Rabu, 07 Maret 2012

Menulis dengan Ilmu

وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لاَ يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلآَّ أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَظُنُّونَ {} فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِندِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلاً فَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلُُلَّهُم مِّمَّا يَكْسِبُونَ

“Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga. Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; ‘Ini dari Allah’, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS. al-Baqarah [2]: 78-79).

Secara tidak sadar, saya menemukan pelajaran berharga dari ayat di atas. Saya kemudian berpikir, larangan “menulis tanpa ilmu” menjadi begitu tegas di sini. Larangan ini adalah larangan yang wajib dipatuhi bagi segenap penulis muslim.

Para penulis muslim tidak boleh menulis tanpa ilmu atau tanpa disertai data dan fakta yang benar, atau dengan kata lain, hanya berisi angan-angan, dugaan dan fitnah. Dalam beberapa buku yang saya baca, beberapa kali saya temukan penulis yang menulis tanpa ilmu. Kadang pula dalil yang mereka ketahui, mereka pelintir sedemikian rupa sehingga dalil itu seolah mendukung pendapat mereka. Mereka juga katakan apa yang sebenarnya tidak ada. Data yang mereka ambil pun tidak kuat (shahih) sumbernya.

Semua ini terjadi karena mereka memperturutkan hawa nafsu. Orang-orang Yahudi khususnya, dan orang kafir umumnya memiliki sifat seperti ini sebagaimana disebutkan di atas. Oleh karena itu, tentu saja sifat itu bukan sifat seorang muslim. Kenyataan ini harus diteguhkan ke dalam hati kita. Tidak ada kata lain bagi seorang penulis muslim agar ia banyak membaca sebelum menulis. Disebutkan dalam hadits Muadz, “Ilmu itu pemimpin, sedang amal adalah pengikutnya.”

Untuk itu Imam Bukhari meletakkan bab ilmu dalam shahihnya dengan topik, “Bab al-ilmu Qablal Qaul wal-Amal”. Para penafsirnya mengatakan bahwa dengan pencantuman bab seperti itu, Imam Bukhari ingin menunjukkan bahwa ilmu merupakan syarat sahnya perkataan dan perbuatan. Keduanya tidak dinilai tanpa adanya ilmu. Karenanya ilmu didahulukan daripada keduanya, ia merupakan pelurus niat dan amal.

Sekalipun para ulama banyak menulis buku, hal itu terjadi karena ilmu mereka sangat luas dan mendalam. Sejak kecil mereka sudah mampu menghafal seluruh isi al-Quran. Sehingga ketika mereka menulis tentang kandungan al-Quran, mereka tidak mengalami kesulitan di dalamnya. Namun demikian, bagi mereka, menghafal al-Quran saja belum cukup untuk menulis/ menafsirkan ayat-ayat-Nya. Mereka harus banyak membaca kitab tafsir dan hal-hal yang terkait dengan ulumul quran. Imam Ibnu Taimiyah misalnya, untuk menafsirkan satu ayat saja, ia harus membaca seratus kitab tafsir. Untuk menulis kitab Tafsir Al-Azhar di dalam penjara, beliau membaca Al-Qur’an 120 kali dalam lima tahun.

Imam Ibnu al-Jauzi, yang dijuluki Dr. Yusuf al-Qaradhawi sebagai ulama ensiklopedis, baru menulis pada usia 40 tahun. Begitupun dengan Imam al-Izz Izzuddin Abdussalam, baru berani menafsirkan ayat al-Quran kecuali dapat menguasainya dengan mantap, padahal saat itu beliau dikenal sebagai orang yang alim. Hal itu terjadi karena kehati-hatiannya. Ulama seperti dirinya sangat dekat dengan neraka jika saja memberikan fatwa atau pendapat tanpa disertai dengan ilmu.

Ini artinya, para ulama menulis berdasarkan ilmu, bukan angan-angan atau dugaan belaka. Kualitas tulisan seseorang sangat ditentukan oleh seberapa banyak ilmu yang dimilikinya atau seberapa banyak dia membaca. Apa yang kita baca dapat menimbulkan rangsangan untuk menulis. Tanpa tekun membaca, rangsangan-rangsangan itu semakin lemah. Kalaupun ada, tulisannya hanya berupa igauan-igauan yang tak berarti.

Menulis itu seperti berkata-kata. Menulislah dengan hikmah, jika tidak, diamlah untuk berpikir. Tidak ada yang disesali oleh para ulama kecuali berkata-kata dan menulis tanpa disertai dengan ilmu, hikmah dan pelajaran. Menulis tanpa ilmu seperti halnya tubuh tanpa kepala. Ia tak dapat berpikir, berbicara, melihat dan mendengar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar