Saya membaca berita di sebuah koran nasional, seorang pemikir liberal asal Indonesia berhasil mendapatkan penghargaan bergengsi dari negeri Barat. Saya tidak bangga, tapi saya akan menjadikan berita ini bermanfaat bagi diri saya. Dari berita ini, saya merenungkan beberapa hal penting.
Kecerdasan Akal antara Mukmin dan Pelaku Maksiat
Kecerdasan antara keduanya jelas berbeda. Mukmin yang berilmu lebih berbobot pemikirannya ketimbang pelaku maksiat yang berilmu. Karena mukmin berilmu menyandarkan ilmunya kepada Allah, sedangkan pelaku maksiat menyandarkan ilmunya pada akalnya saja. Padahal kemampuan akal sangat terbatas.
Para hukama mengatakan bahwa salah satu cara untuk meraih hikmah adalah dengan mengenal Allah. Karena Allah adalah sumber khazanah ilmu pengetahuan. Sebaliknya, ketika manusia tidak mengenal Allah maka ilmu yang diperolehnya hanya sebatas kulitnya saja.
Saya tahu mukmin yang cerdas banyak yang berprestasi baik dalam pendidikan maupun dalam kehidupan sosial di masyarakat. Hanya saja mereka sering kurang di ekspos oleh media masa. Mereka, selain dikenal ilmuwan yang ahli dibidangnya, adalah juga orang yang taat dalam menjalankan perintah agama. Begitupun dengan orang-orang liberal yang "tolol" juga pasti banyak. Hanya saja media sering mengangkat pemikiran mereka meskipun pemikiran itu tidak banyak membawa manfaat dan hanya pandai berpolemik atau berdebat.
Kesempurnaan Akal
Tapi akal tidak diciptakan agar pemiliknya menjadi orang yang terkenal. Imam Nawawi al-Bantani – ulama terkenal dari Banten – dalam kitab Nashaihul Ibad mengatakan, bukti kesempurnaan akal adalah mengikuti keridhaan Allah dan menjauhi segala yang dimurkai Allah. Kedua hal ini harus menjadi bagian penting dalam kehidupan kita, entah hasilnya terkenal atau tidak terkenal, itu terserah Allah. Yang penting, apa yang kita lakukan adalah yang terbaik menurut pandangan Allah, bukan terbaik menurut pandangan manusia.
Orang yang berakal tidak mungkin melakukan penyimpangan atau melanggar perintah Allah, karena mereka tahu bahwa apa yang telah diperintahkan Allah sepenuhnya untuk kebaikan dirinya. Percuma saja kita berilmu tetapi justru aktivitas kita mengundang murka Allah. Dan ini tentu saja menjadi indikasi akal kita tidak sempurna.
Lebih Semangat dalam Beramal
Setiap berita yang muncul dapat kita jadikan pelajaran. Bahkan para ulama kerap mengambil pelajaran dari suatu hal yang menurut kebanyakan orang tidak dapat diambil pelajaran. Misalnya saja ada ulama yang mengambil pelajaran dari sebuah syair percintaan yang dilagukan seorang biduan. Ketika dia mendengar syair itu, ulama itu menangis. Mengapa? Bunyi syair itu: "Mengapa engkau tinggalkan aku?" Padahal kata-kata itu ditujukan seseorang pada orang yang dicintainya. Tapi bagi ulama itu kata "aku" (dengan a kecil) digantinya dengan kata "Aku" (dengan A besar). Seolah yang bertanya seperti itu adalah Allah: Mengapa engkau tinggalkan Aku (Allah)? Mendengarnya tentu merupakan sebuah teguran; dirinya sudah meninggalkan Tuhannya!
Berita tentang prestasi yang diraih orang-orang sekuler dapat kita jadikan cambuk bagi kita yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Apakah iman itu hanya sekedar ucapan saja tanpa di dorong dengan aksi? Mengapa hidup kita jauh lebih rendah dari mereka? Jangan-jangan kita ini orang yang munafik; hanya pandai bicara?
Yang saya maksud prestasi bukan dalam arti yang sempit, yaitu berupa penghargaan dari banyak pihak, walapun hal itu merupakan standar bagi kebanyakan orang. Tapi prestasi yang sesungguhnya adalah keridhaan Allah atas apa yang kita lakukan. Prestasi bagi saya adalah usaha maksimal kita dalam mengerjakan amal sesuai dengan rencana prioritas. Bagi seorang penulis mukmin, tentu ia harus memaksimalkan kemampuan yang dimilikinya dalam menulis. Ia harus banyak membaca dan berlatih menulis. Ia bukan hanya sekedar menulis atau menuliskan kata-kata yang tak bermakna bagi dirinya dan orang yang membacanya. Ketika kita sudah mengerahkan segala daya upaya secara sungguh-sungguh, itulah prestasi. Artinya, pestasi dapat kita peroleh setiap hari!
Jika kita terus-menerus, setiap hari, menorehkan prestasi dalam hidup kita, kita akan memperluas zona aman kita. Kita juga akan tampil lebih percaya diri. Di mulai dari diri kita sendiri, lalu pada lingkungan keluarga, masyarakat satu RT, kemudian RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten, dan seterusnya. Kita akan melebihi "keberadaan" orang-orang sekuler itu yang hanya mengurus dirinya atau kelompoknya saja.
Bahwa Allah akan mewariskan dunia ini kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, itu sudah janji-Nya. "Dan Dia menurunkan orang-orang Ahli Kitab (Bani Quraizhah) yang membantu golongan-golongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka, dan Dia memasukkan rasa takut ke dalam hati mereka. Sebahagian mereka kamu bunuh dan sebahagian yang lain kamu tawan. Dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak. Dan adalah Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu." (QS. al-Ahzab: 26).
Jika janji Allah itu belum terwujud, mungkin ada yang salah pada diri kita. Dan, adalah kewajiban kita untuk introspeksi diri dan mulai berbenah untuk menyosong masa depan yang lebih cerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar