Hukuman itu sebenarnya lebih bermakna positif ketimbang negatif. Seorang penjahat yang tertangkap kemudian masuk penjara, kemudian hukuman itu membuatnya sadar bahwa sesungguhnya dirinya banyak berbuat dosa. Kemudian dia bertobat dengan sebenar-benarnya tobat. Bukankah hal itu baik baginya daripada dia lepas bebas dan terus melakukan maksiat hingga akhir hidupnya? Justru, kemaksiatan itu menyeretnya ke neraka. Inilah yang berbahaya bagi seorang hamba. Al-Quran menyebutnya dengan istilah “istidraj”. Artinya, Allah membiarkannya berbuat maksiat seenaknya sampai waktu yang telah ditentukan dan kemudian Allah mengazabnya dengan azab yang sangat dahsyat.
Jika engkau merasa mendapat hukuman atau teguran dari setiap perbuatan buruk yang engkau lakukan, itu lebih baik daripada Allah membiarkanmu tanpa hukuman sama sekali. Para ulama-ulama saleh merasakan akibat dari perbuatan maksiat yang mereka lakukan, walaupun sebenarnya skala kemaksiatan mereka sangat kecil dibanding kemaksiatan yang dilakukan orang-orang fasiq. Fudhail bin Iyadh merasakan akibat maksiat yang dia perbuat mempengaruhi perilaku pembantunya dan kuda tunggangannya. Begitupun dengan Muhammad bin Sirin melihat kebangkrutannya akibat perkataan buruknya kepada seseorang empat puluh tahun yang lalu. Rasulullah, para sahabat, dan ulama-ulama saleh sering mengatakan bahwa musibah dan bencana alam yang sering terjadi diakibatkan oleh kemaksiatan yang dilakukan manusia. Bandingkanlah dengan manusia-manusia selain mereka yang hanya melihat bahwa semua kejadian itu hanya fenomena alam saja, atau bisa dicegah dengan memasang alat ini dan ini, tanpa melihat akar permasalahan sebenarnya.
Sungguh mulia seorang akhwat muslimah di zaman Rasulullah, dia mengaku telah berzina dan minta dihukum rajam karena perbuatan zinanya. Rasulullah pada awal mulanya berusaha mengorek-ngorek keterangan yang sebenarnya darinya. Karena jelas suatu hal yang aneh, ada orang yang mengaku-ngaku telah berzina, padahal hukuman zina itu sudah sangat jelas, dirajam hingga mati! Meskipun begitu, akhwat itu tetap kekeuh bahwa dirinya telah berzina. Rasulullah akhirnya “mengabulkan” permintaannya setelah anak yang ada di dalam kandungan akhwat itu lahir. Ketika akhwat itu wafat, Rasulullah Saw. bersabda, jika amal akhwat itu ditimbang dengan amal 70 penduduk Madinah, maka amal akhwat itu akan jauh lebih berat.
Subhanallah, Allahu Akbar! Jika saja akhwat itu tidak mengakui bahwa dirinya telah berzina, bisa saja ia terhindar dari hukum rajam itu, dan kesempatan hidupnya akan lebih panjang lagi. Tapi dia menolak hal itu. Dia sadar bahwa dia salah, dan kesalahan itu tidak akan diampuni-Nya dengan suasana yang santai. Kesalahan itu harus ditebus dengan hukuman rajam hingga mati! Jika dia tidak memilih hukuman itu, dia bisa melakukan zina itu berulang-ulang dan akibatnya di akhirat jauh lebih mengerikan. Inilah keimanan yang hakiki. Inilah akhwat mukminah sejati. Dia mati sebagai syuhada dan amalnya lebih besar daripada 70 penduduk Madinah.
Ya Allah, jadikanlah kami sebagai hamba-hamba-Mu yang mengakui kesalahan-kesalahan kami jika kami tersalah. Kami memohon maaf kepada-Mu dan kepada orang-orang yang telah kami zalimi hak-haknya, dan mengharapkan ampunan dari-Mu. Ya Allah, tanpa ampunan dari-Mu, sesungguhnya kami hanyalah hamba-hamba-Mu yang merugi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar