Rabu, 07 Maret 2012

Syukur Menambah Nikmat

"Perhatikanlah orang yang berada di bawah tingkatanmu (dalam urusan duniawi), dan janganlah kamu memandang kepada orang yang berada di atasmu. Itu lebih layak bagimu supaya kamu tidak menghina pemberian Allah kepadamu." (HR. Muslim)

Pada suatu hari hujan begitu lebat mengguyur setiap jalan yang saya lalui. Saya berhenti sejenak untuk berteduh di sebuah warung nasi. Sebelumnya saya meminta izin kepada pemiliknya untuk berteduh di tempat itu. Pemilik warung itu dengan ramah mengizinkannya.

Setelah hujan reda, saya kembali melanjutkan perjalanan dengan terlebih dahulu mengucapkan terima kasih kepada pemilik warung nasi tersebut. Dia tersenyum dengan ramah. Segalanya tampak menyenangkan, walaupun saya lihat tidak ada seorang pun yang membeli nasi di warung tersebut. Ini semua karena saya meminta izin terlebih dahulu, setelah itu berterima kasih kepadanya.

Sahabatku, betapa banyak orang yang tidak mau berterima kasih setelah diberi pertolongan oleh orang lain. Sehingga kadang terasa enggan menolong kembali orang itu apabila tengah menghadapi kesulitan. Ini hal yang lumrah, yang umum, yang terjadi ditengah masyarakat kita. Jangan kita berkata, “Berarti orang itu tidak ikhlas.” Karena, apa sulitnya bagi kita untuk mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu kita?

Uken Junaedi dalam bukunya “Sifat Negatif Anak” menyebutkan bahwa jika orangtua tidak meminta tolong dan berterima kasih karena ditolong oleh anaknya, kelak anaknya – ketika dewasa – menjadi orang yang tidak mau berterima kasih atas pertolongan orang lain. Jika ia disuruh mengambil suatu barang, misalnya, ia akan melakukannya, tetapi dengan rasa terpaksa atau karena takut. Artinya, sang anak telah dididik menjadi orang yang tidak ikhlas dan berperangai buruk. Semoga kita bukan bagian dari orangtua yang mendidik anak dengan cara seperti itu.

Kata “terima kasih” sesungguhnya berkonotasi dengan rasa syukur: Orang yang tidak mau berterima kasih ketika sudah ditolong, boleh jadi rasa syukurnya kepada Tuhan sangat rendah. Karena, kepada orang saja dia sudah tidak mau berterima kasih, apalagi kepada Tuhan yang telah memberinya banyak kenikmatan, pertolongan, dan kasih sayang?

Diriwayatkan bahwa ada dua orang laki-laki dari kalangan Anshar yang saling berpapasan. Salah seorang di antara mereka bertanya kepada temannya, “Bagaimana keadaanmu pagi ini?”

Temannya menjawab, “Alhamdulillah.

Lalu Nabi Saw. bersabda, “Ucapkanlah oleh kalian yang seperti itu.”

Jika kita menghitung nikmat yang Allah berikan kepada kita, niscaya tidak akan terhitung karena banyaknya. Bagaimana bisa? Berapa kali kita mengedipkan mata? Berapa kali kita menghirup udara? Berapa kali kita dapat bersin atau bahkan kentut? Allah telah memberikan secara gratis semua yang ada di muka bumi, semuanya untuk kesejahteraan manusia. Lalu, mengapa masih saja ada orang yang tidak mau bersyukur kepada-Nya?

Suatu kali Ibnu as-Sammak menemui Harun ar-Rasyid, lalu dia memberi nasehat, hingga membuat Harun ar-Rasyid menangis. Lalu dia meminta minum. Ibnu as-Sammak bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, andaikata minuman Tuan itu tidak bisa diminum kecuali harus ditukar dengan dunia dan seisinya, apakah Tuan akan menebusnya?”

“Ya,” jawab ar-Rasyid.

Ibnu as-Sammak berkata, “Kalau begitu, minumlah dengan penuh kenikmatan. Semoga Allah memberkahi Tuan.”

Setelah ar-Rasyid meminumnya, Ibnu as-Sammak bertanya lagi, “Wahai Amirul Mukminin, bagaimana pendapat Tuan jika minuman itu tidak bisa dikeluarkan dari tubuh Tuan jika minuman itu tidak bisa dikeluarkan dari tubuh Tuan kecuali dengan dunia dan seisinya, apakah Tuan akan menebusnya?”

Ibnu as-Sammak berkata, “Apa yang Tuan lakukan terhadap seteguk minuman itu, maka itulah yang terbaik.”

Hal ini menjelaskan bahwa nikmat Allah yang dilimpahkan kepada hamba, berupa seteguk minuman saat haus, lebih besar nilainya daripada seluruh kekayaan dunia. Kemudian keluarnya kotoran dari badan dengan cara yang mudah juga merupakan kenikmatan yang besar.

Mengapa masih saja ada orang yang menggerutu karena merasa dirinya tidak mendapatkan apa yang diinginkannya? Padahal jika mau merenung sejenak tentang dirinya, apa yang ia dapatkan selama ini, pasti ia akan banyak bersyukur. Allah mungkin tidak memberikan kita satu hal yang kita inginkan, tetapi sesungguhnya Dia telah menggantinya dengan seribu kenikmatan yang lain. Namun, sering kali kita tidak menyadarinya, sedikit sekali kita bersyukur kepada-Nya, Dzat Yang Maha Memberi rezeki. وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba: 13).

Jadi, di bagian manakah kita berada? Bagian yang bersyukur atau yang kufur? Jika kita di bagian yang bersyukur, Allah tidak mungkin menyiksa kita di dunia dan akhirat. Ini janji Allah kepada kita, sebagaimana firman-Nya, مَّايَفْعَلُ اللهُ بِعَذَابِكُمْ إِن شَكَرْتُمْ وَءَامَنتُمْ “Mengapa Allah akan menyiksa kalian jika kalian bersyukur dan beriman?” (QS. an-Nisa: 147). Bahkan, Allah Swt. berfirman, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kalian.” (QS. Ibrahim: 7).

Jadi, masihkah kita tidak mau berterima kasih (bersyukur) atas nikmat yang Allah berikan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar