Minggu, 04 Maret 2012

Percaya pada Tujuan

Percaya pada tujuan adalah penggerak mental yang dapat mengantarkan seseorang pada tujuan. Dengan sikap egois yang terdapat di dalam diri manusia, kebahagiaan dan kesuksesan mereka tertumpu pada usaha, sehingga mereka mesti mengayuhkan langkah ke sana.

Seseorang yang mencintai kesehatannya, ketika sakit, ia mau meminum pil pahit dan mengikuti perintah dokter. Hal ini disebabkan ia sadar bahwa kesehatannya tergantung pada pil pahit dan perintah dokter.

Seorang penyelam yang meyakini bahwa di kedalaman laut terdapat mutiara-mutiara yang berharga, maka – dengan senang hati – ia mau menyelam hingga ke dasar laut. Namun bila keyakinan tersebut sirna, mereka tidak mungkin menggerakan langkah, tidak mau menelan obat dan menyelami dasar laut.

Dalam cahaya keyakinan, seseorang yang mengejar keberhasilan dan tujuan, niscaya berbagai kesulitan dan kepahitan menjadi ringan baginya. Ia menjadi akrab dengan duri yang tajam, dan ia tidak akan mengeluh. Bahkan untuk mencapai tujuan, ia menyambut kematian dengan wajah yang ceria.

Empat belas abad yang lalu di medan Badar, kaum muslimin yang berjumlah tidak lebih dari 313 orang dan hanya memiliki persenjataan perang yang sederhana, bertempur menghadapi pasukan Quraisy yang memiliki seribu tentara dan persenjataan lengkap.

Dilihat dari kacamata militer, mustahil pada waktu itu kaum muslim meraih kemenangan dan bisa menghempaskan bala tentara yang berkekuatan itu! Namun pihak yang memiliki kekuatan iman pada tujuan percaya bahwa kemenangan bisa mereka wujudkan. Buktinya, dalam beberapa waktu saja mereka sudah menaklukkan kekuatan yang bersenjata lengkap itu.

Penyebab kemenangan kaum muslim adalah keyakinan pada tujuan, yang memudahkan kematian syahid bagi mereka. Inilah hakikat kemenangan yang diakui oleh musuh. Karena sebelum peperangan heroik ini, pasukan musuh diperintahkan mengukur kekuatan – baik secara material maupun spiritual – pasukan muslim dan memberikan laporan yang akurat tentang hal ini kepada panglima pasukan. Setelah penyelidikan yang akurat, pasukan musuh melaporkan kepada panglima mereka.

Kendati pasukan kaum muslim hanya sedikit, tetapi mereka memiliki kekuatan spiritual yang dahsyat dan konsisten di jalan keyakinan. Mereka adalah kelompok yang tidak hanya menyandang pedang. Seorang prajurit mereka tidak ingin mati sebelum ia membunuh salah seorang prajurit musuh. Dan setiap kali sebagian dari mereka telah membunuh musuh, maka bagi mereka hidup tak berarti.

Seorang prajurit yang percaya pada tujuan, ia sama sekali tidak merasa keberatan dengan kesukarelaan dan pengorbanan. Baginya, medan pertempuran dan kamar pengantin adalah sama. Contoh-contoh lain dari ini semua terdapat di dalam sejarah Islam.

Batalyon angkatan bersenjata Islam ditawan oleh pasukan Romawi Kristen, semuanya dihukum gantung di pengadilan militer Romawi. Sebelum hukuman gantung dilaksanakan, komandan batalyon Islam diberikan opsi. Jika ia menganut agama Kristen, maka pengadilan akan menarik putusannya. Komandan muslim yang memandang tujuan lebih mulia daripada nyawa dan sadar bahwa meskipun ia bisa berpura-pura menerima agama Kristen, tindakan ini bisa menyebabkan seluruh tentara muslim yang tadinya bertempur dengan penuh kekesatriaan, akan kehilangan rasa kesetiaan mereka pada agama dan jiwa mereka tunduk pada musuh.

Akhirnya, dengan tegas sang komandan menolak opsi pengadilan. Kemudian pengadilan memberi janji kepada sang komandan, “Sekiranya ia menganut agama Kristen, ia akan dinikahkan dengan putri Kaisar dan diberikan kedudukan yang terhormat.” Namun ia tetap menolak opsi tersebut.

Lalu, Kaisar yang hadir di pengadilan itu memerintahkan pasukannya untuk menceburkan salah seorang prajurit muslim ke dalam bejana panas yang diisi dengan minyak zaitun. Perintah ini dimaksudkan agar komandan tersebut menyaksikan bahwa putusan pengadilan bukanlah lelucon. Sang komandan melihat dengan pedih bagaimana daging pada tubuh anak buahnya meleleh dan terpisah dari tulang-tulangnya. Sang komandan tak kuasa menahan kepiluan, tangisnya bergemuruh membangkitkan suasana. Orang-orang Romawi yang menyaksikan hal itu mengira bahwa dia menangis karena takut. Namun persangkaan mereka salah, sang komandan kemudian berkata, “Aku sama sekali tidak menangis karena nasib yang aku pilih. Aku menangis karena aku tidak memiliki nyawa lebih dari satu untuk dikorbankan kepada Islam. Andaikata aku mempunyai nyawa sebanyak rambut ini, pastilah sudah aku jadikan tumbal untuk keyakinanku.”

Hadirin yang mendengar ucapan sang komandan terperangah kaget. Mereka tidak mungkin melunturkan keyakinan yang kokoh pada diri sang komandan. Akhirnya mereka membebaskan dia bersama tujuh puluh prajurit lainnya.

Beberapa waktu silam, Vietnam menjadi sebuah masalah bagi panggung politik internasional. Satu bangsa yang hanya bersenjatakan ala kadarnya, di bawah sinar kepercayaan dan keyakinan pada tujuan, bisa meruntuhkan perekonomian dan menaklukkan tentara Amerika. Kala itu Amerika menghamburkan miliaran dolar untuk melawan Vietkong. Pada tahun 1965, Amerika menjatuhkan delapan ribu ton bom ke Vietnam. Dan pada tahun 1966 Amerika telah menghabiskan 15,8 milyar dolar untuk masalah ini.

Para prajurit Vietnam berperang demi satu tujuan, mengakhiri masa penjajahan dan menjalani kehidupan merdeka. Di sisi lain, para prajurit Amerika tidak mengetahui mengapa mereka mesti berperang. Bukankah tanah air mereka dengan negara Vietnam berjarak ribuan kilo meter?

Percaya pada tujuan memiliki banyak pengaruh. Pengaruh terbesarnya ialah kesukarelaan dan mau berkorban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar