Tanda-tanda keimanan seseorang akan terlihat manakala dirinya tidak menyia-nyiakan waktu dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat. Ia tidak membiarkan syetan sedikit pun masuk ke dalam pikirannya, menggodanya, dan menjerumuskannya ke lembah dosa. Jika pun ada waktu luang, ia tetap akan menyibukkan diri dengan amal saleh.
Ulama-ulama seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Abu Hanifah, Sufyan ast-Tsaury, Sarri as-Saqathi, dan Junaid al-Baghdadi hidup dari berdagang, tapi mereka tak lepas dari dzikrullah. Diriwayatkan, jika toko mereka sepi pembeli, mereka gunakan kesempatan itu untuk membaca al-Quran, berdzikir atau shalat sunah. Begitupun dengan Imam Ibnu Taimiyah, pandangan mata beliau, menurut Imam adz-Dzahabi, memiliki pancaran yang teduh seperti memberikan makna yang dalam. “Dua mata Ibnu Taimiyah seperti dua lisan yang berbicara, karena banyaknya dzikir,” ujar Imam adz-Dzahabi.
Utsman al-Baqilawi adalah seorang ulama yang tidak pernah lepas dari dzikir. Dia pernah berkata, “Sesungguhnya saat aku berbuka, aku merasakan sepertinya ruhku lepas karena aku disibukkan oleh makanan hingga tak bisa berdzikir.” Ibnu Tsabit al-Banani berkata, “Aku datang menemui ayahku dan aku ingin mengajaknya berbicara, tetapi dia berkata, ‘Biarkan aku, wahai anakku! Aku sedang melakukan wirid yang keenam’.”
Demikian juga dengan Imam Abu Said al-Kharraz yang senantiasa berdzikir walaupun sedang memintal benang. Hal ini membuat sahabatnya, Imam Junaid al-Baghdadi, berkata,”Seandainya apa yang dilakukannya itu kita lakukan, maka kita akan hancur.” Ini menunjukkan betapa banyaknya Abu Said berdzikir. Lantas, bagaimana dengan kita, apa yang telah kita lakukan pada waktu luang? Apakah yang telah kita lakukan pada siang dan malam yang panjang?
Waktu luang sangat berbahaya jika tidak di isi dengan kesibukan yang bermanfaat. Karena ruang yang kosong akan mudah terisi sesuatu. Pikiran yang kosong oleh hal-hal yang bermanfaat akan di isi dengan bisikan-bisikan setan, kesedihan dan keburukan lainnya. Oleh karena itu, Allah menurunkan surat Alam Nasyrah yang difungsikan sebagai penguat Rasulullah Saw. dalam menghadapi ujian dan cobaan ketika berdakwah. Setelah ayat yang berbunyi, فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا {5} إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” Kemudian dilanjutkan ayat berikutnya yang berbunyi,
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ {7} وَإِلىَ رَبِّكَ فَارْغَب
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”
Ini artinya, ayat selanjutnya merupakan solusi atas permasalahan yang diterangkan ayat sebelumnya. Kesedihan dapat sirna jika kita mengisi waktu kita dengan amal terus-menerus. Sesudah melakukan satu pekerjaan, beralihlah pada pekerjaan yang baru. Begitupun seterusnya. Sebaliknya, kesedihan akan terus-menerus melekat pada diri kita jika kita tidak menyibukkan diri setiap waktu dengan amal saleh.
Di antara manusia, orang-orang yang memiliki kesadaran akan makna hidup selalu mencari tahu dan memperbanyak bekal untuk perjalanannya yang abadi, hingga mereka memperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Adapun yang lalai, mereka membawa bekal sekedarnya, atau mungkin keluar dari negerinya tanpa satu tempat bekal apa pun. Alangkah banyaknya orang-orang yang berjalan dan telah melalui jalan yang panjang, namun tetap tidak beroleh bekal apa-apa.
Oleh sebab itu, pergunakanlah setiap detik umurmu dan bersegeralah sebelum kesempatan itu lenyap. Carilah ilmu, carilah hikmah, berlombalah dengan waktu, lawan hawa nafsu dan carilah bekal sebanyak-banyaknya. Tatkala semuanya telah terlambat, tak akan berguna lagi penyesalan bagimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar