Sahabatku, ada satu teori dalam ilmu biologi yang diberi nama Irreducible Complexity. Teori ini diciptakan oleh seorang ahli biokimia asal Amerika Serikat yang bernama Prof. Michael Behe. Menurut teori ini, makhluk hidup memiliki kompleksitas yang tidak bisa disederhanakan. Makhluk hidup diciptakan dalam keadaan sempurna. Satu sistem tunggal yang terdiri dari beberapa bagian yang cocok dan berinteraksi yang memungkinkan satu fungsi dasar, dimana kehilangan satu dari bagian ini akan menyebabkan sistem berhenti berfungsi secara efektif. Seseorang yang tidak memiliki sistem kekebalan tubuh, meskipun kondisi tubuhnya dimanipulasi sedemikian rupa, tetap saja akan menemui ajalnya. Karena, kuman, virus, dan bakteri akan mengerogoti tubuhnya tanpa ada yang menghalanginya.
Prof. Michael Behe mengemukakan beberapa contoh tentang kompleksitas tubuh makhluk hidup yang tidak bisa disederhanakan. Salah satunya adalah mata. Menurut Behe, mata memiliki desain yang sangat kompleks. Jika ada satu komponennya saja tidak ada, maka mata itu tidak akan dapat melihat. Teori ini dengan jelas menyanggah teori evolusi Darwin yang berpendapat bahwa makhluk hidup berevolusi mulai dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang kompleks.
Di antara dua ide pemikiran ini, saya lebih condong pada teori irreducible complexity (IC) ketimbang teori evolusi Darwin. Walaupun teori IC banyak diperdebatkan oleh para evolusionis, begitupun dengan teori evolusi Darwin. Akhir-akhir ini kritikan terhadap teori evolusi Darwin sangat banyak, melebihi di awal teori ini dicetuskan. Para ilmuwan mulai bimbang apakah teori evolusi mampu menjelaskan kompleksitas yang ada. Mereka mulai mengatakan bahwa teori penciptaan (Intelligent Design) sebaiknya juga diajarkan pada para siswa, tentu saja di samping teori evolusi Darwin. Para ilmuwan yang mengatakan itu, bukan tanpa hambatan dan cercaan. Akibat tekanan kuat kalangan evolusionis, Prof. Reiss dipaksa mengundurkan diri sebagai direktur pendidikan di Royal Society, lembaga ilmiah bergengsi di Inggris, setelah dalam pidatonya ia menganjurkan agar Penciptaan dimasukkan dalam pelajaran ilmu pengetahuan alam di sekolah.
Apa yang dilakukan kalangan evolusionis, bukan hal yang baru lagi. Para evolusionis telah menganggap bahwa teori evolusi adalah satu-satunya cara pandang yang tepat dalam membahas asal usul kehidupan. Benar atau salahnya teori ini, bukan suatu hal yang aneh jika kemudian mereka menerimanya tanpa mau keluar dari doktrin itu (saintisme). Prof. Steve Jones, seorang evolusionis dari University College London, ketika ditanya, “Bagaimana, jika Teori Evolusi suatu saat dibuktikan keliru?” Lantas dia mengatakan, “Hal itu bagi ilmu pengetahuan sesungguhnya hal yang sama sekali lumrah: Orang punya hipotesa dan orang berupaya menyangkalnya. Jika itu tidak berhasil, maka teori itu mungkin benar. Setiap teori bisa dibantah, juga Newton telah dibantah. Jadi andai saya pernah bertemu manusia Cro-Magnon yang memakai [jam tangan] Rolex, maka saya akan segera membuang Teori Evolusi. Tapi itu belum pernah terjadi pada saya. Karenanya saya akan tetap menerimanya, setidaknya untuk sementara waktu.”
Menurut saya, ini adalah jawaban yang aneh. Logikanya, bagaimana mungkin manusia cro-magnon memakai jam tangan rolex? Manusia cro-magnon hidup kira-kira tiga puluh ribu tahun yang lalu, sedangkan jam tangan rolex diciptakan baru-baru ini. Tidak perlu jauh-jauh hingga ratusan ribu tahun yang lalu, seratus tahun yang lalu saja, apakah ada orang yang memakai jam tangan rolex? Sahabat, bukankah ini jawaban yang aneh dari seorang profesor dari universitas ternama dunia? Kalau dalam bahasa agama hal ini disebut taqlid. Menurut definisinya, taqlid adalah hewan yang dicucuk hidungnya. Kemanapun yang mencucuk itu pergi, hewan itu selalu mengikutinya.
Hasil penelitian para ilmuwan geologi dan palaentologi tidak ditemukannya missink link dari pohon kekerabatan ala Darwin. Bahkan jurnal ilmiah sains terkemuka menganggap bahwa pohon kekerabatan itu salah satu bukti kesalahan hipotesa Darwin. Teori evolusi meramalkan adanya sebuah “kerucut peningkatan keragaman”, yang mana organisme hidup pertama, atau spesies hewan pertama, secara bertahap dan kontinyu menjadi beragam dan menciptakan tingkat taksonomi yang lebih tinggi. Namun catatan fosil binatang lebih mirip kerucut yang terbalik, yaitu banyak filum yang berada di jenjang awal, dan setelah itu semakin berkurang. Mungkin bagi para evolusionis berpikiran, teori evolusi memberikan peluang bagi suatu pencarian ilmiah guna menemukan missink link. Menurut saya, pendapat itu sah-sah saja. Hanya saja, yang saya saksikan, mulai banyak terkuak penipuan-penipuan yang dilakukan evolusionis.
Aneka pemalsuan dan kebohongan mengenai bukti-bukti rekaan evolusi seperti lukisan khayalan dan berlimpah fosil palsu menambah panjang daftar kejahatan mereka dalam menipu manusia agar percaya pada teori bohong evolusi. Sepertinya pemalsuan masa lalu seperti gambar embrio Haeckel dan manusia Piltdown tidaklah membuat mereka jera. Profesor evolusionis asal Jerman, Reiner Protsch von Zieten, yang beberapa tahun lalu menjadi bintang media massa. Fotonya terpampang di mana-mana bukan lantaran temuan gemilangnya mengenai evolusi, tapi karena penipuan yang dilakukannya sehubungan dengan beragam fosil. Profesor von Zieten pernah mengatakan bahwa manusia setengah kera berusia 50 juta tahun yang dijuluki Adapis telah ditemukan di Swiss. Namun faktanya, fosil monyet itu telah digali di Prancis. Akibat penipuannya ini, Terberger, sang arkeolog pembongkar pemalsuan, menggambarkan kerugian yang diderita antropologi akibat pemalsuan Protsch: "Anthropology is going to have to completely revise its picture of modern man between 40,000 and 10,000 years ago" (Antropologi akan diharuskan membenahi sama sekali gambarannya tentang manusia modern antara 40.000 hingga 10.000 tahun yang lalu).
Kesimpulannya, para evolusionis tampaknya sudah mulai putus asa, pencariannya selama ini tidak membuahkan hasil yang bermanfaat untuk mendukung teori yang dianutnya. Jadi, untuk apa mencari-cari jika pencarian itu hanya berujung pada kelelahan, keputus asaan dan penipuan! Jika pun mereka mencari, maka yang mereka dapatkan malah berlawanan dari apa yang mereka yakini selama ini.
Darwin dengan teori evolusi-nya, kata Michael Heart dalam bukunya yang terkenal 100 Tokoh Paling Berpengaruh, telah mengubah pemikiran manusia secara mendasar. Tadinya manusia percaya bahwa segala sesuatu diciptakan Tuhan, kini bisa saja mengatakan bahwa kebetulan bisa menciptakan segala sesuatu. Darwinisme telah menjadi pijakan ilmiah bagi materialisme. Darwinisme pula yang menginspirasi Freudianisme, Marxisme, Kapitalisme, dan beberapa isme perusak lainnya.
Alam semesta yang indah ini mengajak kita untuk berpikir bahwa dibalik semua itu ada Pencipta Yang Maha Agung. Bisyr al-Hafi pernah berkata, jika manusia mau merenungi keagungan Sang Pencipta, maka ia tidak akan mendurhakai-Nya. Ketika kita berpikir bahwa alam semesta ini berjalan secara kebetulan, tanpa ada campur tangan Tuhan di dalamnya, berarti kita telah mengikuti jejak orang-orang durhaka. Naudzubillahi mindzalik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar