembaga, yodium, dan seng, serta beberapa jenis hormon. Kandungan-kandungan itu berfungsi sebagai "obat untuk manusia". "…di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia." (An Nahl: 69). Pada kesempatan yang lain, hasil penelitian juga menyebutkan bahwa madu itu beragam jenis dan warnanya. "…Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya…" (An Nahl: 69).

Kelima, lebah madu bergerak berdasarkan perintah Allah. Sebagaimana firman-Nya: "Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah.." Artinya untuk dapat memberikan manfaat, hidup secara positif, dan menghasilkan hal-hal yang berkualitas, semua itu tidak bukan kecuali bersumber dari kekuatan Allah yang menguasai dan menciptakan alam semesta ini.
Setelah menjelaskan tentang lebah madu, ayat itu diakhiri dengan, "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan."

Ilmuwan-ilmuwan yang sombong dan bingung
Para ilmuwan Barat khususnya sekalipun ateis merasa "takjub dan hormat" dengan fenomena-fenomena seperti itu. Tapi jelas, rasa takjub dan hormat itu tidak pernah keluar dari gelanggang materialisme. Hal ini tak ada bedanya dengan Abu Jahal atau Abu Lahab, dua tokoh Quraisy yang disegani, yang merasa kagum dan takjub dengan ayat-ayat Al Quran yang didengarnya. Namun, karena kesombongannya, mereka tetap saja menolak menjadikan Muhammad sebagai Nabi dan Allah sebagai Tuhan yang Esa. Nabi Muhammad pernah menerangkan definisi kesombongan kepada kita, dalam sebuah haditsnya: "menolak kebenaran dan memandang remeh orang lain."

Para ilmuwan itu, sekalipun mereka melihat bukti-bukti nyata yang menggugurkan argumen-argumen mereka, tetapi tetap saja mereka menolaknya; "Segala bentuk justifikasi yang menyeret kita pada bentuk selain materialisme kita tolak!" Terbayang-bayang dalam benak mereka bagaimana agama digunakan untuk menindas banyak ilmuwan seperti Galileo Galilei, Copernicus, dan orang-orang kritis yang sezaman. Alfred Tang dalam artikelnya yang berjudul Science & Theology: An Integrative Approach, 2003, berkata: "Para astronom pada zaman sekarang sering menggunakan penganiayaan pada Galileo dan Copernicus sebagai contoh menakutkan tentang gereja sebagai tokoh jahat yang merintangi kemajuan ilmiah."

Bayangan-bayangan ini membuat mereka trauma. Saya akan berkata kepada mereka: Jangan samakan semua agama (pluralisme). Di dalam Islam adakah tragedi semacam itu? Apakah agama Kristen mengajarkan kekerasan? Itu diluar watak aslinya yang cinta damai. Para Pendeta dan pastur sering terjebak pada kekerasan kemudian pandangan para ilmuwan merembet pada institusi yang bernamakan "agama". Lalu jadilah agama, yang menurut mereka, sebagai penyebabnya! Ya, semua agama bagi mereka sama saja!

Pernyataan ahli biologi evolusionis terkenal dari Jerman, Hoimar Von Dithfurt, merupakan contoh nyata pemahaman materialis yang fanatik. Setelah mengutarakan contoh susunan kehidupan yang sangat kompleks, selanjutnya ia mengungkapkan kemungkinan kehidupan muncul secara kebetulan, padahal sudah terbukti bahwa alam ini tidak tercipta secara kebetulan: "Mungkinkah keserasian seperti itu terjadi secara kebetulan? Inilah pertanyaan mendasar dari keseluruhan evolusi biologis. Menjawabnya dengan "Ya, mungkin" berarti membuktikan kesetiaan pada ilmu alam modern. Secara kritis dapat dikatakan, mereka yang menerima ilmu alam modern tidak punya pilihan selain mengatakan "ya", karena dengan ini dia akan dapat menjelaskan fenomena alam melalui cara-cara yang mudah dipahami dan merujuk pada hukum-hukum alam tanpa menyertakan campur tangan metafisis. Bagaimanapun, menjelaskan segala sesuatu dengan hukum alam, yakni konsep kebetulan, merupakan pertanda bahwa tidak ada lagi jalan baginya. Karena, apa yang dapat dilakukannya selain mempercayai konsep kebetulan?" (Hoimar Von Dithfurt, Im Anfang War Der Wasserstoff (Secret Night of the Dinosaurs), Vol 2, p. 64 Sebagaimana dikutip www.harunyahya.com).

Sekalipun banyak fakta yang menentang "teori kebetulan ini". Namun anehnya, sekalipun teori-teori itu tidak ilmiah masih saja tetap dipertahankan hingga sekarang. Bagaikan hipotesis ptolomeus yang mendekati kehancurannya: setiap kali timbul kesulitan, lingkaran lain ditambahkan untuk menyelamatkan teori itu.

Bukan karena tidak ilmiah
Seorang pakar astrobiologi Inggris, Prof. Chandra Wickramasinghe berkata tentang hal ini: "Sejak masa pendidikan untuk menjadi seorang ilmuwan, otak saya benar-benar dicuci agar percaya bahwa ilmu pengetahuan tidak sesuai dengan penciptaan yang 'disengaja'. Pemikiran tentang penciptaan ini harus disingkirkan dengan cara yang menyakitkan. Pada saat ini, saya tidak dapat menemukan argumentasi rasional untuk mengalahkan ajakan mempercayai Tuhan. Kami biasanya memiliki pikiran terbuka; dan sekarang, kami sadar bahwa satu-satunya jawaban logis atas kehidupan ini adalah penciptaan-bukan proses acak dan kebetulan." (Chandra Wickramasinghe, wawancara dalam London Daily Express, 14 Agustus 1981 Sebagaimana dikutip www.harunyahya.com)

Ahli genetika terkenal dari Universitas Harvard, Richard C. Lewontin, mengakui bahwa dia "materialis dulu baru ilmuwan" dengan kata-kata berikut: "Bukan metode dan penemuan-penemuan ilmiah yang mendorong kami menerima penjelasan material tentang dunia yang fenomenal ini. Sebaliknya, kami dipaksa oleh keyakinan apriori kami terhadap prinsip-prinsip material untuk menciptakan perangkat penyelidikan dan serangkaian konsep yang menghasilkan penjelasan material, betapa pun bertentangan dengan intuisi, atau membingungkan orang-orang yang tidak berpengetahuan. Lagi-pula, materialisme itu absolut, jadi kami tidak bisa membiarkan Kaki Tuhan masuk." (Richard C. Lewontin, The Demon-Haunted World, The New York Review of Books - 9 januari 1997, p. 28 Sebagaimana dikutip www.harunyahya.com).

Ali Demirsoy salah seorang ahli biologi evolusionis ternama dari Turki berikut ini merupakan contoh nyata untuk melihat tujuan dari penilaian menyimpang akibat keyakinan buta ini. Ilmuwan ini membahas probabilitas pembentukan secara kebetulan sitokrom-C, salah satu enzim terpenting bagi kehidupan: Probabilitas pembentukan rangkaian sitokrom-C mendekati nol. Jadi, jika kehidupan memerlukan sebuah rangkaian tertentu, maka dapat dikatakan bahwa ia memiliki probabilitas untuk terwujud hanya satu kali di seluruh alam semesta. Jika tidak, kekuatan-kekuatan metafisis di luar definisi kita mestilah telah berperan dalam pembentukan tersebut. Menerima pernyataan terakhir ini tidak sesuai dengan tujuan-tujuan ilmu pengetahuan, karenanya kita harus mengkaji hipotesis pertama. (Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Vererbung und Evolution), Ankara: Meteksan Publishing Co., 1984, S. 61 Sebagaimana dikutip www.harunyahya.com).

Penyebab kemunduran sains
Ibnu Taimiyah dalam bukunya Ar Raddu Alal Manthiqiyyun mengatakan bahwa salah satu penyebab kemunduran keilmuwan rasional dalam Islam adalah, ketika para ilmuwan muslim tidak lagi kritis dan tidak mau lagi menguji hipotesis-hipotesis lama. Mereka menerima begitu saja (taqlid) dan menganggap pemikiran guru-guru mereka sudah final dan sempurna. Dalam buku-buku mereka hanya tertulis kutipan-kutipan (manqul) guru-guru mereka. Dapat kita simak contoh-contohnya sebagai berikut: "Kedua filosof ini (Aristoteles dan Plato) adalah pencipta filsafat, asal-usulnya, sekaligus penyempurnanya. Mereka juga terpercaya sedikit dan banyaknya filsafat." (Al Farabi). "Tiada Aristoteles sejak zaman dahulu melainkan keputusan dan penelitian yang dikemukakannya tidak lagi memerlukan tambahan sedikitpun." (Ibnu Sina).

Jika saja kritisme terus kita pelihara untuk mengawal dunia sains yang tentativ, saya yakin kita akan terus menerus mendapatkan pencerahan dari zaman ke zaman, dari sebuah revolusi ke revolusi yang lain. Pertanyaan selanjutnya, adakah hal ini terjadi pada pandangan dunia-ilmiah pada saat ini? Saya tidak berhak menjawab "ada" atau "tidak ada", karena pertanyaan itu sulit saya jawab. Tapi setidaknya saya dapat merasakan kekosongan dunia saat ini oleh "sains murni". Saya melihatnya dari sudut pandang pemikiran posmodernisme. Saya tidak akan membahas panjang lebar tentang apa itu "posmodernisme", karena saya tahu teman-teman sudah banyak yang tahu. Pada intinya objek dari posmodernisme adalah "masyarakat". Posmodernisme menganggap telah terjadi ketidakadilan di tengah masyarakat ilmiah.

Sekalipun secara alamiah saya kontra terhadap teori evolusi, tapi saya terkesan dengan sikap Michael Ruse Profesor Guelph University – anjing buldognya darwinisme – yang menempatkan penjajahan atas teologi oleh biologi ini dalam perspektifnya ketika dia menuduh rekan darwinis lain bertingkah laku seakan-akan darwinisme sebuah agama. Rustum Roy, seorang ilmuwan di Pennsylvania State University melangkah lebih jauh. Setengah guyon, dia mengancam akan memperkarakan National Science Foundation karena sudah melanggar ketentuan pemisahan antara agama dan negara, sebab membiayai riset pada bidang-bidang ilmiah yang kemudian menjadi agama. Jika mereka benar dan darwinisme makin doktriner, kita mempunyai tontonan menarik, karena yang dijajah kini bukan hanya teologi melainkan juga biologi. (Lihat Huston Smith, Ajal Agama di Tengah Kedigdayaan Sains?, Cet. I 2003, Mizan).

Kesimpulan
Saintisme yang memiliki definisi, pertama, metode ilmiah, jika bukan merupakan satu-satunya metode yang dapat diandalkan untuk mencapai kebenaran, setidak-tidaknya metode yang paling dapat diandalkan. Dan kedua, soal-soal yang ditangani sains, yakni entitas material, merupakan hal yang paling fundamental yang ada, justru akan menjerumuskan sains itu sendiri ke dalam kebekuan dan kegelapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar