Sesungguhnya kelak di akhirat kita akan banyak menyesal. Orang-orang kafir dan fasik menyesali kenapa mereka tidak beriman kepada Allah sehingga akibatnya mereka mendapat siksa neraka. Sedangkan orang-orang beriman menyesali waktu mereka yang terbuang percuma, tanpa disibukkan dengan amal shalih sehingga tidak mendapatkan lebih dari apa yang ia dapatkan di surga. Semua itu terjadi karena mereka sudah mengetahui di mana mereka tinggal dan bagaimana keadaan tempat tinggal mereka.
Alangkah bahagianya orang-orang yang segera beramal dan meniatkannya dengan ikhlas. Orang-orang yang selamat adalah para Nabi dan Rasul, kemudian para shiddiqun, mukhlishun, saleh, dan para syuhada. Tak ada jalan selamat kecuali meniti jalan sebagaimana orang-orang yang selamat meniti jalan.
Kita ingat bagaimana Nabi Muhammad Saw. menangis di malam hari dalam shalat tahajud hingga matanya membengkak. Kita ingat pula bagaimana di siang hari beliau berjihad fi sabilillah. Seolah-olah waktunya terus di isi dengan ibadah kepada Allah Swt.. Hal inilah yang membuat kagum seorang mata-mata Romawi yang mengatakan, “Kaum muslimin jika siang ibarat singa (fursanun fin nahar) dan jika malam ibarat rahib (rahibun fil lail).”
Kita ingat bagaimana Utsman bin Affan Ra. membaca al-Quran sekali tamat dalam shalat malamnya. Padahal dia juga dikenal sebagai pemimpin negara dan pengusaha terkenal dikala itu, namun tak sedikitpun beliau urung untuk melakukan ibadah sebagaimana Nabi-nya beribadah.
Kita ingat betapa banyaknya Abu Bakar al-Anbari membaca buku, yaitu sepuluh ribu lembar setiap pekannya. Atau juga tentang istri Imam Zuhri yang mengeluh karena merasa di madu oleh buku-buku yang dibaca Imam Zuhri. Imam Ibnul Qayyim mengibaratkan buku seperti harta karun, ketika mendapatkannya ia bahagia luar biasa.
Kita ingat pula bagaimana asy-Syahid Dr. Abdullah Azzam menghabiskan hari-harinya dengan jihad fi sabilillah, baik dengan senjata maupun dengan pena. Imam asy-Syahid Hasan al-Banna telah mengomentari ribuan buku koleksinya. Beliau tidur hanya empat jam sehari karena banyaknya aktifitas yang beliau lakukan. Sehingga suatu ketika beliau pernah berkata, “Kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang tersedia.”
Merekalah orang-orang yang menjadikan dunia sebagai persinggahan sementara. Mereka jadikan dunia sebagai ladang untuk beramal. Mereka tidak menjadikan materi sebagai tujuan hidup mereka. Semboyan hidup mereka “Hidup mulia atau mati syahid.”
Jika seseorang sadar bahwa kematian akan memotong seluruh usaha dan amalnya, ia akan senantiasa beramal dan bekerja di masa hidupnya untuk memperoleh pahala dan ganjaran yang abadi. Ia akan menulis buku yang bisa dibaca oleh setiap orang setelahnya dan senantiasa beramal dengan pelbagai kebaikan. Dari karya-karyanya, banyak orang yang dapat mengikuti jejak amalnya. Itulah manusia-manusia yang tidak pernah mati. Betapa banyaknya manusia yang mati, namun pada hakikatnya mereka selalu hidup.
Barangsiapa yang yakin betapa panjangnya jalan yang akan ditempuh, maka ia akan menyiapkan bekal sebaik-baiknya. Ia tentu tak tahu hal-hal yang mungkin menimpa dirinya. Ia pun tak tahu kapan ia tiba-tiba dipanggil untuk berangkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar