Senin, 12 Maret 2012

Wanita Dibawah Naungan Islam

“Memang tidak aku lihat di antara orang-orang yang kurang akal dan agama yang lebih dominan bagi orang yang bernalar sehat daripada kalian (kaum wanita).” Seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud kurang akal dan agama?” Beliau menjawab, “Disebut kurang akal karena kesaksian dua orang perempuan sejajar dengan kesaksian satu orang laki-laki. Inilah yang dimaksud kurang akal. Sedangkan yang dimaksud kurang agamanya adalah berdiam selama bermalam-malam tanpa melakukan shalat dan puasa pada bulan Ramadhan (bila sedang datang haid).” (HR. Bukhari)

Oleh para orientalis-misionaris, hadits ini telah diletakkan pada pemahaman yang salah. Mereka menganggap bahwa dengan hadits ini posisi wanita di dalam Islam sangat rendah. Hal ini terjadi, karena akal pikiran mereka sudah dipenuhi dengan hawa nafsu dan melepas kebenaran yang ada di dalam Islam yang murni. Pemahaman yang salah ini, mereka sebarluaskan di dunia Islam. Mereka “mencuci” otak sebagian umat Islam terutama dari kalangan wanitanya sehingga pola pikirnya terbaratkan, dan berupaya mencabut nilai-nilai Islam dalam dirinya. Salamah Musa berkata, “Semakin dalam aku mengenal Eropa, maka semakin bertambah rasa cintaku padanya. Aku merasa bagian darinya. Dialah ideologiku yang aku perjuangkan sepanjang hidupku. Aku tak percaya Timur dan aku lebih percaya pada Barat.”

Sedangkan Thoha Husein berkata, “Jalan menuju kebangkitan sudah sangat jelas, yaitu dengan cara kita menempuh jalan yang telah ditempuh bangsa Eropa. Lalu, agar kita dapat berubah seperti mereka, maka segala apa yang ada pada mereka harus kita ambil. Pahit, manis, kebaikan, keburukan dan termasuk hal-hal yang disukai juga yang dibenci.”

Untuk memahami hadits di atas, setidaknya kita harus memahami bahwa Islam adalah agama yang syumul atau menyeluruh. Dan juga, kita harus menerima dengan lapang dada kebenaran yang datangnya dari Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah), karena pada keduanya terdapat jalan keselamatan di dunia dan akhirat. Itulah karakteristik pemikiran seorang muslim.

Jika kita mau menelaah Islam lebih lanjut – yang berkaitan dengan posisi kaum wanita di dalam Islam – maka akan kita temukan bahwa tidak ada dalil satu pun yang merendahkan kaum wanita. Bandingkanlah posisi kaum wanita pada agama atau kepercayaan lain. Posisi wanita dalam periode awal Kristen atau periode Abad Pertengahan tidak jauh berbeda dengan status mereka di zaman Yunani kuno dan peradaban Romawi. Simbol wanita yang dilambangkan oleh Pandora adalah penyebab penderitaan kaum pria. Demikian juga wanita dalam konsep Kristen dianggap sebagai “penggoda, bertanggung jawab terhadap kejatuhan Adam As..” Sepanjang Abad Pertengahan, wanita sepenuhnya tidak aman; mereka senantiasa berada dalam bahaya, dibakar di tiang pembakaran sebagai wanita jahat. Encyclopedia Britanica memperkirakan jumlah korban yang dibakar sebagai wanita jahat sekitar 100 ribu jiwa.

Penindasan yang terjadi pada wanita yang berlangsung berabad-abad lamanya, membuat sebagian kalangan wanita memandang kaum pria sebagai penyiksa. Sebagian dari mereka sangat mendengung-dengungkan emansipasi wanita. Istilah emansipasi wanita banyak didengungkan pada saat Revolusi Industri, demikian Will Durant, filsuf Barat kenamaan mengatakan. Mereka tidak mau menikah, karena pernikahan adalah lambang penyiksaan bagi mereka. Mereka tidak bisa menutup-nutupi kesukaan mereka terhadap kaum pria, tetapi tetap tidak mau menikah atau hanya ingin kumpul kebo. Mereka ingin memerdekakan diri mereka, tetapi akibatnya justru sebaliknya, mereka telah menzalimi diri mereka sendiri.

Merebaknya kejahatan memberikan bahaya tersendiri buat para wanita di Eropa. Hingga PBB pada 17 Desember 1999 mengeluarkan keputusan bahwa tanggal 25 November merupakan hari anti kekerasan pada wanita.

Ada banyak fakta dan data yang seharusnya diperhatikan oleh mereka yang terbuai dengan Barat. Di Eropa dan Amerika pada setiap 15 detik terjadi kekerasan atas wanita. Belum lagi jika ditambah dengan aksi pemerkosaan setiap harinya. Sehingga Amerika tercatat sebagai negara tertinggi dalam hal kekerasan terhadap wanita. Menurut catatan UNICEF, 30 % kekerasan pada wanita terjadi di Amerika dan 20 % di Inggris.

Belum lagi kejahatan perbudakan yang terjadi di Amerika, CNN pernah menyiarkan laporan bahwa pada tahun 2002 jutaan anak-anak dan wanita dijual belikan di Amerika setiap tahunnya. Lebih dari 120 ribu wanita berasal dari Eropa Timur dan beberapa negara miskin lainnya dikirim ke Eropa untuk dipekerjakan sebagai budak seks. Lalu lebih dari 15 ribu wanita yang mayoritas berasal dari Meksiko dijual ke Amerika untuk dipekerjakan di komplek-komplek pelacuran.

Bisnis haram ini bahkan merenggut kemerdekaan anak-anak di dunia, hingga Sidang Umum PBB pada pertemuan yang ke 54 mengeluarkan keputusan pada 25 Mei 2000 tentang hak anak. Sebuah keputusan yang mendesak agar dilakukan pencegahan agar tak lagi terjadi jual beli anak apalagi kemudian dipekerjakan sebagai budak seks seperti yang terdapat pada jaringan internet.

Islam menimbang wanita secara adil, sebagaimana juga menimbang laki-laki secara adil pula. Islam memandang masing-masing di antara laki-laki dan wanita sebagai pasangan rel yang dengan keduanya kehidupan manusia berjalan beriringan tanpa melebihkan yang satu di atas yang lain. Hal ini secara gamblang dijelaskan dalam al-Quran, Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. al-Hujurat: 13).

Allah membebankan tanggung jawab (taklif) perbuatannya kepada masing-masing laki-laki dan wanita. Allah Swt. berfirman, …agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan. (QS. al-Jatsiyah: 22).

Masing-masing laki-laki dan wanita berhak mendapat balasan di sisi Rabb-nya, sesuai dengan amalnya, sebagaimana firman Allah Swt.: Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” (QS. Ali Imran: 195).

Ayat di atas turun berkenaan dengan pertanyaan Ummu Salamah Ra. – istri Nabi Saw. – yang menanyakan mengapa kaum wanita tidak disebut-sebut di dalam al-Quran sebagaimana halnya kaum laki-laki. Kemudian turunlah ayat tersebut. Pertanyaan Ummu Salamah – yang mewakili kaum wanita pada saat itu – mengisyaratkan gejolak kegelisahan dan kekhawatiran yang mencekam di kalangan mereka pada masa-masa awal turunnya al-Quran, akibat kebisuan al-Quran untuk sekedar menyapa mereka, sebagaimana intensitas sapaannya terhadap kaum laki-laki. Kebisuan ini mereka tangkap secara pesimistik sebagai sebuah cela yang menunjukkan: Pertama, status mereka tidak akan menyamai status laki-laki, meskipun mereka telah melaksanakan peran dan tanggung jawab. Kedua, terputusnya aliran kebajikan dari diri mereka, sehingga praktis nasib akhir mereka adalah kekecewaan dan kerugian.

Menurut Syaikh Badawi Mahmud asy-Syaikh dalam kitab Riyadhus Shalihat, apa yang terjadi pada sahabat wanita Nabi (shahabiyah) menunjukkan tingkat perhatian, dedikasi, dan kegairahan kaum muslimah generasi pertama dalam beragama. Juga keinginan mereka untuk bersaing dan berlomba dalam memberikan hal yang terbaik bagi agama serta memperoleh derajat yang sejajar dengan laki-laki.

Dalam konteks hadits di atas, kita dapat menjelaskannya secara singkat sebagai berikut:

Kita mendapatkan bahwa ilmu pengetahuan telah menetapkan susunan fisik wanita yang berbeda dengan susunan fisik laki-laki, dilihat dari organ tubuhnya, termasuk dalam berbagai celahnya yang merupakan spesifik hanya pada wanita. Tatkala janin mulai tumbuh, dua jenis ini sudah berbeda laju pertumbuhannya. Akhirnya kita mendapati susunan diri wanita dilihat dari fisiknya telah dipersiapkan sedemikian rupa untuk mengandung, melahirkan dan menyusui.

Sedangkan tentang susunan psikis wanita, kita mendapati di dalamnya terdapat perasaan yang sensitif, kelembutan, tindakan yang tekun dan gampang tergugah emosinya. Sumbernya adalah dominasi sisi perasaan terhadap jiwa. Inilah yang membuat keselarasan eksistensi wanita sebagai ibu. Sebab sifat keibuan tidak membutuhkan kepada pemikiran, tapi ia membutuhkan perasaan yang bergelora dan kasih sayang yang teramat lembut. Oleh karena itulah, Islam menganggap kesaksian dua orang wanita sama dengan kesaksian satu orang laki-laki. Islam tidak menyimpangkan hal itu karena ia memandang wanita sama dengan separoh laki-laki. Tetapi Islam menetapkan hal ini karena untuk suatu tujuan. Ada satu dasar lain, yaitu Islam memperbanyak jaminan yang memang memungkinkan dalam masalah kesaksian.

Wanita dikuasai oleh instink perasaan dan cepat emosi karena kondisinya yang kurang, maka dituntut keberadaan orang lain agar menyertainya. Inilah yang diterangkan dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 282, Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.

Jadi yang dimaksudkan di sini adalah mengingatkan, bukan sedang merendahkan kaum wanita. Inilah yang dapat saya simpulkan dari istilah “kurang akal”. Hal ini tidak merendahkan martabat wanita. Sebab dia telah dipersiapkan untuk tugas yang besar seperti yang dapat kita lihat, yaitu status keibuan dan tuntutan untuk hamil, melahirkan dan menyusui. Andaikata wanita tidak diciptakan dan tidak dipersiapkan agar menjadi sumber kasih sayang dan perasaan, tentu dia tidak akan mampu menanggung semua tugas itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar