“Barangsiapa yang takut kepada Allah, ia akan mempercepat perjalanannya dan barangsiapa cepat berjalan, ia akan mencapai tujuan. Ketahuilah! Sesungguhnya balasan Allah adalah surga!” (Al-Hadits)
Sahabatku, seseorang bertanya kepada Imam Hasan al-Bashri, “Kami melihatmu banyak menangis?” Ia berkata, “Saya takut Allah akan melemparku ke neraka tanpa mempedulikanku.”
Apakah kita, hamba yang bergelimang maksiat, masih saja mengatakan bahwa Allah kelak memaksukan kita ke dalam surga? Mari kita bandingkan dengan keadaan Imam Hasan al-Bashri. Siapa beliau? Beliau adalah seorang ahli ilmu, ahli ibadah, ahli zuhud, dan ahli takwa. Beliau adalah salah satu hamba yang diberi petunjuk oleh Allah untuk menghabiskan hidupnya dengan ketaatan. Saya belum pernah mendengar ada orang atau ulama lain yang menghina beliau karena perbuatan tercela. Yang ada adalah rasa kagum, pujian, dan doa di belakang nama beliau.
Mari kita renungkan juga secara mendalam perkataan orang yang dijamin masuk surga, Umar bin Khaththab Ra., “Saya hanya ingin selamat dari azab Allah, meski tanpa ada pahala dan dosa.” Subhanallah! Begitu tingginya rasa takut umar akan azab Allah padahal Allah telah menjanjikannya surga. Apakah Umar ragu dengan janji itu? Sama sekali tidak. Justru, apa yang dikatakan Umar adalah buah dari ketaatan beliau kepada Allah Swt.. Apa yang dikatakan Umar, juga dikatakan oleh hamba-hamba yang taat. Mereka adalah hamba-hamba yang gemar menangis, ikhlas dalam beramal, dan berusaha istiqomah di jalan Allah.
Sekali lagi, orang yang taat bukan orang yang sekedar berkata bahwa saya taat kepada Allah. Tetapi, dia adalah orang yang beramal sebagai bekal untuk menghadapi hari esok. Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya yang berjudul al-Jawabul Kafi mengatakan, jika seseorang mengharapkan sesuatu, maka ia dituntut melakukan tiga hal sebagai sebuah konsekuensi logisnya. Pertama, ia harus mencintai sesuatu itu. Kedua, ia takut dan khawatir mendapatkan sesuatu itu. Ketiga, ia harus menggerakan segala daya dan upaya untuk mendapatkan sesuatu tersebut. Jika pengharapannya tidak diikuti sama sekali dengan melakukan tiga hal tersebut, maka ini masuk kategori berangan-angan.
Sebagaimana Allah memberikan predikat pengharapan kepada orang yang beramal saleh, Dia juga memberikan predikat takut kepada orang yang melakukan amal saleh. Dari sini bisa diketahui bahwa pengharapan dan rasa takut (yang bermanfaat) adalah dua hal yang seiring dengan amal saleh. Sebagaimana yang difirmankan Allah,
وَالَّذِينَ هُم بِرَبِّهِمْ لاَيُشْرِكُونَ {59} وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَآءَاتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ {60} أُوْلَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun), Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. al-Mu’minun: 59-61).
Aisyah Ra. bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang ayat ini, “Apakah mereka itu adalah yang meminum khamr, berzina, dan mencuri?” Beliau menjawab, “Bukan, wahai anak perempuan ash-Shiddiq. Akan tetapi mereka itu adalah yang shalat, berpuasa, bersedekah, dan kemudian mereka khawatir semua itu tidak diterima Allah. Mereka adalah orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan.”
Sahabatku, masihkah tersimpan dalam hati kita rasa takut kepada Allah? Belumkah saatnya bagi kita untuk beramal dengan tulus ikhlas? Atau apakah kita merasa yakin akan masuk surga dan terhindar dari siksa neraka dengan amal yang sedikit? Mari kita mengintrospeksi diri kita, karena dari sanalah akan terlihat kekurangan dan kelebihan kita. Mari kita hitung amal-amal kita sebelum kita dihisab di akhirat nanti. Saat kita menghitung amal kita di dunia, kita masih bisa menambah yang kurang, menyempurnakan yang cacat, dan meluruskan yang bengkok. Tapi jika sudah berada di negeri akhirat, segala amalan telah terputus; kita tidak bisa lagi beramal. Kita hanya mampu menyesali dosa-dosa kita sambil menunggu antrian masuk surga atau neraka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar