Rabu, 07 Maret 2012

Islam Liberal dan Pendangkalan Akidah Umat

Orang-orang yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL) mengadakan kajian keislaman. Dan hasil kajian itu menyebutkan bahwa Al Quran yang ada sekarang ini tidak sama dengan al-Quran yang ada pada zaman Nabi Saw. Mereka mendasarkan argumennya pada pemikiran orientalis-misionaris yang menyebutkan hal yang serupa.

Dalam artikel yang berjudul “Merenungkan Sejarah al-Quran”, mereka menulis: “Sebagian besar kaum muslim meyakini bahwa al-Quran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum muslim juga meyakini bahwa al-Quran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis yang ada pada masa nabi, lebih dari seribu empat ratus tahun silam.

Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang di buat oleh para ulama sebagai bagian dari formulasi doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan al-Quran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa.”

Dari pernyataan mereka itu, kita dapat menarik kesimpulan: Pertama, mereka beranggapan bahwa sebagian besar kaum muslimin dari zaman Nabi hingga saat ini dianggap bodoh dan tidak kritis. Kedua, mereka tidak percaya terhadap mukjizat al-Quran, bahwa al-Quran terjaga keasliannya hingga akhir zaman. Artinya, mereka telah menolak al-Quran yang ada saat ini. Dan ketiga, mereka menuduh para ulama shalih membuat intrik dan rekayasa dalam menafsirkan dan menyusun al-Quran seperti yang ada sekarang.

Orang-orang Islam Liberal hanya menjiplak begitu saja pemikiran orientalis-misionaris itu. Mereka menganggap bahwa para orientalis itu sangat hebat dari segi ilmiah. Karena penyakit minder (inferiority complex), mereka melepaskan diri dari pedoman yang telah dibuat ulama-ulama shalih berabad-abad yang lalu. Mereka meloncat begitu jauh dengan hanya berdasarkan pada pemahaman yang dibuat para orientalis-misionaris itu. Mereka menganggap bahwa pemahaman yang mereka buat itu berdasarkan analisa yang mereka buat sendiri. Padahal tidak. Mereka hanya menjiplak dari orientalis-misionaris itu! Dr. Yusuf al-Qaradhawi berkata tentang mereka:

“Pada zaman sekarang ini kita mendapati ada orang yang meragukan keharaman khamar atau riba, atau tentang bolehnya thalaq dan berpoligami dengan syarat-syaratnya. Ada yang meragukan keabsahan Sunnah Nabi Saw sebagai sumber hukum. Bahkan, ada yang mengajak kita untuk membuang seluruh ilmu-ilmu al-Quran (Ulumul Quran) dan seluruh warisan ilmu pengetahuan al-Quran ke tong sampah, untuk kemudian memulai membaca al-Quran dari nol dengan bacaan kontemporer, tanpa terikat oleh suatu ikatan apa pun, tidak berpegang pada ilmu pengetahuan sebelumnya. Juga tidak dengan kaidah dan aturan yang ditetapkan oleh ulama umat Islam semenjak berabad-abad silam.” (Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 3).

Lantas, untuk apa ulama-ulama kita menulis buku sangat banyak? Bagi mereka, tidak ada gunanya! Buku-buku itu hanya sekedar “bacaan” yang tidak memberi arti apa-apa kecuali kehampaan (nihilisme). Pandangan para orientalis sudah cukup memadai bagi mereka. Mereka tidak peduli darimana orientalis itu mendapatkan informasi seperti itu; tidak menganggap penting “isnad”, karena itu, riwayat yang “shadh” (tidak benar) bisa saja dianggap “shahih”. Yang “ahad” dan “gharib” bisa saja menjadi “mutawatir” dan “mashhur” dan cacat disamakan dengan yang sempurna. Para orientalis itu hanya berdasarkan pada hawa nafsu mereka, yang menunjukkan kebusukan hati (hatred) dan kebencian mereka terhadap tokoh dan agama yang mereka kaji, sebagaimana disitir oleh seorang pengamat: “The studies carried out in the West… have demonstrated only one thing: the anti-Muslim prejudice of their authors.” (Roger DuPasqueir, Univeiling Islam (Cambridge: Islamic Text Society, 1992), 53).

Sebagai contoh saja, orientalis-misionaris seperti Goldziher pernah mengatakan bahwa Imam az-Zuhri (penghulu ahli hadits) adalah seorang ahli hadits yang pendusta dan selalu tunduk dibawah kemauan dan kehendak Khalifah Abdul Malik Marwan, padahal menurut penuturan para ahli sejarah, Khalifah Abdul Malik Marwan tidak sezaman dengan Imam az-Zuhri. Dalam penuturan yang lain, Goldziher mengatakan bahwa Imam Abu Hanifah tidak mengetahui yang mana lebih dahulu terjadi, perang badar atau perang uhud. Dia mengutip pernyataan itu dari sebuah buku yang tidak ada hubungannya dengan “fikih”, “hadits” atau “sejarah”, yaitu buku karya seorang ahli biologi Muslim, ad-Damiri, yang berjudul al-Hayawan. Jelas data yang diperoleh Goldziher tidak kuat (shadh) dan tidak bisa di terima. Dia hanya memperturutkan hawa nafsunya sendiri, sekalipun data tersebut tidak valid dan shahih. (Lihat buku Istisyraq wal musytariqun karya Dr. Musthafa as-Siba’i).

Jika kita melihat siapa saja yang bergabung dalam Islam Liberal itu, kita akan mengetahui bahwa sebagian besar dari mereka bergelar master hingga profesor. Tapi apa gunanya gelar-gelar semacam itu, jika pencarian ilmu mereka justru menjerumuskan mereka dalam bentuk skeptisisme (keragu-raguan) terhadap agama mereka sendiri, terhadap al-Quran dan Sunnah Nabi Saw? Pemikiran mereka sama sekali tidak membawa manfaat, kecuali hanya membuat umat resah dan semakin ragu dengan agamanya sendiri. Pada akhirnya umat semakin tidak khusyu beribadah. Karena siapa tahu toh apa yang dilakukannya salah. Padahal ibadah itu benar, berdasarkan dalil yang benar, riwayat yang kuat, dan jumhur ulama pun mensahkannya.

Apakah kita ingin terjerumus seperti itu? Apakah setiap kali kita membaca al-Quran, hati kita berkata: saya tidak yakin dengan al-Quran? Naudzubillahi mindzalik jika hal itu benar-benar terjadi pada diri kita. Berarti perlu dipertanyakan keimanan kita pada Allah, Rasul-Nya, dan kitab-Nya. Ilmu yang kita pelajari tidak semakin menambah yakin dengan kebenaran Al Islam, justru membuat kita semakin meragukannya. Masya Allah! Al-Quran yang kita baca bukannya semakin menambah keyakinan dan kekhusyuan kita pada Allah Swt, justru membuat kita semakin tidak percaya padanya. Bukankah Allah berfirman Swt: “Apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya).” (QS. al-Anfal: 2). Jika tafsir tak memberikan sumbangsih bagi pemupukan dan penguatan iman bagi pembacanya, maka seorang mufasir – kata Said Hawwa – seperti tidak melakukan apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar