Sahabatku, kita melaksanakan ibadah bukan karena ingin disebut ahli ibadah. Kita menuntut ilmu bukan karena ingin disebut ahli ilmu. Kita beribadah dan menuntut ilmu karena Allah. Jika kita beribadah dan berilmu bukan karena Allah, lantas apa yang kita dapatkan? Tidak ada sama sekali! Semuanya terbang bagai debu di batu yang licin. Kita mungkin merasa senang dengan pujian itu. Kita merasa bangga disebut sebagai ahli ilmu, ahli ibadah atau pujian-pujian bagus lainnya.
Tidak! Kita tidak membutuhkan semua itu. Kita hanya butuh ridha Allah. Semua pujian manusia terasa hambar di hati. Ulama-ulama saleh selalu berusaha menyembunyikan amal-amal saleh mereka. Jika mereka mampu menyembunyikan semuanya, mereka pasti akan melakukannya. Imam Sufyan ats-Tsaury pernah mengatakan bahwa dirinya tidak menganggap amal yang terlihat oleh manusia sebagai amal salehnya. Imam Ali Zainal Abidin dan Imam Laits bin Sa’d suka bersedekah dengan cara sembunyi-sembunyi. Imam Ahmad bin Hanbal setiap hari berdoa dengan menyebut satu persatu sahabat-sahabatnya. Imam Ibnu Sirin pada siang hari tertawa, namun tatkala sedang sendirian air matanya mengalir laksana sungai.
Seorang sufi terkenal, Bisyr al-Hafi, sering duduk bersama penjual minyak wangi. Thalhah bin Mathruf, seorang qari terkemuka asal Kufah, setelah melihat bahwa telah banyak orang yang belajar darinya, dia malah berangkat menuju al-A’masy dan belajar darinya, hingga orang-orang lebih condong kepada al-A’masy dan meninggalkan Thalhah. Itulah contoh manusia-manusia yang tulus amalnya karena Allah dan bagaimana mereka bermuamalah.
Sesungguhnya ilmu itu dituntut untuk diamalkan, bukan untuk disombong-sombongkan di hadapan manusia. Ibadah itu dilaksanakan agar kita semakin dekat dengan-Nya. Segala pujian manusia akan datang belakangan karena Allah tidak mungkin membiarkan kita begitu saja. Allah akan memperlihatkan kehormatan seseorang kepada orang lain walau ia tertutup oleh dinding tebal sekalipun. Manusia membicarakan amal baik itu hingga mereka sama sekali laksana tak memiliki dosa. Seluruh hidupnya adalah amal. Manusia harus tahu bahwa di sana ada Tuhan yang tidak menyia-nyiakan amal-amal.
Sesungguhnya, bila hati manusia tahu akan kondisi orang tersebut, kemudian mencintainya, menyayanginya, memujinya, atau malah membencinya dan mencelanya, seluruhnya terjadi sesuai dengan apa yang terjadi antara hamba dengan Allah. Tatkala seorang hamba hanya baik kepada makhluk tetapi tidak baik kepada Sang Khaliq, akan terbaliklah keadaan dirinya. Yang memujanya akan mencelanya.
http://www.quantumfiqih.com/2014/06/menyembunyikan-amal-shalih.html
BalasHapus