Jumat, 23 Maret 2012

Kiat Menulis Efektif: Dengarkan Suara Hati

Saya teringat dengan hadits Nabi Saw. yang berbunyi, "Mintalah fatwa dari hati kecilmu." Oleh karena itu, saya sering bertanya kepada hati kecil saya berkaitan dengan masalah yang sedang saya hadapi. Kemudian hati kecil saya memberikan jawabannya dengan jujur. Tentunya saya harus siap menerima teguran, kritikan, masukan, atau apa pun darinya tentang diri saya.

Saya merasakan bahwa semua perenungan saya berasal dari proses inkubasi ilmu pengetahuan yang saya miliki. Perenungan saya bukanlah hasil dari satu-dua hari waktu yang saya lalui atau satu-dua buku yang saya baca. Tapi ia merupakan hasil yang telah terkumpul bertahun-tahun lamanya, melalui penyerapan ilmu pengetahuan dari apa yang saya lihat, baca dan rasakan. Sehingga ketika saya bertanya pada hati kecil saya, maka jawabannya merupakan intisari dari akumulasi pengetahuan yang saya miliki.

Apa yang kita baca dan lihat, baik langsung atau tidak, sangat mempengaruhi kondisi hati kita. Ada orang yang merasa tercerahkan ketika ia membaca buku atau melihat sesuatu. Proses pencerahan ini membuahkan hasil berupa "amal shalih". Dan perpaduan antara ilmu dan amal shalih akan membuahkan "hikmah". Hendaknya kita bertutur dengan hikmah, jika tidak, diamlah.

Saya sangat senang membaca buku-buku yang memberikan saya dorongan untuk berpikir lebih jernih. Saya tidak terlalu suka dengan buku-buku yang hanya berisi kutipan-kutipan ayat-ayat al-Quran, hadits-hadits Nabi, perkataan-perkataan ulama, dan sebagainya. Yang saya sukai adalah buku yang "menjelaskan" atau "menggambarkan" daripada sekedar hanya "memberi tahu".

Ada orang yang menulis sebuah artikel atau buku, terasa sangat menyentuh hati, padahal tidak mencantumkan dalil-dalil al-Quran dan al-Hadits. Setelah diteliti lebih jauh, tulisan itu sangat sesuai dengan nila-nilai al-Quran dan al-Hadits. Menurut saya, orang seperti inilah yang telah mendapat limpahan hikmah dari Allah. Semua manusia mampu mengutip ayat-ayat al-Quran, hadits dan perkataan ulama, tetapi tidak semua manusia mampu menjelaskan kutipan-kutipan itu dengan jelas dan mengalir.

Jika kita tidak menguasai dalil-dalil keagamaan secara utuh, jangan memaksakan diri untuk banyak mengutipnya. Cukuplah apa yang kita ingat dan tulislah apa yang kita rasakan. Tentu saja menguasai banyak dalil lebih baik daripada sedikit menguasainya. Sesungguhnya jika kita berbicara atas nama jiwa yang bersih, ia akan bertutur dengan hikmah dan indah. Ia merupakan luapan-luapan jiwa, pantulan-pantulan perasaan, bukan sekedar kumpulan teori atau kutipan belaka. Kita dapat melihat "wajah" asli seseorang dari tulisan dan tutur katanya. Jika tulisan atau tutur katanya hanya mengangkat kutipan-kutipan atau pendapat orang lain, mana mungkin kita dapat mengenalnya lebih dekat dan mengetahui "siapa" penulis sebenarnya.

Di antara beberapa penulis yang saya kagumi adalah Syaikh Muhammad al-Ghazali. Beliau adalah seorang ulama besar Mesir, murid dari Imam Hasan al-Banna dan guru dari Syaikh Yusuf al-Qaradhawi. Saya sudah membaca beberapa bukunya, di antaranya yang paling saya sukai berjudul "Keprihatinan Seorang Juru Dakwah". Buku ini bukan kumpulan kutipan-kutipan, tetapi merupakan rangkuman pengalaman dan perjalanan beliau selama berdakwah. Tampak dari apa yang saya baca, beliau adalah seorang yang bersemangat, orator yang bersuara lantang, penulis yang mencurahkan segenap perasaan, dan ulama yang mampu melihat zaman.

Kemampuannya ini mampu menyedot dan mempengaruhi banyak pembaca. Karyanya "Fikih Sirah" ditulis di depan makam Rasulullah di Madinah. Setiap kali memulai menuliskannya, beliau menangis mengenang perjuangan agung Rasulullah. Sebuah karya yang tidak hanya menghadirkan Rasulullah hanya sebagai sebuah sejarah masa lalu, tetapi sebuah sejarah yang mampu menggerakan kaum muslimin untuk meneladani akhlak Nabi Saw.. Dalam buku tersebut, beliau pernah berkata, bahwa untuk mencintai Nabi bukan dengan banyak membaca buku-buku sejarah Nabi, tetapi dengan lebih banyak berinteraksi dengan al-Quran dan as-Sunnah.

Sebuah teori tampak lebih segar dan jernih ketika dipadukan dengan ungkapan-ungkapan perasaan yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Seorang yang hanya memandang segala sesuatu dari sisi materi dan akal saja, gagasan-gagasannya akan terlihat kering dan terbatas. Kita perlu agama, sastra, dan segenap keindahan lainnya untuk dapat melihat bahwa hidup ini merupakan rentetan peristiwa yang tidak saling terpisahkan, antara manusia, alam, dan Tuhan, antara akal, jiwa, dan raga, antara dunia dan akhirat, antara karunia dengan pahala, dan antara azab dengan dosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar